Pengacara PLTG Namlea Sebut BPKP Maluku Tak Punya Dokumen Valid saat Audit Lahan
Sabtu, 19 Desember 2020 - 13:47 WIB
MALUKU - Kinerja lembaga audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) Perwakilan Maluku dipertanyakan. Pasalnya, meski pun hasil audit lembaga itu sudah dipatahkan Pengadilan Negeri Ambon dalam praperadilan akibat Kejati Maluku menetapkan Fery Tanaya (FT) pemilik lahan pengadaan proyek PLTG Namlea sebagai tersangka, tapi BPKP masih tetap tunduk kepada jaksa untuk mengaudit dugaan kerugian negara dengan menggunakan data yang tak valid.
"Audit yang dilakukan auditor dari BPKP Perwakilan Maluku itu tak benar karena audit tak gunakan data atau dokumen yang valid. Dokumen yang digunakan BPKP bodong, hanya mengacu pada pendapat ahli yang belum diuji kebenarannya di pengadilan," ungkap Hendry Lusikooy, kuasa hukum Feri Tanaya Kamis (16/12/2020).
Menurut Lusikooy, audit yang dilakukan BPKP hanya mengacu pada pendapat ahli bahwa lahan PLTG Namlea merupakan tanah erfpacht dan Itu salah. Kebenaran materil dari status lahan itu sudah dibedah atau diperjelas saat sidang praperadilan antara Fery Tanaya melawan Kejati Maluku dan di situ nampak alasan BPKP tidak punya dasar hukum.
"Karena itu saya tegaskan audit BPKP tidak valid karena dokumen bodong, tak lengkap. Hasil audit itu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Orang punya lahan dijual untuk kepentingan umum ke PLN kok ditetapkan tersangka dengan alasan yang tidak masuk akal," kata Lusikooy.
Disebutkan, alasan jaksa lahan milik Fery Tanaya itu tanah negara, tapi jaksa tidak mampu membuktikan apakah tanah itu milik instansi apa dan terfaftar dalam buku aset daerah atau tidak. "Melakukan penegakan hukum harus yang benar. Jangan orang tidak salah dicari-cari kesalahannya, itu tidak boleh," pungkas Lusikooy.
Untuk diketahui, jaksa menetapkan Ferry Tanaya sebagai tersangka. Jaksa mengklaim lahan seluas 48.645, 50 hektar di Kecamatan Namlea yang dijual Tanaya Tahun 2016 kepada PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara adalah milik negara.
Selain Tanaya, eks Kepala Seksi Pengadaan Lahan Kabupaten Buru, Abdul Gafur Laitupa juga ditetapkan sebagai tersangka. Hasil audit BPKP Maluku yang menemukan kerugian negara Rp 6 miliar lebih memperkuat bukti yang dikantongi jaksa.
Namun Ferry Tanaya mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka. Upayanya berhasil. Hakim Pengadilan Negeri Ambon Rahmat Selang mengabulkan permohonan praperadilan dan menggugurkan status tersangkanya. Pasca Tanaya bebas, penyidik Kejati Maluku membebaskan Abdul Gafur Laitupa.
Tak mau menyerah, penyidik Kejati Maluku menerbitkan lagi surat perintah penyidikan (sprindik) baru. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) juga telah disampaikan kepada Tanaya pada 25 September 2020 lalu. (Baca:Dua Truk 'Adu Kambing' di Jalinsum, 1 Tewas dan 3 Terluka).
Kasi Penkum dan Humas Kejaksaan Tinggi Maluku Samy Sapulette mengatakan, penetapan tersangka akan ditetapkan setelah penyidik mengantongi hasil audit dari BPKP. Sayangnya, BPKP masih menggunakan data yang sudah dipatahkan di sidang praperadilan untuk mengaudit kasus ini dan memberikan masukan ke jaksa ada kerugian negara.
"Audit yang dilakukan auditor dari BPKP Perwakilan Maluku itu tak benar karena audit tak gunakan data atau dokumen yang valid. Dokumen yang digunakan BPKP bodong, hanya mengacu pada pendapat ahli yang belum diuji kebenarannya di pengadilan," ungkap Hendry Lusikooy, kuasa hukum Feri Tanaya Kamis (16/12/2020).
Menurut Lusikooy, audit yang dilakukan BPKP hanya mengacu pada pendapat ahli bahwa lahan PLTG Namlea merupakan tanah erfpacht dan Itu salah. Kebenaran materil dari status lahan itu sudah dibedah atau diperjelas saat sidang praperadilan antara Fery Tanaya melawan Kejati Maluku dan di situ nampak alasan BPKP tidak punya dasar hukum.
"Karena itu saya tegaskan audit BPKP tidak valid karena dokumen bodong, tak lengkap. Hasil audit itu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Orang punya lahan dijual untuk kepentingan umum ke PLN kok ditetapkan tersangka dengan alasan yang tidak masuk akal," kata Lusikooy.
Disebutkan, alasan jaksa lahan milik Fery Tanaya itu tanah negara, tapi jaksa tidak mampu membuktikan apakah tanah itu milik instansi apa dan terfaftar dalam buku aset daerah atau tidak. "Melakukan penegakan hukum harus yang benar. Jangan orang tidak salah dicari-cari kesalahannya, itu tidak boleh," pungkas Lusikooy.
Untuk diketahui, jaksa menetapkan Ferry Tanaya sebagai tersangka. Jaksa mengklaim lahan seluas 48.645, 50 hektar di Kecamatan Namlea yang dijual Tanaya Tahun 2016 kepada PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara adalah milik negara.
Selain Tanaya, eks Kepala Seksi Pengadaan Lahan Kabupaten Buru, Abdul Gafur Laitupa juga ditetapkan sebagai tersangka. Hasil audit BPKP Maluku yang menemukan kerugian negara Rp 6 miliar lebih memperkuat bukti yang dikantongi jaksa.
Namun Ferry Tanaya mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka. Upayanya berhasil. Hakim Pengadilan Negeri Ambon Rahmat Selang mengabulkan permohonan praperadilan dan menggugurkan status tersangkanya. Pasca Tanaya bebas, penyidik Kejati Maluku membebaskan Abdul Gafur Laitupa.
Tak mau menyerah, penyidik Kejati Maluku menerbitkan lagi surat perintah penyidikan (sprindik) baru. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) juga telah disampaikan kepada Tanaya pada 25 September 2020 lalu. (Baca:Dua Truk 'Adu Kambing' di Jalinsum, 1 Tewas dan 3 Terluka).
Kasi Penkum dan Humas Kejaksaan Tinggi Maluku Samy Sapulette mengatakan, penetapan tersangka akan ditetapkan setelah penyidik mengantongi hasil audit dari BPKP. Sayangnya, BPKP masih menggunakan data yang sudah dipatahkan di sidang praperadilan untuk mengaudit kasus ini dan memberikan masukan ke jaksa ada kerugian negara.
(nag)
Lihat Juga :
tulis komentar anda