Kisah Bayi Prabu Siliwangi Diasuh Induk Harimau di Tengah Hutan Belantara
loading...
A
A
A
Sri Baduga Maharaja, atau lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi, mampu membawa Kerajaan Pajajaran mencapai puncak kejayaannya. Raja besar di tanah Sunda ini, begitu dihormati, tapi siapa sangka saat kelahirannya justru diasuh oleh induk harimau di hutan belantara Tegal Siliarum.
Dalam naskah "Waosan Babad Galuh dari Prabu Ciungwanara hingga Prabu Siliwangi: Naskah Kraton Kasepuhan Cirebon", terjemahan Amman N. Wahju, diungkapkan, bayi mungil yang tertinggal di hutan belantara itu, telah diketemukan oleh seekor induk harimau.
Harimau menjilati pepelem sang bayi itu, layaknya sedang memandikan bayi mungil tersebut. Ari-ari bayi itu, digigit oleh induk harimau hingga putus dan puput. Tindakan harimau itu, sama seperti halnya induk kucing yang tengah membersihkan anaknya.
Bayi mungil itu sempat meronta-ronta, dan tidak lama kemudian induk harimau pergi meninggalkannya. Lalu ada seorang pencari kayu bernama Kakek Borit, yang melihat ada bayi tergolek menangis di tengah hutan, maka dia merasa belas kasihan dan segera mengambilnya.
Kakek Borit membawa pulang bayi tersebut, dan diberi nama Siliwangi, karena asalnya diketemukan di Tegal Siliarum, di pinggir hutan di gunung. Bayi Siliwangi kemudian dibesarkan di tengah keluarga pencari kayu itu.
Prabu Siliwangi dianggap seperti anaknya Siliwangi. Seperti halnya anak pemungut kayu penampilannya kumuh, dan badannya kotor. Dengan keadaan seperti itu waktu kanak-kanak, tidak terlihat petunjuk bahwa dia adalah anak seorang raja. Siliwangi tumbuh sebagai anak kecil dari gunung yang kotor dan tidak pernah mandi, dengan rambut yang gimbal tidak terurus.
Ketika Siliwangi masih kecil dan masih menjadi anak penggembala, ia memperoleh kebahagiaan dengan diambil oleh puteri dari Menak Sindangkasih, yang bernama Nyi Rara Sigir.
Nyi Rara Sigir tertarik untuk mengambil si kecil Siliwangi. Anak itu diurus serta dimandikannya sehingga muncul cahaya kebesarannya. Dari situ tampak tanda-tanda bahwa dia adalah keturunan dari bangsawan besar.
Gilang-gemilang bersinar cahayanya, memancar keluar sehingga sang Ayu Rara Sigir jatuh cinta kepadanya, dan menginginkannya untuk menjadi jodohnya. "Jadikanlah Jaka Siliwangi ini menjadi jodohku, semoga tercapai keinginan hatiku," begitulah permintaannya.
Dikisahkan kemudian, pada waktu itu terjadi malapetaka. Ciptaannya Dalem Palimanan bermaksud akan menculik Putri Rara Sigir. Raksasa itu datang menyambar sang putri, namun sang putri Sigir dapat mengelak dan segera ditolong oleh Siliwangi.
Dua raksasa itu dilawannya, ditendang hingga raksasa itu jatuh terguling-guling. Ketika itu semua orang di Sindangkasih, menyaksikan akan kesaktian Siliwangi. Mereka menduga bahwa anak itu pastinya bukan anak sembarangan, dia telah mampu mengusir kedua raksasa itu. Dengan kejadian itu orang Sindangkasih mulai melihat Siliwangi sebagai seseorang yang tidak bisa diremehkan.
Dalam bukunya yang berjudul "Hitam Putih Pajajaran, Dari Kejayaan Hingga Keruntuhan Kerajaan Pajajaran," Fery Taufiq El-Jaquene menyebutkan, Prabu Siliwangi yang memiliki gelar Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja, merupakan putra Prabu Dewa Niskala, yang lahir pada tahun 1401 Masehi, di Kawali, Ciamis, Jawa Barat.
Prabu Siliwangi memerintah Kerajaan Pajajaran, pada tahun 1482-1521 Mahsehi. Dalam catatan Carita Puisi, dan Prasasti Batutulis, disebutkan Sri Baduga Maharaja dinobatkan sebagai raja, sebanyak dua kali.
Penobatan pertama dilakukan, ketika Jayadewata mendapatkan mandat untuk memegang Kerajaan Galuh di Kawali, Ciamis, dari sang ayah Prabu Dewa Niskala, putra Mahaputra Niskala Wastu Kancana, dari permaisuri Mayangsari, putri Prabu Bunisora, dengan gelar Dewataprana.
Kemudian, Sri Baduga Maharaja menerima mandat Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor, dari mertuanya bernama Prabu Susuktunggal, putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, dari permaisuri Ratna Sarkati, putri Resi Susuk Lampung.
Dua penobatan itu, membuat Prabu Siliwangi menjadi satu-satunya raja yang mendapatkan rekomendasi dari dua kerajaan, yakni Sunda, dan Galuh. Dia dinobatkan sebagai Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Penobatan Prabu Siliwangi ini, membuat masyarakat Sunda kembali dapat menyaksikan prosesi iring-iringan rombongan raja berpindah dari timur ke barat, setelah peristiwa itu tidak pernah terjadi selama 149 tahun.
Dalam naskah "Waosan Babad Galuh dari Prabu Ciungwanara hingga Prabu Siliwangi: Naskah Kraton Kasepuhan Cirebon", terjemahan Amman N. Wahju, diungkapkan, bayi mungil yang tertinggal di hutan belantara itu, telah diketemukan oleh seekor induk harimau.
Harimau menjilati pepelem sang bayi itu, layaknya sedang memandikan bayi mungil tersebut. Ari-ari bayi itu, digigit oleh induk harimau hingga putus dan puput. Tindakan harimau itu, sama seperti halnya induk kucing yang tengah membersihkan anaknya.
Bayi mungil itu sempat meronta-ronta, dan tidak lama kemudian induk harimau pergi meninggalkannya. Lalu ada seorang pencari kayu bernama Kakek Borit, yang melihat ada bayi tergolek menangis di tengah hutan, maka dia merasa belas kasihan dan segera mengambilnya.
Kakek Borit membawa pulang bayi tersebut, dan diberi nama Siliwangi, karena asalnya diketemukan di Tegal Siliarum, di pinggir hutan di gunung. Bayi Siliwangi kemudian dibesarkan di tengah keluarga pencari kayu itu.
Prabu Siliwangi dianggap seperti anaknya Siliwangi. Seperti halnya anak pemungut kayu penampilannya kumuh, dan badannya kotor. Dengan keadaan seperti itu waktu kanak-kanak, tidak terlihat petunjuk bahwa dia adalah anak seorang raja. Siliwangi tumbuh sebagai anak kecil dari gunung yang kotor dan tidak pernah mandi, dengan rambut yang gimbal tidak terurus.
Ketika Siliwangi masih kecil dan masih menjadi anak penggembala, ia memperoleh kebahagiaan dengan diambil oleh puteri dari Menak Sindangkasih, yang bernama Nyi Rara Sigir.
Nyi Rara Sigir tertarik untuk mengambil si kecil Siliwangi. Anak itu diurus serta dimandikannya sehingga muncul cahaya kebesarannya. Dari situ tampak tanda-tanda bahwa dia adalah keturunan dari bangsawan besar.
Gilang-gemilang bersinar cahayanya, memancar keluar sehingga sang Ayu Rara Sigir jatuh cinta kepadanya, dan menginginkannya untuk menjadi jodohnya. "Jadikanlah Jaka Siliwangi ini menjadi jodohku, semoga tercapai keinginan hatiku," begitulah permintaannya.
Dikisahkan kemudian, pada waktu itu terjadi malapetaka. Ciptaannya Dalem Palimanan bermaksud akan menculik Putri Rara Sigir. Raksasa itu datang menyambar sang putri, namun sang putri Sigir dapat mengelak dan segera ditolong oleh Siliwangi.
Dua raksasa itu dilawannya, ditendang hingga raksasa itu jatuh terguling-guling. Ketika itu semua orang di Sindangkasih, menyaksikan akan kesaktian Siliwangi. Mereka menduga bahwa anak itu pastinya bukan anak sembarangan, dia telah mampu mengusir kedua raksasa itu. Dengan kejadian itu orang Sindangkasih mulai melihat Siliwangi sebagai seseorang yang tidak bisa diremehkan.
Dalam bukunya yang berjudul "Hitam Putih Pajajaran, Dari Kejayaan Hingga Keruntuhan Kerajaan Pajajaran," Fery Taufiq El-Jaquene menyebutkan, Prabu Siliwangi yang memiliki gelar Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja, merupakan putra Prabu Dewa Niskala, yang lahir pada tahun 1401 Masehi, di Kawali, Ciamis, Jawa Barat.
Prabu Siliwangi memerintah Kerajaan Pajajaran, pada tahun 1482-1521 Mahsehi. Dalam catatan Carita Puisi, dan Prasasti Batutulis, disebutkan Sri Baduga Maharaja dinobatkan sebagai raja, sebanyak dua kali.
Penobatan pertama dilakukan, ketika Jayadewata mendapatkan mandat untuk memegang Kerajaan Galuh di Kawali, Ciamis, dari sang ayah Prabu Dewa Niskala, putra Mahaputra Niskala Wastu Kancana, dari permaisuri Mayangsari, putri Prabu Bunisora, dengan gelar Dewataprana.
Kemudian, Sri Baduga Maharaja menerima mandat Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor, dari mertuanya bernama Prabu Susuktunggal, putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, dari permaisuri Ratna Sarkati, putri Resi Susuk Lampung.
Dua penobatan itu, membuat Prabu Siliwangi menjadi satu-satunya raja yang mendapatkan rekomendasi dari dua kerajaan, yakni Sunda, dan Galuh. Dia dinobatkan sebagai Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Penobatan Prabu Siliwangi ini, membuat masyarakat Sunda kembali dapat menyaksikan prosesi iring-iringan rombongan raja berpindah dari timur ke barat, setelah peristiwa itu tidak pernah terjadi selama 149 tahun.
(eyt)