Komnas PA Minta Oknum Pendeta Dijerat Pasal Kebiri
Rabu, 27 Mei 2020 - 22:27 WIB
SURABAYA - Oknum pendeta di Surabaya, Hanny Layantara, kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Hanny Layantara, didakwa melanggar pasal 82 UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan atau pasal 264 KUHP dengan ancaman hukuman hingga sembilan tahun penjara.
(Baca juga: Dari PSBB, Malang Raya Bisa Persiapan Transisi Normal Baru )
Sidang yang diketuai Yohanes Hehamoni digelar secara tertutup. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas eksepsi tim penasehat hukum terdakwa. Tampak pula hadir Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait. "Kami ingin mendampingi proses persidangan yang menurut saya adalah kejahatan seksual yang luar biasa," katanya, Rabu (27/5/2020).
Untuk itu, kata dia, pihaknya meminta ke JPU untuk menjerat terdakwa dengan pasal berlapis. Tidak hanya pasal 82 UU Perlindungan Anak, tapi juga UU No. 17/2016 tentang Penetapan Perpu No. 1/2016. "Dalam UU jelas dijabarkan jeratan hukumannya minimal 10 tahun, 20 tahun penjara bahkan bisa seumur hidup. Karena dilakukan secara berulang-ulang bisa ditambahkan hukuman kebiri secara kimia," imbuhnya.
Menurutnya, hal itu sebagai upaya penegakan hukum, terlebih terdakwa mengaku sebagai pemuka agama. Apalagi dugaan pelecehan seksual ini dilakukan selama bertahun-tahun. Dia pun menduga adanya korban-korban lain. Bahkan dia berpendapat apabila terbukti, meminta terdakwa dipasang chip detector guna melacak setiap keberadaannya.
"Hal ini (korban lain) yang akan kami gali. Terlebih yang mengaku sebagai pemuka agama yang seharusnya melindungi anak-anak. Saya pun memberikan apresiasi terhadap Polda Jatim yang serius menangani laporan ini," katanya.
Pihaknya sebenarnya berharap persidangan perkara ini digelar secara terbuka untuk umum. "Yang diperiksa kan orang dewasa bukan anak-anak, namun kita tetap menghormati proses persidangan yang merupakan hak pengadilan," tambahnya.
Terpisah, penasehat hukum terdakwa Jefri Simatupang yakin kliennya tidak bakal dihukum seumur hidup. "Dalam pasal 82 UU Perlindungan Anak tidak ada hukuman seumur hidup. Jadi tidak mungkin dihukum seumur hidup atau bahkan hukuman kebiri. Menurut UU ancaman pasal 82 maksimal 15 tahun penjara," ujar Jefri.
Dia berpendapat bahwa perkara yang saat ini diperiksa oleh hakim PN Surabaya tersebut sudah kadaluarsa. "Karena terjadinya dugaan tindak pidana sudah melebihi 12 tahun yang lalu, sedangkan setiap perkara yang ancaman hukuman 15 tahun penjara, kadaluarsanya 12 tahun. Dan apabila dihitung sejak 2006, maka dugaan tindak pidana ini sudah 14 tahun yang lalu," tambah Jefri.
Sebelumnya, kasus ini mencuat setelah korban melalui juru bicara keluarga melakukan pelaporan ke SPKT Polda Jatim dengan nomor LPB/ 155/ II/ 2020/ UM/ SPKT, pada Rabu 20 Februari 2020. Berdasarkan keterangan, korban mengaku telah dicabuli selama 17 tahun. terhitung sejak usianya sembilan tahun hingga saat ini 26 tahun. Namun, dari hasil pengembangan terakhir pencabulan terjadi dalam rentang waktu enam tahun, ketika usia korban masih 12 tahun hingga 18 tahun.
Setelah pelaporan itu, kepolisian langsung melakukan penyelidikan dan menetapkan Hanny Layantara sebagai tersangka karena dalam hasil gelar perkara ada kesesuaian antara keterangan saksi, korban, tersangka dan barang bukti yang ditemukan.
Akhirnya, pendeta ditangkap oleh penyidik pada 7 Maret 2020 karena ada upaya kabur ke luar negeri dengan alasan ada undangan untuk memberikan ceramah. Atas perbuatan polisi menjerat tersangka pasal 82 UU Perlindungan Anak dan atau pasal 264 KUHP.
(Baca juga: Dari PSBB, Malang Raya Bisa Persiapan Transisi Normal Baru )
Sidang yang diketuai Yohanes Hehamoni digelar secara tertutup. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas eksepsi tim penasehat hukum terdakwa. Tampak pula hadir Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait. "Kami ingin mendampingi proses persidangan yang menurut saya adalah kejahatan seksual yang luar biasa," katanya, Rabu (27/5/2020).
Untuk itu, kata dia, pihaknya meminta ke JPU untuk menjerat terdakwa dengan pasal berlapis. Tidak hanya pasal 82 UU Perlindungan Anak, tapi juga UU No. 17/2016 tentang Penetapan Perpu No. 1/2016. "Dalam UU jelas dijabarkan jeratan hukumannya minimal 10 tahun, 20 tahun penjara bahkan bisa seumur hidup. Karena dilakukan secara berulang-ulang bisa ditambahkan hukuman kebiri secara kimia," imbuhnya.
Menurutnya, hal itu sebagai upaya penegakan hukum, terlebih terdakwa mengaku sebagai pemuka agama. Apalagi dugaan pelecehan seksual ini dilakukan selama bertahun-tahun. Dia pun menduga adanya korban-korban lain. Bahkan dia berpendapat apabila terbukti, meminta terdakwa dipasang chip detector guna melacak setiap keberadaannya.
"Hal ini (korban lain) yang akan kami gali. Terlebih yang mengaku sebagai pemuka agama yang seharusnya melindungi anak-anak. Saya pun memberikan apresiasi terhadap Polda Jatim yang serius menangani laporan ini," katanya.
Pihaknya sebenarnya berharap persidangan perkara ini digelar secara terbuka untuk umum. "Yang diperiksa kan orang dewasa bukan anak-anak, namun kita tetap menghormati proses persidangan yang merupakan hak pengadilan," tambahnya.
Terpisah, penasehat hukum terdakwa Jefri Simatupang yakin kliennya tidak bakal dihukum seumur hidup. "Dalam pasal 82 UU Perlindungan Anak tidak ada hukuman seumur hidup. Jadi tidak mungkin dihukum seumur hidup atau bahkan hukuman kebiri. Menurut UU ancaman pasal 82 maksimal 15 tahun penjara," ujar Jefri.
Dia berpendapat bahwa perkara yang saat ini diperiksa oleh hakim PN Surabaya tersebut sudah kadaluarsa. "Karena terjadinya dugaan tindak pidana sudah melebihi 12 tahun yang lalu, sedangkan setiap perkara yang ancaman hukuman 15 tahun penjara, kadaluarsanya 12 tahun. Dan apabila dihitung sejak 2006, maka dugaan tindak pidana ini sudah 14 tahun yang lalu," tambah Jefri.
Sebelumnya, kasus ini mencuat setelah korban melalui juru bicara keluarga melakukan pelaporan ke SPKT Polda Jatim dengan nomor LPB/ 155/ II/ 2020/ UM/ SPKT, pada Rabu 20 Februari 2020. Berdasarkan keterangan, korban mengaku telah dicabuli selama 17 tahun. terhitung sejak usianya sembilan tahun hingga saat ini 26 tahun. Namun, dari hasil pengembangan terakhir pencabulan terjadi dalam rentang waktu enam tahun, ketika usia korban masih 12 tahun hingga 18 tahun.
Setelah pelaporan itu, kepolisian langsung melakukan penyelidikan dan menetapkan Hanny Layantara sebagai tersangka karena dalam hasil gelar perkara ada kesesuaian antara keterangan saksi, korban, tersangka dan barang bukti yang ditemukan.
Akhirnya, pendeta ditangkap oleh penyidik pada 7 Maret 2020 karena ada upaya kabur ke luar negeri dengan alasan ada undangan untuk memberikan ceramah. Atas perbuatan polisi menjerat tersangka pasal 82 UU Perlindungan Anak dan atau pasal 264 KUHP.
(eyt)
tulis komentar anda