YAICI dan Kampung Dongeng Indonesia Gencarkan Edukasi Gizi Lewat Storytelling
loading...
A
A
A
JAKARTA - Storytelling kini telah menjadi media pembelajaran yang efektif. Metode ini berkembang menjadi salah satu kompetensi yang perlu dikuasai anak di era digital. Hal itu disampaikan founder Kampung Dongeng Indonesia (KADO), Awam Prakoso dalam acara pengumuman pemenang lomba Story Telling Edukasi Gizi , akhir pekan lalu.
Kegiatan yang digagas bersama Yayasan Abhipraya Insan Cendekian Indonesia (YAICI) berfokus pada pelibatan generasi muda untuk dapat lebih peduli lagi pada kecukupan asupan gizi.
Metode storytelling sendiri merupakan salah satu bentuk penyampaian pesan-pesan yang secara tidak langsung dengat dengan keseharian anak muda, bahkan sejak usia anak-anak. Olehnya itu, YAICI dan KADO menggencarkan edukasi gizi lewat metode storytelling.
“Melalui kegiatan ini, anak akan terlatih untuk berkomunikasi, berani tampil di depan banyak orang dan juga kreativitasnya akan terasah. Disamping itu anak juga akan terbiasa untuk belajar, menggali lebih banyak informasi, seperti dengan topik edukasi gizi seperti ini, akan lebih melekat baik untuk si anak maupun audiensnya,” jelas Awam Prakoso.
Lomba storytelling dengan topik edukasi gizi dan susu yang baik untuk anak telah dimulai sejak Maret 2022. Selama kurun waktu lebih kurang satu bulan penyelenggaraan, telah terkumpul sekitar 200 karya berupa video edukasi yang dipublikasikan di sosial media, baik melalui platform Instagram maupun youtube.
Lomba video edukasi gizi tersebut diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan usia, mulai dari usia dini, SD hingga dewasa. Saat ini, telah terpilih 20 karya terbaik yang selanjutnya akan menjadi materi yang dapat digunakan sebagai materi sosialiasasi dan edukasi gizi.
Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat, dalam kesempatan itu menyampaikan apresiasinya terhadap KADO dan juga seluruh peserta. “Selama ini topik gizi itu identik dengan orang tua. Tapi melalui metode storytelling ini, kita dapat menjangkau lebih banyak lagi kalangan. Bukan hanya orang tua, tapi edukasi ini langsung ke anak-anak dan para remaja, yang memang sebenarnya sasaran utama dari edukasi ini," ucapnya.
"Kita berharap selanjutnya, para generasi mud aini dapat menjadi agent of change untuk kita dapat memutus rantai gizi buruk di Indonesia,” sambung Arif Hidayat.
Sebelumnya, YAICI dan KADO juga telah melakukan rangkaian kegiatan literasi gizi. Sebagaimana diketahui, Indonesia masih darurat literasi. Hasil Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018, menunjukkan bahwa 70% siswa di Indonesia memiliki kemampuan baca rendah (di bawah Level 2 dalam skala PISA). Artinya, mereka bahkan tidak mampu sekadar menemukan gagasan utama maupun informasi penting di dalam suatu teks pendek.
Hal ini diperparah dengan angka minat baca di Indonesia yang juga rendah. Pada tahun 2018, survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase penduduk di atas usia 10 tahun yang membaca surat kabar atau majalah hanya 14,92%.
Angka ini lebih rendah dari persentase 15 tahun sebelumnya (23,70%). Padahal, selama hampir 15 tahun, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan nasional untuk mengatasi krisis literasi ini. Buruknya budaya literasi di Indonesia ini yang menjadi pemicu persoalan gizi buruk dan stunting yang tak kunjung usai.
“Salah satu bukti rendahnya literasi masyarakat adalah masih ditemukannya susu kental manis dikonsumsi sebagai minuman susu. Dalam temuan kami baik data dari hasil survey maupun saat bertemu langsung dengan masyarakat, masih banyak yang beranggapan bahwa susu kental manis adalah susu yang dapat dikonsumsi sebagai minuman susu. Alasannya karena sudah terbiasa, ada yang merasa pernah mendengar aturan penggunaan susu kental manis, tapi tidak ingin mencari tahu. Ini menunjukkan literasi rendah, masyarakat tidak teredukasi,” jelas Arif Hidayat.
Senada dengan Arif, pegiat literasi Maman Suherman yang sekaligus menjadi salah satu juri dalam kompetisi storytelling tersbeut mengatakan perjuangan mengajak orang berliterasi tidak hanya berhenti sampai BPOM mengeluarkan ketentuan tentang susu kental manis.
“Bicara literasi bukan hanya sekedar baca tulis, tapi mengerti apa yang kita baca. Sebagai contoh, BPOM telah melarang penggunaan susu kental manis sebagai pengganti ASI. Tapi di rak-rak supermarket, produk ini berada berdampingan dengan susu. Lalu masyarakat beli dan dijadikan susu untuk anak. Kalau masyarakat sudah paham literasi, hal seperti ini tidak akan terjadi,” papar Maman Suherman.
Kegiatan yang digagas bersama Yayasan Abhipraya Insan Cendekian Indonesia (YAICI) berfokus pada pelibatan generasi muda untuk dapat lebih peduli lagi pada kecukupan asupan gizi.
Metode storytelling sendiri merupakan salah satu bentuk penyampaian pesan-pesan yang secara tidak langsung dengat dengan keseharian anak muda, bahkan sejak usia anak-anak. Olehnya itu, YAICI dan KADO menggencarkan edukasi gizi lewat metode storytelling.
“Melalui kegiatan ini, anak akan terlatih untuk berkomunikasi, berani tampil di depan banyak orang dan juga kreativitasnya akan terasah. Disamping itu anak juga akan terbiasa untuk belajar, menggali lebih banyak informasi, seperti dengan topik edukasi gizi seperti ini, akan lebih melekat baik untuk si anak maupun audiensnya,” jelas Awam Prakoso.
Lomba storytelling dengan topik edukasi gizi dan susu yang baik untuk anak telah dimulai sejak Maret 2022. Selama kurun waktu lebih kurang satu bulan penyelenggaraan, telah terkumpul sekitar 200 karya berupa video edukasi yang dipublikasikan di sosial media, baik melalui platform Instagram maupun youtube.
Lomba video edukasi gizi tersebut diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan usia, mulai dari usia dini, SD hingga dewasa. Saat ini, telah terpilih 20 karya terbaik yang selanjutnya akan menjadi materi yang dapat digunakan sebagai materi sosialiasasi dan edukasi gizi.
Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat, dalam kesempatan itu menyampaikan apresiasinya terhadap KADO dan juga seluruh peserta. “Selama ini topik gizi itu identik dengan orang tua. Tapi melalui metode storytelling ini, kita dapat menjangkau lebih banyak lagi kalangan. Bukan hanya orang tua, tapi edukasi ini langsung ke anak-anak dan para remaja, yang memang sebenarnya sasaran utama dari edukasi ini," ucapnya.
"Kita berharap selanjutnya, para generasi mud aini dapat menjadi agent of change untuk kita dapat memutus rantai gizi buruk di Indonesia,” sambung Arif Hidayat.
Sebelumnya, YAICI dan KADO juga telah melakukan rangkaian kegiatan literasi gizi. Sebagaimana diketahui, Indonesia masih darurat literasi. Hasil Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018, menunjukkan bahwa 70% siswa di Indonesia memiliki kemampuan baca rendah (di bawah Level 2 dalam skala PISA). Artinya, mereka bahkan tidak mampu sekadar menemukan gagasan utama maupun informasi penting di dalam suatu teks pendek.
Hal ini diperparah dengan angka minat baca di Indonesia yang juga rendah. Pada tahun 2018, survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase penduduk di atas usia 10 tahun yang membaca surat kabar atau majalah hanya 14,92%.
Angka ini lebih rendah dari persentase 15 tahun sebelumnya (23,70%). Padahal, selama hampir 15 tahun, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan nasional untuk mengatasi krisis literasi ini. Buruknya budaya literasi di Indonesia ini yang menjadi pemicu persoalan gizi buruk dan stunting yang tak kunjung usai.
“Salah satu bukti rendahnya literasi masyarakat adalah masih ditemukannya susu kental manis dikonsumsi sebagai minuman susu. Dalam temuan kami baik data dari hasil survey maupun saat bertemu langsung dengan masyarakat, masih banyak yang beranggapan bahwa susu kental manis adalah susu yang dapat dikonsumsi sebagai minuman susu. Alasannya karena sudah terbiasa, ada yang merasa pernah mendengar aturan penggunaan susu kental manis, tapi tidak ingin mencari tahu. Ini menunjukkan literasi rendah, masyarakat tidak teredukasi,” jelas Arif Hidayat.
Senada dengan Arif, pegiat literasi Maman Suherman yang sekaligus menjadi salah satu juri dalam kompetisi storytelling tersbeut mengatakan perjuangan mengajak orang berliterasi tidak hanya berhenti sampai BPOM mengeluarkan ketentuan tentang susu kental manis.
“Bicara literasi bukan hanya sekedar baca tulis, tapi mengerti apa yang kita baca. Sebagai contoh, BPOM telah melarang penggunaan susu kental manis sebagai pengganti ASI. Tapi di rak-rak supermarket, produk ini berada berdampingan dengan susu. Lalu masyarakat beli dan dijadikan susu untuk anak. Kalau masyarakat sudah paham literasi, hal seperti ini tidak akan terjadi,” papar Maman Suherman.
(tri)