Penerapan Perwali COVID-19, Pakai Komunikasi Atau Penegakan Sanksi?
Minggu, 21 Juni 2020 - 17:07 WIB
SURABAYA - Masih banyak pelanggaran dari masyarakat terkait dengan kebiasaan baru selama pandemi COVID-19. Penegakan Perwali Surabaya nomor 28 tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada kondisi pandemi COVID-19 pun terus dilakukan. Cara komunikasi dan penegakan sanksi masih belum menemukan titik kunci.
Kesadaran masyarakat dalam menerapkan kebiasaan baru belum bisa terbentuk dengan baik. Self-awareness bisa menjadi kunci kesuksesan pemutusan mata rantai Covid-19. Komunikasih pada masyarakat terus dijalin, sanksi administratif, meski bersifat represif juga masih banyak kelemahan. (Baca: Rapid Test di Surabaya Selama 22 Hari, BIN Temukan 1.702 Positip COVID-19 )
Sosiolog Nanyang Technological University Singapore, Prof Sulfikar Amir menuturkan, penerapan sanksi administratif kepada pelanggar tentunya memiliki banyak kelemahan. Misalnya, seberapa lama dan seberapa sering aparat melakukan pengawasan di setiap harinya. Dalam situasi ini jumlah dan tenaga aparat terbatas untuk bisa mengakses semua penerapan.
“Kalau ketahuan petugas, para warga menerima sanksi administratif. Namun tanpa kesadaran masyarakat, tidak ada yang bisa menjamin warga tersebut tidak melakukan pelanggaran,” kata Prof Sulfikar, Minggu (21/6/2020). (Baca: Dampak Corona, Model Cantik Surabaya Hadir di Panggung Virtual )
Ia melanjutkan, pemerintah dalam situasi ini lebih menerapkan pendekatan strategi komunikasi dibanding penegakan sanksi. Misalnya, strategi intervensi komunikasi melalui tokoh agama atau tokoh masyarakat.
Pemerintah bisa berkomunikasi dengan para ulama untuk menyisipkan pesan-pesan pentingnya menjalankan protokol kesehatan untuk kebaikan umat. “Ada pesan yang diberikan pada masyarakat, mereka bisa lebih menerima pesan dengan baik,” ucapnya.
Selama ini, ada prinsip mayoritas mempengaruhi minoritas. Ketika mayoritas warga sudah sadar dan komitmen mengenakan masker, maka itu lebih mudah untuk mempengaruhi minoritas yang belum memakai masker. Prinsip ini, menurut dia, sudah diterapkan dengan baik melalui satgas Kampung Tangguh Semeru Wani Jogo Suroboyo. “Intinya, saling mengingatkan antar warga,” jelasnya.
Prof Sulfikar menjelaskan, sanksi administratif bukan satu-satunya solusi. Ada banyak komponen pendekatan yang bisa dilakukan sebelum pemberian sanksi administratif tersebut. “Tidak menutup kemungkinan juga pemberlakuan sanksi sosial,” katanya.
Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kota Surabaya Irvan Widyanto, menjelaskan hakekat Perwali Surabaya nomor 28 tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada kondisi pandemi COVID-19 ingin memberikan kepercayaan kepada masyarakat.
Pihaknya memahami situasi saat ini sangat sulit bagi semuanya. Sehingga pihaknya tidak ingin membebani warganya dengan pengenaan denda-denda itu. Makanya, dalam Perwali itu tidak ada sanksi berupa denda-denda, karena memang yang dibutuhkan saat ini adalah kesadaran masyarakat dan masyarakat perlu dirangkul untuk menertibkan masyarakat yang lain.
Kesadaran masyarakat dalam menerapkan kebiasaan baru belum bisa terbentuk dengan baik. Self-awareness bisa menjadi kunci kesuksesan pemutusan mata rantai Covid-19. Komunikasih pada masyarakat terus dijalin, sanksi administratif, meski bersifat represif juga masih banyak kelemahan. (Baca: Rapid Test di Surabaya Selama 22 Hari, BIN Temukan 1.702 Positip COVID-19 )
Sosiolog Nanyang Technological University Singapore, Prof Sulfikar Amir menuturkan, penerapan sanksi administratif kepada pelanggar tentunya memiliki banyak kelemahan. Misalnya, seberapa lama dan seberapa sering aparat melakukan pengawasan di setiap harinya. Dalam situasi ini jumlah dan tenaga aparat terbatas untuk bisa mengakses semua penerapan.
“Kalau ketahuan petugas, para warga menerima sanksi administratif. Namun tanpa kesadaran masyarakat, tidak ada yang bisa menjamin warga tersebut tidak melakukan pelanggaran,” kata Prof Sulfikar, Minggu (21/6/2020). (Baca: Dampak Corona, Model Cantik Surabaya Hadir di Panggung Virtual )
Ia melanjutkan, pemerintah dalam situasi ini lebih menerapkan pendekatan strategi komunikasi dibanding penegakan sanksi. Misalnya, strategi intervensi komunikasi melalui tokoh agama atau tokoh masyarakat.
Pemerintah bisa berkomunikasi dengan para ulama untuk menyisipkan pesan-pesan pentingnya menjalankan protokol kesehatan untuk kebaikan umat. “Ada pesan yang diberikan pada masyarakat, mereka bisa lebih menerima pesan dengan baik,” ucapnya.
Selama ini, ada prinsip mayoritas mempengaruhi minoritas. Ketika mayoritas warga sudah sadar dan komitmen mengenakan masker, maka itu lebih mudah untuk mempengaruhi minoritas yang belum memakai masker. Prinsip ini, menurut dia, sudah diterapkan dengan baik melalui satgas Kampung Tangguh Semeru Wani Jogo Suroboyo. “Intinya, saling mengingatkan antar warga,” jelasnya.
Prof Sulfikar menjelaskan, sanksi administratif bukan satu-satunya solusi. Ada banyak komponen pendekatan yang bisa dilakukan sebelum pemberian sanksi administratif tersebut. “Tidak menutup kemungkinan juga pemberlakuan sanksi sosial,” katanya.
Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kota Surabaya Irvan Widyanto, menjelaskan hakekat Perwali Surabaya nomor 28 tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada kondisi pandemi COVID-19 ingin memberikan kepercayaan kepada masyarakat.
Pihaknya memahami situasi saat ini sangat sulit bagi semuanya. Sehingga pihaknya tidak ingin membebani warganya dengan pengenaan denda-denda itu. Makanya, dalam Perwali itu tidak ada sanksi berupa denda-denda, karena memang yang dibutuhkan saat ini adalah kesadaran masyarakat dan masyarakat perlu dirangkul untuk menertibkan masyarakat yang lain.
(don)
tulis komentar anda