Cerita Miris Korban Pencabulan, Dirudapaksa Selama 19 Hari
loading...
A
A
A
BANDUNG - Kasus dugaan pencabulan oleh pemuda berinsial DC terhadap dua perempuan terus bergulir. Salah seorang korban, Ci (17), yang masih di bawah umur, telah menjalani visum et repertum. Hasil dari visum diperkirakan keluar dua hari ke depan.
"Setelah hasilnya keluar, kami akan serahkan ke penyidik Uni PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Satreskrim Polrestabes Bandung," kata Rohman Hidayat, kuasa hukum korban, Rabu (15/7/2020). (BACA JUGA: Diduga Cabuli 2 Perempuan, Seorang Pria Dilaporkan ke Polisi )
Untuk korban di bawah umur, lebih spesifik lagi kuasa hukum melaporkan ke Unit PPA Satreskrim Polrestabes Bandung dengan tuduhan Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimum 5 tahun sampai 20 tahun dan denda yang cukup luar biasa. (BACA JUGA: BNN Jabar Tangkap 2 Orang, Amankan 4 Kg Sabu di Leuwipanjang Bandung )
Korban di bawah ini, melapor pada Senin 13 Juli 2020. Yang melapor adalah keluarganya karena korban masih anak-anak. "Jadi kami melaporkan lebih spesifik ke Pasal 81 dan 82 Undang-undang Perlindungan Anak yang hukuman minimum 5 tahun sampai 20 tahun dan denda cukup luar biasa," ujar Rohman.
Rohman menuturkan, dari hasil laporan keterangan korban kedua yang di bawah umur itu pada 8 Juni dalam keadaan sakit. Ketika sakit, korban menghubungi pelaku minta diantar ke dokter. (BACA JUGA: Begini Kronologi Penangkapan 2 Bandar Sabu di Leuwipanjang )
Tetapi oleh pelaku, tutur Rohman, korban bukan dibawa ke dokter tapi justru dibawa ke Bandung. Jadi sejak 8 Juni hingga 27 Juni itu, korban di bawah umur ini, dibawa ke rumah pelaku.
Kemudian setelah di Bandung, si pelaku itu memberikan minuman keras. Setelah diberi minuman keras, si korban tak sadarkan diri. Menurut pengakuan korban, saat tak sadar itu lah terjadi pencabulan.
"Saya tidak tahu minuman keras apa. Kemudian, setelah diberi minuman keras dan korban tak sadarkan diri. Kemudian menurut pengakuan korban sudah terjadi perbuatan itu. Di situ mungkin (terjadi) pencabulan lah," tutur Rohman.
Rohman Hidayat, kuasa hukum korban. Foto/SINDOnews/Agus Warsudi
Keesokan harinya,9 Juni 2020, korban dipaksa membuat tato nama si pelaku. Pelaku memanggil tukang tato ke rumahnya. Awalnya, si korban di bawah umur ini dipaksa membuat tato nama si pelaku.
"Saya tidak tahu tujuannya apa (membuat tato nama pelaku), identitas dia atau seperti apa. Yang jelas, si korban membuat tato nama si pelaku, kalau tidak salah di leher kanan," kata dia.
Tapi korban di bawah umur ini, tidak mau karena dia bertanya kepada tukang tato. Korban bertanya, apa pernah membuatkan nama pelaku untuk orang lain? Tukang tato mengaku pernah membuat tato nama pelaku di lengan seorang perempuan.
Makanya korban menolak ditato nama pelaku di lehernya. Tetapi setelah itu, korban tetap dipaksa membuat tato yang lain. Dibuat tiga tato. Tato pertama di leher kanan, kedua di punggung panjang dan tebal, dan ketiga di pinggang sebelah kanan.
"Jadi sehari, si korban ini dipaksa sampai nangis-nangis, dibikin tato tiga. Idealnya kan kalo buat tato ya gak sekaligus. Ini enggak, buat tiga tato sehari harus selesai," ujar dia.
"Nah, setelah ditato, korban dilakukan pencabulan. Setelah itu korban dipaksa meminum obat dua tablet, tiap hari, dari tanggal 9 Juni sampai 27 Juni. Tablet microginol kalau tidak salah. Setahu saya itu pil KB. Korban harus minum dua tablet, sebelum dan setelah melakukan (pencabulan),"tambah Rohman.
Posisi si ibu, ungkap dia, tiga hari setelah tanggal 8 Juni 2020 itu, ibu korban meminta melalui delivery messeges (DM) pesan langsung ke akun Instagram pelaku. Ibu korban meminta supaya anaknya dikembalikan.
Tetapi, menurut keterangan korban, dia tidak diperbolehkan pulang. Korban baru bisa keluar dari rumah pelakupada 27 Juni 2020. Jadi dari 8 Juni sampai 27 Juni 2020 itu, menurut keterangan, korban tinggal di rumah si pelaku.
"Ini kejahatan luar biasa, di mana si anak dipaksa melakukan kehendakpelaku. Selama di sana, ya diperlakukan seperti itu (pencabulan). Kalau tidak mau melakukan, si pelaku marah dan mengancam akan menyebarkan foto-foto atau video si korban dalam kondisi telanjang," kata Rohman.
Rohman mengungkapkan, kondisi korban saat ini trauma. Bahkan, korban di bawah umur mengalami perdarahan terus menerus. Seharusnya tanggal Jumat 10 Juli 2020, siklus menstruasinya selesai, tapi sampai hari ini masih mengalami pendarahan. "Apakah akibat obat itu atau kondisinya hamil kami belum tahu," ungkap dia.
Korban, tutur Rohman, menyampaikan, setelah 27 Juni 2020 itu, korban begitu saja diputuskan oleh pelaku. Korban sudah memohon-mohon. Karena saat itu korban sudah terlambat datang bulan. Tapi menurut pengakuan korban, si pelaku tetap meninggalkannya.
"Itulah akhirnya membuat korban datang ke rekan saya, Sunan Kalijaga untuk meminta bantuan untuk melaporkan pelaku. Saat ini korban trauma. Korban sudah tidak mau lagi berhubungan dengan pelaku," tutur Rohman.
"Kami menghormati proses hukum. Ketika laporan ini diterima penyidik, tentu kewenangan penyidik untuk menindaklanjutinya," pungkas Rohman.
"Setelah hasilnya keluar, kami akan serahkan ke penyidik Uni PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Satreskrim Polrestabes Bandung," kata Rohman Hidayat, kuasa hukum korban, Rabu (15/7/2020). (BACA JUGA: Diduga Cabuli 2 Perempuan, Seorang Pria Dilaporkan ke Polisi )
Untuk korban di bawah umur, lebih spesifik lagi kuasa hukum melaporkan ke Unit PPA Satreskrim Polrestabes Bandung dengan tuduhan Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimum 5 tahun sampai 20 tahun dan denda yang cukup luar biasa. (BACA JUGA: BNN Jabar Tangkap 2 Orang, Amankan 4 Kg Sabu di Leuwipanjang Bandung )
Korban di bawah ini, melapor pada Senin 13 Juli 2020. Yang melapor adalah keluarganya karena korban masih anak-anak. "Jadi kami melaporkan lebih spesifik ke Pasal 81 dan 82 Undang-undang Perlindungan Anak yang hukuman minimum 5 tahun sampai 20 tahun dan denda cukup luar biasa," ujar Rohman.
Rohman menuturkan, dari hasil laporan keterangan korban kedua yang di bawah umur itu pada 8 Juni dalam keadaan sakit. Ketika sakit, korban menghubungi pelaku minta diantar ke dokter. (BACA JUGA: Begini Kronologi Penangkapan 2 Bandar Sabu di Leuwipanjang )
Tetapi oleh pelaku, tutur Rohman, korban bukan dibawa ke dokter tapi justru dibawa ke Bandung. Jadi sejak 8 Juni hingga 27 Juni itu, korban di bawah umur ini, dibawa ke rumah pelaku.
Kemudian setelah di Bandung, si pelaku itu memberikan minuman keras. Setelah diberi minuman keras, si korban tak sadarkan diri. Menurut pengakuan korban, saat tak sadar itu lah terjadi pencabulan.
"Saya tidak tahu minuman keras apa. Kemudian, setelah diberi minuman keras dan korban tak sadarkan diri. Kemudian menurut pengakuan korban sudah terjadi perbuatan itu. Di situ mungkin (terjadi) pencabulan lah," tutur Rohman.
Rohman Hidayat, kuasa hukum korban. Foto/SINDOnews/Agus Warsudi
Keesokan harinya,9 Juni 2020, korban dipaksa membuat tato nama si pelaku. Pelaku memanggil tukang tato ke rumahnya. Awalnya, si korban di bawah umur ini dipaksa membuat tato nama si pelaku.
"Saya tidak tahu tujuannya apa (membuat tato nama pelaku), identitas dia atau seperti apa. Yang jelas, si korban membuat tato nama si pelaku, kalau tidak salah di leher kanan," kata dia.
Tapi korban di bawah umur ini, tidak mau karena dia bertanya kepada tukang tato. Korban bertanya, apa pernah membuatkan nama pelaku untuk orang lain? Tukang tato mengaku pernah membuat tato nama pelaku di lengan seorang perempuan.
Makanya korban menolak ditato nama pelaku di lehernya. Tetapi setelah itu, korban tetap dipaksa membuat tato yang lain. Dibuat tiga tato. Tato pertama di leher kanan, kedua di punggung panjang dan tebal, dan ketiga di pinggang sebelah kanan.
"Jadi sehari, si korban ini dipaksa sampai nangis-nangis, dibikin tato tiga. Idealnya kan kalo buat tato ya gak sekaligus. Ini enggak, buat tiga tato sehari harus selesai," ujar dia.
"Nah, setelah ditato, korban dilakukan pencabulan. Setelah itu korban dipaksa meminum obat dua tablet, tiap hari, dari tanggal 9 Juni sampai 27 Juni. Tablet microginol kalau tidak salah. Setahu saya itu pil KB. Korban harus minum dua tablet, sebelum dan setelah melakukan (pencabulan),"tambah Rohman.
Posisi si ibu, ungkap dia, tiga hari setelah tanggal 8 Juni 2020 itu, ibu korban meminta melalui delivery messeges (DM) pesan langsung ke akun Instagram pelaku. Ibu korban meminta supaya anaknya dikembalikan.
Tetapi, menurut keterangan korban, dia tidak diperbolehkan pulang. Korban baru bisa keluar dari rumah pelakupada 27 Juni 2020. Jadi dari 8 Juni sampai 27 Juni 2020 itu, menurut keterangan, korban tinggal di rumah si pelaku.
"Ini kejahatan luar biasa, di mana si anak dipaksa melakukan kehendakpelaku. Selama di sana, ya diperlakukan seperti itu (pencabulan). Kalau tidak mau melakukan, si pelaku marah dan mengancam akan menyebarkan foto-foto atau video si korban dalam kondisi telanjang," kata Rohman.
Rohman mengungkapkan, kondisi korban saat ini trauma. Bahkan, korban di bawah umur mengalami perdarahan terus menerus. Seharusnya tanggal Jumat 10 Juli 2020, siklus menstruasinya selesai, tapi sampai hari ini masih mengalami pendarahan. "Apakah akibat obat itu atau kondisinya hamil kami belum tahu," ungkap dia.
Korban, tutur Rohman, menyampaikan, setelah 27 Juni 2020 itu, korban begitu saja diputuskan oleh pelaku. Korban sudah memohon-mohon. Karena saat itu korban sudah terlambat datang bulan. Tapi menurut pengakuan korban, si pelaku tetap meninggalkannya.
"Itulah akhirnya membuat korban datang ke rekan saya, Sunan Kalijaga untuk meminta bantuan untuk melaporkan pelaku. Saat ini korban trauma. Korban sudah tidak mau lagi berhubungan dengan pelaku," tutur Rohman.
"Kami menghormati proses hukum. Ketika laporan ini diterima penyidik, tentu kewenangan penyidik untuk menindaklanjutinya," pungkas Rohman.
(awd)