Konflik Agraria, Tanah Adat dan Milik Rakyat Butuh Perlindungan
Jum'at, 04 September 2020 - 20:59 WIB
Kepala Desk Politik Walhi Indonesia Khalisah Khalid mengatakan saat ini Indonesia tengah menghadapi satu potret buram terkait pengelolaan sumber daya alam , dan perlindungan lingkungan hidup. Dia menjelaskan, konflik, krisis lingkungan, krisis pangan akibat pandemi COVID-19, merupakan akumulasi dari kegagalan paradigma ekonomi dan pembangunan.
"Politik ekonomi global dan Indonesia yang menganut paradigma growth, merupakan paradigma ekonomi yang gagal karena melahirkan krisis dan konflik agraria," kata dia dalam kesempatan sama. "Bahkan, di masa pandemi, konflik terus terjadi," tegasnya.
Khalisah mengatakan seharusnya pandemi COVID-19 menjadi alarm buat pengurus negara bahwa kebijakan ekonomi global yang juga dianut Indonesia sebenarnya terbukti telah gagal.
"Paradigma growth yang kejar pertumbuhan terbukti gagal dan mengakibatkan ketimpangan. Ketimpangan ekonomi di Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di ASEAN setelah Thailand. Konflik agraria kita juga tinggi," kata dia.
Menurut Khalisah, pandemi COVID-19 seharusnya menjadi momentum untuk mengoreksi dan melihat narasi-narasi alternatif ekonomi lain. "Yang bisa menjadi pijakan pembangunan ekonomi ke depan," ujarnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, Dimas Hartono mengatakan, bahwa dari 15 juta hektar lebih atau 80 persen lebih lahan di Kalteng telah dikuasai industri atau pemodal berskala besar. Karena itu, kata dia, ketika masyarakat mempertahankan haknya, sanggahan pun terjadi dari pemerintah.
"Ini menyebabkan mereka susah atau dihalang-halangi dalam proses bersuara terkait apa yang terjadi di wilayahnya," kata Dimas dalam kesempatan itu. (Baca juga: Berenang di Sungai Brangkal, Satu Pemuda Tewas Tenggelam )
Dimas mengatakan Walhi sudah menyuarakan hal tersebut. Salah satunya adalah dengan meminta pemerintah maupun parlemen melakukan audit lingkungan. Namun, dia menyatakan keberanian pemerintah tidak ada.
"Karena hingga detik ini evaluasi perizinan, audit lingkungan, penegakan hukum yang tidak tajam di masyarakat tetapi di pemilik modal, tidak pernah dilakukan. Padahal, peran itu ada di pemerintah dan legislatif," katanya.
Dimas yakin banyak kepala daerah dan pemimpin memiliki hati untuk kepentingan masyarakat. Namun, ujar Dimas, karena sistem yang ada membuat hati mereka tertutup.
"Politik ekonomi global dan Indonesia yang menganut paradigma growth, merupakan paradigma ekonomi yang gagal karena melahirkan krisis dan konflik agraria," kata dia dalam kesempatan sama. "Bahkan, di masa pandemi, konflik terus terjadi," tegasnya.
Khalisah mengatakan seharusnya pandemi COVID-19 menjadi alarm buat pengurus negara bahwa kebijakan ekonomi global yang juga dianut Indonesia sebenarnya terbukti telah gagal.
"Paradigma growth yang kejar pertumbuhan terbukti gagal dan mengakibatkan ketimpangan. Ketimpangan ekonomi di Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di ASEAN setelah Thailand. Konflik agraria kita juga tinggi," kata dia.
Menurut Khalisah, pandemi COVID-19 seharusnya menjadi momentum untuk mengoreksi dan melihat narasi-narasi alternatif ekonomi lain. "Yang bisa menjadi pijakan pembangunan ekonomi ke depan," ujarnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, Dimas Hartono mengatakan, bahwa dari 15 juta hektar lebih atau 80 persen lebih lahan di Kalteng telah dikuasai industri atau pemodal berskala besar. Karena itu, kata dia, ketika masyarakat mempertahankan haknya, sanggahan pun terjadi dari pemerintah.
"Ini menyebabkan mereka susah atau dihalang-halangi dalam proses bersuara terkait apa yang terjadi di wilayahnya," kata Dimas dalam kesempatan itu. (Baca juga: Berenang di Sungai Brangkal, Satu Pemuda Tewas Tenggelam )
Dimas mengatakan Walhi sudah menyuarakan hal tersebut. Salah satunya adalah dengan meminta pemerintah maupun parlemen melakukan audit lingkungan. Namun, dia menyatakan keberanian pemerintah tidak ada.
"Karena hingga detik ini evaluasi perizinan, audit lingkungan, penegakan hukum yang tidak tajam di masyarakat tetapi di pemilik modal, tidak pernah dilakukan. Padahal, peran itu ada di pemerintah dan legislatif," katanya.
Dimas yakin banyak kepala daerah dan pemimpin memiliki hati untuk kepentingan masyarakat. Namun, ujar Dimas, karena sistem yang ada membuat hati mereka tertutup.
tulis komentar anda