Gunung Anak Krakatau Picu Tsunami 2018 hingga Tewaskan 400 Orang, Ini Penyebabnya
Kamis, 30 Desember 2021 - 13:21 WIB
Baca Juga
Disimpulkan bahwa letusan eksplosif besar yang terkait dengan keruntuhan justru disebabkan oleh sistem magmatik yang menjadi tidak stabil sesaat setelah longsoran berlangsung. Ini berarti sangat kecil kemungkinannya, bencana di penghujung 2018 lalu disebabkan oleh magma yang memaksa naik ke permukaan dan memicu tanah longsor.
Metode pemantauan gunung berapi saat ini merekam aktivitas seismik dan sinyal lain yang disebabkan oleh magma yang naik melalui gunung berapi, namun peristiwa Anak Krakatau 2018 ini tidak dipicu dari dalam melainkan dari luar yaitu hilangnya tubuh gunung secara tiba-tiba, maka tidak akan terdeteksi menggunakan teknik yang ada saat ini.
Sebastian Watt, dari Fakultas Geografi, Ilmu Bumi dan Lingkungan Universitas Birmingham, adalah penulis senior makalah tersebut. "Jenis bahaya vulkanik ini jarang terjadi, sangat sulit diprediksi dan seringkali menghancurkan. Temuan kami menunjukkan bahwa, meskipun ada letusan eksplosif yang dramatis setelah runtuhnya Anak Krakatau, ini dipicu oleh tanah longsor yang melepaskan tekanan pada sistem magma, seperti gabus sampanye yang meletus," ujarnya dalam siaran pers tertulis.
Hasilnya menghadirkan tantangan untuk memprediksi bahaya masa depan di pulau-pulau gunung api. Mirzam Abdurrachman, dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menjelaskan, jika tanah longsor berskala besar terjadi di daerah vulkanik sebagai akibat dari ketidakstabilan jangka panjang, dan dapat terjadi tanpa perubahan khas dalam aktivitas magmatik di gunung berapi, ini berarti fenomena tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa peringatan yang jelas.
"Apa yang coba disampaikan Anak Krakatau 2018, mungkin bisa menjawab beberapa hal yang terjadi di Semeru pada saat ini, terjadi secara tiba-tiba dan tanpa tanda-tanda khusus," jelasnya.
"Temuan ini penting bagi orang-orang yang tinggal di daerah yang dikelilingi oleh gunung berapi aktif, dan pulau-pulau gunung api di tempat-tempat seperti Indonesia, Filipina, dan Jepang," tambah Mirzam.
Kyra Cutler, peneliti utama dari Universitas Oxford mengatakan, mengevaluasi pertumbuhan jangka panjang dan pola deformasi gunung berapi akan sangat membantu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kemungkinan terjadinya fenomena tersebut.
"Tentu ini akan sangat relevan untuk Anak Krakatau saat ia membangun kembali tubuhnya menjadi lebih besar. Mengidentifikasi daerah yang rentan, bersama dengan upaya untuk mengembangkan deteksi tsunami nonseismik, akan meningkatkan strategi manajemen bahaya secara keseluruhan untuk masyarakat yang berisiko," pungkasnya.
tulis komentar anda