Mengenang Arif Yoshizumi, Tokoh Intel Jepang Binaan Tan Malaka yang Gugur di Blitar
Jum'at, 18 Desember 2020 - 05:00 WIB
DUA jam terlibat pembicaraan cukup serius, Tomegoro Yoshizumi, seorang intel militer Jepang, sontak terpesona. Begitu juga dengan Shigetada Nishijima, koleganya. Saat itu akhir Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan belum lama dikumandangkan Dwi Tunggal Soekarno- Hatta di Jalan Pegangsaan Timur.
Malam itu mereka di rumah Ahmad Subardjo, di jalan Cikini Raya 82 Menteng, Jakarta Pusat. Yoshizumi yang sama sama datang sebagai tamu, merasa takjub dengan wawasan sekaligus ketajaman berfikir tamu Ahmad Subardjo. Tamu yang sepintas bernampilan mirip seorang petani.
Pikirnya, mustahil seorang petani fasih bicara tentang Marxisme. Fasih bicara strategi gerakan massa, propaganda, peperangan, isu politik internasional, serta cakap berbicara dalam bahasa Belanda. "Onkruid vergaat toch niet" (alang alang tak dapat musnah kalau tak dicabut sampai ke akar akarnya), kata si tamu.
(Baca juga: KH Anwar Musaddad, Ulama Besar yang Kerap Merepotkan Pasukan Belanda )
Yoshizumi adalah Kepala Intelejen Kaigun Bukanfu. Yakni Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang di Jakarta. Sedangkan Nishijima adalah tangan kanan Laksamana Muda Tadashi Maeda. Laksamana Muda Maeda yang rumahnya dijadikan tempat menyusun teks proklamasi tersebut, merupakan pimpinan Kaigun Bukanfu.
"Ini adalah Tan Malaka yang asli," kata Ahmad Subardjo memperkenalkan tamunya seperti ditulis sejarawan Wenri Wanhar dalam Jejak Intel Jepang, Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi. Kedua orang petinggi intelejen Jepang itu seketika tercengang.
Tan Malaka, nama yang sering didengar, namun baru sekali itu keduanya bertatap muka langsung. Tokoh pergerakan yang banyak diburu penguasa kolonial dan kerap dikabarkan tewas dalam pertempuran. Yoshizumi dan Nishijima langsung mengulurkan tangan, menjabat tangan Tan dengan hangat.
Dalam catatan Shigetada Nishijima, Shogen Indonesia Dokuritsu Kakumei, Nishijima sempat bergumam, "Betapa indahnya menjadi seorang revolusioner".
Malam itu mereka di rumah Ahmad Subardjo, di jalan Cikini Raya 82 Menteng, Jakarta Pusat. Yoshizumi yang sama sama datang sebagai tamu, merasa takjub dengan wawasan sekaligus ketajaman berfikir tamu Ahmad Subardjo. Tamu yang sepintas bernampilan mirip seorang petani.
Pikirnya, mustahil seorang petani fasih bicara tentang Marxisme. Fasih bicara strategi gerakan massa, propaganda, peperangan, isu politik internasional, serta cakap berbicara dalam bahasa Belanda. "Onkruid vergaat toch niet" (alang alang tak dapat musnah kalau tak dicabut sampai ke akar akarnya), kata si tamu.
(Baca juga: KH Anwar Musaddad, Ulama Besar yang Kerap Merepotkan Pasukan Belanda )
Yoshizumi adalah Kepala Intelejen Kaigun Bukanfu. Yakni Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang di Jakarta. Sedangkan Nishijima adalah tangan kanan Laksamana Muda Tadashi Maeda. Laksamana Muda Maeda yang rumahnya dijadikan tempat menyusun teks proklamasi tersebut, merupakan pimpinan Kaigun Bukanfu.
"Ini adalah Tan Malaka yang asli," kata Ahmad Subardjo memperkenalkan tamunya seperti ditulis sejarawan Wenri Wanhar dalam Jejak Intel Jepang, Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi. Kedua orang petinggi intelejen Jepang itu seketika tercengang.
Tan Malaka, nama yang sering didengar, namun baru sekali itu keduanya bertatap muka langsung. Tokoh pergerakan yang banyak diburu penguasa kolonial dan kerap dikabarkan tewas dalam pertempuran. Yoshizumi dan Nishijima langsung mengulurkan tangan, menjabat tangan Tan dengan hangat.
Dalam catatan Shigetada Nishijima, Shogen Indonesia Dokuritsu Kakumei, Nishijima sempat bergumam, "Betapa indahnya menjadi seorang revolusioner".
tulis komentar anda