PKBM: Jendela Ilmu di Wilayah 3T PKBM di Perbatasan
Senin, 04 Mei 2020 - 06:48 WIB
Ibu dari tiga orang anak ini tinggal di daerah Sotok, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau. Jarak antara PKBM dan rumahnya adalah sekitar 10 Kilometer, mau tidak mau ia mengendarai sepeda motor untuk dapat sampai ke PKBM demi mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kadang, ia turut membawa anak bungsunya yang masih berumur 6 tahun jika sedang rewel atau tidak ada kerabat yang dapat dititipkan untuk menjaganya.
Dalam kesehariannya, Siriani bersama dengan suaminya Jaenal (40) bekerja sebagai buruh di salah satu pekerbunan kelapa sawit di Kabupaten Sanggau. Upah yang ia dapat sebesar 500 ribu Rupiah. Bersama dengan penghasilan suaminya, ia berusaha selalu mencukupkan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.
Untuk meningkatkan penghasilan yang didapat, ia berupaya menjadi Krani (administrator) di kebun sawit yang digaji sebesar satu setengah juta Rupiah perbulan. Akan tetapi, untuk menjadi seorang Krani, perusahaan tempat ia bekerja mewajibkan harus memiliki ijazah SMA atau setara (Paket C). Atas dasar itulah, ia bersemangat untuk dapat lulus sampai dengan ujian kesetaraan Paket C.
“Kalau sekarang buruh lepas gajinya satu bulan paling 500 ribu, karena kerjanya cuma tujuh hari saja. Kalau jadi Krani bisa sampai dua juta satu bulan, paling sedikit satu setengah juta,” ucap Siriani.
Beruntung, tempat Ibu Siriani bekerja memberikan ijin bagi para buruhnya untuk mengambil Paket C. Ia pun mengambil kesempatan itu dan memulai pendidikannya dari kelas Calistung (Baca Tulis dan Berhitung) karena ia buta huruf. Setelah ia menyelesaikan kelas Calistung, Ibu Siriani melanjutkan ke Paket A selama tiga tahun dan lulus. Sekarang, sudah tahun ketiga ia mengikuti kelas Paket B, dan tahun ini ia akan menghadapi ujian ke lulusan Paket B.
“Saya ikut PKBM ini supaya bisa dapat ijazah Paket C. Teman saya kemarin diangkat jadi Krani karena sudah duluan ambil Paket C. Jadi saya mau seperti dia, dapat penghasilan lebih tinggi, kehidupan yang lebih bagus dan menjadi lebih pintar, biar tidak malu sama anak saya yang sekolah”, ujar Siriani.
Kelas pun dimulai dengan praktek komputer (Ms. Word). Pengajar yang saat itu dikelas mengajari para peserta didik dengan sabar, bahkan tidak sungkan ia menghampiri satu persatu peserta didik ke komputer masing-masing untuk memberikan petunjuk pengoperasian Ms. Word.
Siriani yang terlihat gugup di depan computer, hanya bisa berharap menunggu giliran dari peserta didik yang sudah selesai mengerjakan tugas dari pengajar. Tidak lama, terdapat satu murid yang selesai dan pengajar saat itu langsung meminta Siriani untuk berpindah komputer dan mencoba mengetikkan biodata dirinya di Ms. Word.
Meski tampak kaku, namun dengan dua jari telunjuknya, Siriani mulai mengetikan biodata dirinya. Perlahan tapi pasti, meski masih salah meraba letak huruf yang terhampar di keyboard, akhirnya Siriani pun berhasil mengetikkan biodata dirinya.
“Baru pertama saya pegang ini, belum bisa komputer, cuma bisa pegang aja, tapi saya harus bisa, karena kalau mau jadi Krani harus bisa ngetik-ngetik gitu dan isi data di handphone yang canggih itu, yang isinya layar semua (smartphone).” kata Siriani tersenyum malu.
Dalam kesehariannya, Siriani bersama dengan suaminya Jaenal (40) bekerja sebagai buruh di salah satu pekerbunan kelapa sawit di Kabupaten Sanggau. Upah yang ia dapat sebesar 500 ribu Rupiah. Bersama dengan penghasilan suaminya, ia berusaha selalu mencukupkan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.
Untuk meningkatkan penghasilan yang didapat, ia berupaya menjadi Krani (administrator) di kebun sawit yang digaji sebesar satu setengah juta Rupiah perbulan. Akan tetapi, untuk menjadi seorang Krani, perusahaan tempat ia bekerja mewajibkan harus memiliki ijazah SMA atau setara (Paket C). Atas dasar itulah, ia bersemangat untuk dapat lulus sampai dengan ujian kesetaraan Paket C.
“Kalau sekarang buruh lepas gajinya satu bulan paling 500 ribu, karena kerjanya cuma tujuh hari saja. Kalau jadi Krani bisa sampai dua juta satu bulan, paling sedikit satu setengah juta,” ucap Siriani.
Beruntung, tempat Ibu Siriani bekerja memberikan ijin bagi para buruhnya untuk mengambil Paket C. Ia pun mengambil kesempatan itu dan memulai pendidikannya dari kelas Calistung (Baca Tulis dan Berhitung) karena ia buta huruf. Setelah ia menyelesaikan kelas Calistung, Ibu Siriani melanjutkan ke Paket A selama tiga tahun dan lulus. Sekarang, sudah tahun ketiga ia mengikuti kelas Paket B, dan tahun ini ia akan menghadapi ujian ke lulusan Paket B.
“Saya ikut PKBM ini supaya bisa dapat ijazah Paket C. Teman saya kemarin diangkat jadi Krani karena sudah duluan ambil Paket C. Jadi saya mau seperti dia, dapat penghasilan lebih tinggi, kehidupan yang lebih bagus dan menjadi lebih pintar, biar tidak malu sama anak saya yang sekolah”, ujar Siriani.
Kelas pun dimulai dengan praktek komputer (Ms. Word). Pengajar yang saat itu dikelas mengajari para peserta didik dengan sabar, bahkan tidak sungkan ia menghampiri satu persatu peserta didik ke komputer masing-masing untuk memberikan petunjuk pengoperasian Ms. Word.
Siriani yang terlihat gugup di depan computer, hanya bisa berharap menunggu giliran dari peserta didik yang sudah selesai mengerjakan tugas dari pengajar. Tidak lama, terdapat satu murid yang selesai dan pengajar saat itu langsung meminta Siriani untuk berpindah komputer dan mencoba mengetikkan biodata dirinya di Ms. Word.
Meski tampak kaku, namun dengan dua jari telunjuknya, Siriani mulai mengetikan biodata dirinya. Perlahan tapi pasti, meski masih salah meraba letak huruf yang terhampar di keyboard, akhirnya Siriani pun berhasil mengetikkan biodata dirinya.
“Baru pertama saya pegang ini, belum bisa komputer, cuma bisa pegang aja, tapi saya harus bisa, karena kalau mau jadi Krani harus bisa ngetik-ngetik gitu dan isi data di handphone yang canggih itu, yang isinya layar semua (smartphone).” kata Siriani tersenyum malu.
tulis komentar anda