Anggota DPD RI Asal Jambi Pertanyakan Kebijakan Karantina Perjalanan dari Luar Negeri
Selasa, 25 Januari 2022 - 18:23 WIB
JAKARTA - Anggota DPD RI asal Provinsi Jambi M Syukur Algoodry mempertanyakan kebijakan pemerintah yang melakukan karantina massal bagi warga yang baru pulang dari luar negeri. Menurutnya kebijakan pemerintah tersebut apa bisa dibenarkan.
“Keresahan masyarakat muncul bukan saja karena biaya yang sangat mahal. Tetapi dasar hukum yang dijadikan acuan sama sekali tidak sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ,” ujar Syukur dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/1/2022).
Syukur menjelaskan secara logika, dari prosedur kepulangan dari luar negeri telah melalui prosedur baku yang telah ditentukan oleh pejabat yang berwenang.
Dimana setiap warga negara yang pulang dari luar negeri harus dilengkapi dengan hasil Test PCR, baik dari titik keberangkatan, dan hasilnya harus negative.
“Petugas di bandara telah melakukan verifikasi dan pengecekan dokumen dimaksud. Kemudian setelah dilakukan verifikasi dokumen, maka diwajibkan test PCR kembali untuk lebih meyakinkan,” tegasnya.
Senator asal Jambi itu juga mempertanyakan, jika hasilnya negatif, kenapa masih tetap diwajibkan karantina terutama di hotel. Karantina di hotel dilaksanakan selama satu minggu dengan biaya paket yang mahal, karena penyelenggara karantina telah membuat paket secara komersil.
“Justru hal itu sama sekali tidak memenuhi sesuai dengan tujuan kekarantinaan kesehatan. Apakah penyelenggaraan karantina di hotel dapat dibenarkan mengingat hotel sama sekali tidak memiliki fasilitas kesehatan dan kekarantinaan sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018,” cetusnya.
Syukur mengatakan, paling penting harus dijawab oleh pejabat berwenang adalah jika telah mengikuti karantina selama satu minggu dan dilakukan test PCR.
Tapi dinyatakan sama sekali tidak terpapar atau negatif, apakah boleh menuntut pengembalian biaya karantina yang telah dibayarkan. “Mengingat karantina tersebut bukan keinginan warga dan cendrung terjadi pemaksaan. Apakah penyelenggara karantina bisa dikatagorikan melakukan pelanggaran HAM?,” tanya dia. Baca: Gubernur Khofifah Dorong Partisipasi Perempuan Dalam Ruang Publik.
Ia melanjutkan bagi warga negara yang tidak mampu membayar hotel. Mereka diwajibkan mengikuti karantina di tempat yang telah ditentukan seperti Wisma Atlet dan rumah susun Kampung Melayu,dengan gratis. “Kenyataannya negara harus menanggung biaya yang sangat besar. Bagaimana Mengauditnya?,” terang Syukur.
Syukur memberikan gambaran bahwa di Amerika Serikat sama sekali tidak melaksanakan karantina terhadap pengunjung dan warga yang datang. Bahkan jutaan orang yang datang silih berganti di airport di semua negara bagian Amerika. Baca Juga: Polda Sumsel Telusuri Aliran Dana yang Menjerat Kapolres OKU.
“Dalil yang mengatakan bahwa di Amerika terjadi peningkatan terpapar COVID-19 memang betul, Namun jika dibuat rasio, masih jauh lebih kecil jumlahnya di bandingkan di Indonesia,” pungkasnya.
“Keresahan masyarakat muncul bukan saja karena biaya yang sangat mahal. Tetapi dasar hukum yang dijadikan acuan sama sekali tidak sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ,” ujar Syukur dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/1/2022).
Syukur menjelaskan secara logika, dari prosedur kepulangan dari luar negeri telah melalui prosedur baku yang telah ditentukan oleh pejabat yang berwenang.
Dimana setiap warga negara yang pulang dari luar negeri harus dilengkapi dengan hasil Test PCR, baik dari titik keberangkatan, dan hasilnya harus negative.
“Petugas di bandara telah melakukan verifikasi dan pengecekan dokumen dimaksud. Kemudian setelah dilakukan verifikasi dokumen, maka diwajibkan test PCR kembali untuk lebih meyakinkan,” tegasnya.
Senator asal Jambi itu juga mempertanyakan, jika hasilnya negatif, kenapa masih tetap diwajibkan karantina terutama di hotel. Karantina di hotel dilaksanakan selama satu minggu dengan biaya paket yang mahal, karena penyelenggara karantina telah membuat paket secara komersil.
“Justru hal itu sama sekali tidak memenuhi sesuai dengan tujuan kekarantinaan kesehatan. Apakah penyelenggaraan karantina di hotel dapat dibenarkan mengingat hotel sama sekali tidak memiliki fasilitas kesehatan dan kekarantinaan sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018,” cetusnya.
Syukur mengatakan, paling penting harus dijawab oleh pejabat berwenang adalah jika telah mengikuti karantina selama satu minggu dan dilakukan test PCR.
Tapi dinyatakan sama sekali tidak terpapar atau negatif, apakah boleh menuntut pengembalian biaya karantina yang telah dibayarkan. “Mengingat karantina tersebut bukan keinginan warga dan cendrung terjadi pemaksaan. Apakah penyelenggara karantina bisa dikatagorikan melakukan pelanggaran HAM?,” tanya dia. Baca: Gubernur Khofifah Dorong Partisipasi Perempuan Dalam Ruang Publik.
Ia melanjutkan bagi warga negara yang tidak mampu membayar hotel. Mereka diwajibkan mengikuti karantina di tempat yang telah ditentukan seperti Wisma Atlet dan rumah susun Kampung Melayu,dengan gratis. “Kenyataannya negara harus menanggung biaya yang sangat besar. Bagaimana Mengauditnya?,” terang Syukur.
Syukur memberikan gambaran bahwa di Amerika Serikat sama sekali tidak melaksanakan karantina terhadap pengunjung dan warga yang datang. Bahkan jutaan orang yang datang silih berganti di airport di semua negara bagian Amerika. Baca Juga: Polda Sumsel Telusuri Aliran Dana yang Menjerat Kapolres OKU.
“Dalil yang mengatakan bahwa di Amerika terjadi peningkatan terpapar COVID-19 memang betul, Namun jika dibuat rasio, masih jauh lebih kecil jumlahnya di bandingkan di Indonesia,” pungkasnya.
(nag)
tulis komentar anda