Mantan Komisioner KPU Surabaya: 5 Bentuk Politik Uang yang Patut Diwaspadai
Selasa, 17 November 2020 - 23:37 WIB
SURABAYA - Politik uang dianggap bisa membahayakan kehidupan demokrasi. Sebab, politik uang berkontribusi kuat terhadap melemahnya politisi dan institusi demokrasi. (Baca juga: Ada Kerumunan Massa Habib Rizieq di Jabar, Ridwan Kamil: Itu Tanggung Jawab Saya )
"Karena itu, ayo jadikan Pilkada Surabaya bebas dari praktik kotor politik uang ," harap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya, Edward Dewaruci, Selasa (17/11/2020).
Disebutkan Teted, panggilan akrab Edward Dewaruci, politik uang seakan tidak bisa dipisahkan dari gelaran pesta demokrasi. Baik di tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten dan kota.
"Kesannya, orientasi kemenangan dibayar dengan nilai uang yang jauh lebih mahal. Sehingga pemilu tidak dihargai sebagai penyaluran hak warga negara untuk bisa melakukan koreksi kinerja pemerintahan sebelumnya," papar advokat kelahiran Surabaya ini. (Baca juga: Sadis, Suami di Sukabumi Bunuh Istrinya Secara Brutal Gara-gara Tak Mau Urus Cerai )
Saat ini, lanjut dia, ada lima modus operandi politik uang . Pertama, transaksi antara elite pemilik modal dengan pasangan calon. Kedua, transaksi pasangan calon terhadap partai politik.
Ketiga, transaksi pasangan calon terhadap penyelenggara pemilu. Hal ini ditandai banyaknya penyelenggara pemilu yang dipecat oleh DKPP. Keempat, transaksi pasangan calon dengan pemilih. Dan kelima, transaksi oknum kepala daerah dengan hakim konstitusi.
"Tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap politik uang . Sekecil apapun, politik uang harus diusut tuntas. Jika ada satu kasus pun yang melibatkan calon dan terbukti di mata hukum, maka calon harus didiskualifikasi dan dibatalkan," tandas alumnus Fakultas Hukum Unair Surabaya ini. (Baca juga: Selasa Pagi Ada Guguran dari Puncak Merapi, Suaranya Bergemuruh )
Di sisi lain, Edward mengingatkan, menggunakan politik uang untuk mencapai tujuan pada akhirnya akan mementingkan kepentingan si calon. Lebih berbahaya lagi jika motivasinya untuk kemudahan akses anggaran negara baik APBN atau APBD.
Pada kondisi ini, rakyat sama sekali diabaikan dan tidak diajak sama-sama memperjuangkan agenda kesejahteraan. Tetapi diarahkan hanya untuk memudahkan calon terpilih, mengutak-atik anggaran yang bersumber pajak untuk dinikmati sendiri bersama kelompoknya.
"Kalau sudah begini, dalam lima tahun calon terpilih akan sibuk mengembalikan semua utang dari para bohir atau bandar politik. Sehingga, ujung-ujungnya mereka berusaha korupsi. Darimana lagi calon dapat uang kalau tidak korupsi," pungkas Edward.
"Karena itu, ayo jadikan Pilkada Surabaya bebas dari praktik kotor politik uang ," harap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya, Edward Dewaruci, Selasa (17/11/2020).
Disebutkan Teted, panggilan akrab Edward Dewaruci, politik uang seakan tidak bisa dipisahkan dari gelaran pesta demokrasi. Baik di tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten dan kota.
"Kesannya, orientasi kemenangan dibayar dengan nilai uang yang jauh lebih mahal. Sehingga pemilu tidak dihargai sebagai penyaluran hak warga negara untuk bisa melakukan koreksi kinerja pemerintahan sebelumnya," papar advokat kelahiran Surabaya ini. (Baca juga: Sadis, Suami di Sukabumi Bunuh Istrinya Secara Brutal Gara-gara Tak Mau Urus Cerai )
Saat ini, lanjut dia, ada lima modus operandi politik uang . Pertama, transaksi antara elite pemilik modal dengan pasangan calon. Kedua, transaksi pasangan calon terhadap partai politik.
Ketiga, transaksi pasangan calon terhadap penyelenggara pemilu. Hal ini ditandai banyaknya penyelenggara pemilu yang dipecat oleh DKPP. Keempat, transaksi pasangan calon dengan pemilih. Dan kelima, transaksi oknum kepala daerah dengan hakim konstitusi.
"Tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap politik uang . Sekecil apapun, politik uang harus diusut tuntas. Jika ada satu kasus pun yang melibatkan calon dan terbukti di mata hukum, maka calon harus didiskualifikasi dan dibatalkan," tandas alumnus Fakultas Hukum Unair Surabaya ini. (Baca juga: Selasa Pagi Ada Guguran dari Puncak Merapi, Suaranya Bergemuruh )
Di sisi lain, Edward mengingatkan, menggunakan politik uang untuk mencapai tujuan pada akhirnya akan mementingkan kepentingan si calon. Lebih berbahaya lagi jika motivasinya untuk kemudahan akses anggaran negara baik APBN atau APBD.
Pada kondisi ini, rakyat sama sekali diabaikan dan tidak diajak sama-sama memperjuangkan agenda kesejahteraan. Tetapi diarahkan hanya untuk memudahkan calon terpilih, mengutak-atik anggaran yang bersumber pajak untuk dinikmati sendiri bersama kelompoknya.
"Kalau sudah begini, dalam lima tahun calon terpilih akan sibuk mengembalikan semua utang dari para bohir atau bandar politik. Sehingga, ujung-ujungnya mereka berusaha korupsi. Darimana lagi calon dapat uang kalau tidak korupsi," pungkas Edward.
(eyt)
tulis komentar anda