YAICI dan Kampung Dongeng Indonesia Gencarkan Edukasi Gizi Lewat Storytelling
Senin, 16 Mei 2022 - 19:29 WIB
Sebelumnya, YAICI dan KADO juga telah melakukan rangkaian kegiatan literasi gizi. Sebagaimana diketahui, Indonesia masih darurat literasi. Hasil Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018, menunjukkan bahwa 70% siswa di Indonesia memiliki kemampuan baca rendah (di bawah Level 2 dalam skala PISA). Artinya, mereka bahkan tidak mampu sekadar menemukan gagasan utama maupun informasi penting di dalam suatu teks pendek.
Hal ini diperparah dengan angka minat baca di Indonesia yang juga rendah. Pada tahun 2018, survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase penduduk di atas usia 10 tahun yang membaca surat kabar atau majalah hanya 14,92%.
Angka ini lebih rendah dari persentase 15 tahun sebelumnya (23,70%). Padahal, selama hampir 15 tahun, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan nasional untuk mengatasi krisis literasi ini. Buruknya budaya literasi di Indonesia ini yang menjadi pemicu persoalan gizi buruk dan stunting yang tak kunjung usai.
“Salah satu bukti rendahnya literasi masyarakat adalah masih ditemukannya susu kental manis dikonsumsi sebagai minuman susu. Dalam temuan kami baik data dari hasil survey maupun saat bertemu langsung dengan masyarakat, masih banyak yang beranggapan bahwa susu kental manis adalah susu yang dapat dikonsumsi sebagai minuman susu. Alasannya karena sudah terbiasa, ada yang merasa pernah mendengar aturan penggunaan susu kental manis, tapi tidak ingin mencari tahu. Ini menunjukkan literasi rendah, masyarakat tidak teredukasi,” jelas Arif Hidayat.
Senada dengan Arif, pegiat literasi Maman Suherman yang sekaligus menjadi salah satu juri dalam kompetisi storytelling tersbeut mengatakan perjuangan mengajak orang berliterasi tidak hanya berhenti sampai BPOM mengeluarkan ketentuan tentang susu kental manis.
“Bicara literasi bukan hanya sekedar baca tulis, tapi mengerti apa yang kita baca. Sebagai contoh, BPOM telah melarang penggunaan susu kental manis sebagai pengganti ASI. Tapi di rak-rak supermarket, produk ini berada berdampingan dengan susu. Lalu masyarakat beli dan dijadikan susu untuk anak. Kalau masyarakat sudah paham literasi, hal seperti ini tidak akan terjadi,” papar Maman Suherman.
Hal ini diperparah dengan angka minat baca di Indonesia yang juga rendah. Pada tahun 2018, survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase penduduk di atas usia 10 tahun yang membaca surat kabar atau majalah hanya 14,92%.
Angka ini lebih rendah dari persentase 15 tahun sebelumnya (23,70%). Padahal, selama hampir 15 tahun, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan nasional untuk mengatasi krisis literasi ini. Buruknya budaya literasi di Indonesia ini yang menjadi pemicu persoalan gizi buruk dan stunting yang tak kunjung usai.
“Salah satu bukti rendahnya literasi masyarakat adalah masih ditemukannya susu kental manis dikonsumsi sebagai minuman susu. Dalam temuan kami baik data dari hasil survey maupun saat bertemu langsung dengan masyarakat, masih banyak yang beranggapan bahwa susu kental manis adalah susu yang dapat dikonsumsi sebagai minuman susu. Alasannya karena sudah terbiasa, ada yang merasa pernah mendengar aturan penggunaan susu kental manis, tapi tidak ingin mencari tahu. Ini menunjukkan literasi rendah, masyarakat tidak teredukasi,” jelas Arif Hidayat.
Senada dengan Arif, pegiat literasi Maman Suherman yang sekaligus menjadi salah satu juri dalam kompetisi storytelling tersbeut mengatakan perjuangan mengajak orang berliterasi tidak hanya berhenti sampai BPOM mengeluarkan ketentuan tentang susu kental manis.
“Bicara literasi bukan hanya sekedar baca tulis, tapi mengerti apa yang kita baca. Sebagai contoh, BPOM telah melarang penggunaan susu kental manis sebagai pengganti ASI. Tapi di rak-rak supermarket, produk ini berada berdampingan dengan susu. Lalu masyarakat beli dan dijadikan susu untuk anak. Kalau masyarakat sudah paham literasi, hal seperti ini tidak akan terjadi,” papar Maman Suherman.
(tri)
tulis komentar anda