Bikin Ketagihan, Ini Lho Rahasia Nasi Goreng Babat Iso Legendaris Mbak Yati Salatiga
Sabtu, 27 Maret 2021 - 12:44 WIB
Untuk bakmi, Mbak Yati mengaku membuat sendiri, sehingga dijamin tanpa bahan pengawet. Karena rasanya jelas beda, dengan pengawet dan tanpa pengawet. Harganya pun tidak mahal dan pas di kantong. Setiap porsinya rata-rata Rp12.000.
Sebelum berjualan nasi goreng, Sumaryati pernah berjualan pakaian. Namun usaha yang dirintisnya itu tidak bertahan lama. Gagal di bisnis pakaian, Sumaryati banting haluan dengan ternak ayam potong. Namun usaha ini juga gagal.
Di saat gundah mencari usaha apa yang cocok, Sumaryati sadar bahwa ia punya hobi dan bakat memasak. Ia lantas memutuskan untuk membuka usaha warung nasi goreng. "Saat saya buka pertama kali tahun 1989, warung nasi goreng dan bakmi belum sebanyak ini,” kata ibu empat anak ini.
Merintis warung nasi goreng hingga terkenal seperti sekarang ini, diakui Sumaryati penuh perjuangan yang panjang. Dirintis sejak tahun 1989, banyak suka duka yang dialaminya. “Dulu di awal-awal jualan, sering merugi. Namun saya tetap sabar, dan Tuhan akhirnya memberi jalan,” kata istri dari almarhum Lukito ini.
Diceritakan Mbak Yati, awal berjualan di tahun 1989, harga nasi goreng/bakmi goreng setiap porsinya Rp400, dan Rp500 untuk menu spesial. Seiring perjalanan waktu, karena bisa mempertahankan rasanya, warung nasi goreng ini banyak pelanggan setianya. Para pelanggan dari berbagai kalangan di Salatiga, mulai pelajar, mahasiswa, pegawai dan sebagainya. “Dari dulu kami berjualannya yang di tempat ini,” katanya.
Buka mulai pukul 15.00 WIB, warung ini sudah diserbu para pembeli, terutama pas sore atau jam makan malam. Biasanya warung tutup pukul 22.00 WIB. “Kami juga menerima pesanan. Dan biasanya pesanan itu untuk acara-acara rapat,” kata Mbak Yati.
Karena pelanggannya banyak, saban harinya ia menghabiskan 20 Kg beras untuk nasi goreng. Mengimbangi banyaknya pembeli, Sumaryati memperkerjakan 4 karyawati, ditambah dua anaknya yang setia membantunya.
Sumaryati sangat bersyukur jika warung nasi goreng yang telah dirintisnya ini akhirnya bisa menjadi sandaran hidup keluarga. Bahkan ia juga sukses menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Bagi Sumaryati, dalam merintis usaha harus dilandasi dengan sabar dan tekun. “Dengan modal itu, saya yakin Tuhan selalu memberi jalan kepada kita,” ucapnya.
Dikatakan Sumaryati, pelanggannya tidak hanya dari Salatiga saja. Para pelangganya juga berasal dari luar kota, seperti dari Semarang, Boyolali dan Solo. Terbukti, banyak pelancong dari luar daerah yang datang ke Salatiga untuk sekedar mampir ke warungnya. "Banyak juga pelanggan dari luar kota. Mungkin dari getok tular,” katanya.
Tanpa maksud menonjolkan diri, dikatakan Mbak Yati, para pelanggan mengaku cocok dengan masakannya karena rasanya yang khas dan bersih. “Meski menempati warung yang sederhana, tapi kebersihan saya utamakan,” tandasnya.
Sebelum berjualan nasi goreng, Sumaryati pernah berjualan pakaian. Namun usaha yang dirintisnya itu tidak bertahan lama. Gagal di bisnis pakaian, Sumaryati banting haluan dengan ternak ayam potong. Namun usaha ini juga gagal.
Di saat gundah mencari usaha apa yang cocok, Sumaryati sadar bahwa ia punya hobi dan bakat memasak. Ia lantas memutuskan untuk membuka usaha warung nasi goreng. "Saat saya buka pertama kali tahun 1989, warung nasi goreng dan bakmi belum sebanyak ini,” kata ibu empat anak ini.
Merintis warung nasi goreng hingga terkenal seperti sekarang ini, diakui Sumaryati penuh perjuangan yang panjang. Dirintis sejak tahun 1989, banyak suka duka yang dialaminya. “Dulu di awal-awal jualan, sering merugi. Namun saya tetap sabar, dan Tuhan akhirnya memberi jalan,” kata istri dari almarhum Lukito ini.
Diceritakan Mbak Yati, awal berjualan di tahun 1989, harga nasi goreng/bakmi goreng setiap porsinya Rp400, dan Rp500 untuk menu spesial. Seiring perjalanan waktu, karena bisa mempertahankan rasanya, warung nasi goreng ini banyak pelanggan setianya. Para pelanggan dari berbagai kalangan di Salatiga, mulai pelajar, mahasiswa, pegawai dan sebagainya. “Dari dulu kami berjualannya yang di tempat ini,” katanya.
Buka mulai pukul 15.00 WIB, warung ini sudah diserbu para pembeli, terutama pas sore atau jam makan malam. Biasanya warung tutup pukul 22.00 WIB. “Kami juga menerima pesanan. Dan biasanya pesanan itu untuk acara-acara rapat,” kata Mbak Yati.
Karena pelanggannya banyak, saban harinya ia menghabiskan 20 Kg beras untuk nasi goreng. Mengimbangi banyaknya pembeli, Sumaryati memperkerjakan 4 karyawati, ditambah dua anaknya yang setia membantunya.
Sumaryati sangat bersyukur jika warung nasi goreng yang telah dirintisnya ini akhirnya bisa menjadi sandaran hidup keluarga. Bahkan ia juga sukses menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Bagi Sumaryati, dalam merintis usaha harus dilandasi dengan sabar dan tekun. “Dengan modal itu, saya yakin Tuhan selalu memberi jalan kepada kita,” ucapnya.
Dikatakan Sumaryati, pelanggannya tidak hanya dari Salatiga saja. Para pelangganya juga berasal dari luar kota, seperti dari Semarang, Boyolali dan Solo. Terbukti, banyak pelancong dari luar daerah yang datang ke Salatiga untuk sekedar mampir ke warungnya. "Banyak juga pelanggan dari luar kota. Mungkin dari getok tular,” katanya.
Tanpa maksud menonjolkan diri, dikatakan Mbak Yati, para pelanggan mengaku cocok dengan masakannya karena rasanya yang khas dan bersih. “Meski menempati warung yang sederhana, tapi kebersihan saya utamakan,” tandasnya.
tulis komentar anda