Kisah Belanda Meminta Paksa Hak Sewa Tanah di Lereng Gunung Merapi ke Sri Sultan HB IV
Selasa, 11 Februari 2025 - 07:47 WIB
Perluasan sewa lahan yang demikian cepat telah membawa konsekuensi-konsekuensi penting, yang tidak semuanya menguntungkan sebagaimana dipahami Nahuys.
Sebab sekalipun para pangeran dan priyayi yang menyewakan lahan mereka mendapat keuntungan uang masuk lebih banyak, namun hubungan batin mereka dengan kaum tani penggarap runtuh dan hilang.
Pengaruh sang mantan residen itu masih cukup kuat kendati tak lagi menjabat. Bahkan karena pengaruh Nahuys itulah, pada Oktober 1818 kitab hukum Agraria Jawa, Angger Sepuluh bahkan dimodifikasi untuk memberikan hak penyewa tanah ke bangsa Eropa dan Tionghoa.
Hak-hak mereka bahkan sama dengan pemegang tanah jabatan Jawa maupun kaum pribumi kala itu.
Hal ini berarti penyewa pada masa itu dapat bebas memilih, apa jenis tanaman yang ingin ia panen nanti, dan di ladang atau sawah mana, yang memungkinkan mereka meraup untung besar. Sementara membiarkan para petani penggarap menanggung beban pajak dan upeti untuk keraton
Residen Yogya pengganti Nahuys, Smissaert yang menjabat 1823-1825 berkomentar bahwa para petani penggarap di perkebunan-perkebunan menyebut orang-orang Eropa sebagai orang-orang asing penindas.
Hal ini merupakan suatu sentimen anti-Eropa yang disuarakan oleh orang-orang Jawa pada masa itu.
Konon hal itulah yang menimbulkan berbagai kesulitan tersendiri bagi penduduk pribumi dan menempatkan para penyewa tanah pada posisi yang kurang harmonis, baik dengan petani penggarap maupun dengan petugas polisi setempat.
Kenyataannya, hanya sedikit orang Eropa penyewa tanah yang mampu berbahasa Jawa, dan kebanyakan dari mereka hanya dapat bicara bahasa Melayu patah-patah, meski secara lahiriah mereka mengadopsi nama-nama Jawa. Problem komunikasi bertambah parah karena mereka kurang paham tentang cara bertani orang Jawa
Sebab sekalipun para pangeran dan priyayi yang menyewakan lahan mereka mendapat keuntungan uang masuk lebih banyak, namun hubungan batin mereka dengan kaum tani penggarap runtuh dan hilang.
Pengaruh sang mantan residen itu masih cukup kuat kendati tak lagi menjabat. Bahkan karena pengaruh Nahuys itulah, pada Oktober 1818 kitab hukum Agraria Jawa, Angger Sepuluh bahkan dimodifikasi untuk memberikan hak penyewa tanah ke bangsa Eropa dan Tionghoa.
Hak-hak mereka bahkan sama dengan pemegang tanah jabatan Jawa maupun kaum pribumi kala itu.
Hal ini berarti penyewa pada masa itu dapat bebas memilih, apa jenis tanaman yang ingin ia panen nanti, dan di ladang atau sawah mana, yang memungkinkan mereka meraup untung besar. Sementara membiarkan para petani penggarap menanggung beban pajak dan upeti untuk keraton
Residen Yogya pengganti Nahuys, Smissaert yang menjabat 1823-1825 berkomentar bahwa para petani penggarap di perkebunan-perkebunan menyebut orang-orang Eropa sebagai orang-orang asing penindas.
Hal ini merupakan suatu sentimen anti-Eropa yang disuarakan oleh orang-orang Jawa pada masa itu.
Konon hal itulah yang menimbulkan berbagai kesulitan tersendiri bagi penduduk pribumi dan menempatkan para penyewa tanah pada posisi yang kurang harmonis, baik dengan petani penggarap maupun dengan petugas polisi setempat.
Kenyataannya, hanya sedikit orang Eropa penyewa tanah yang mampu berbahasa Jawa, dan kebanyakan dari mereka hanya dapat bicara bahasa Melayu patah-patah, meski secara lahiriah mereka mengadopsi nama-nama Jawa. Problem komunikasi bertambah parah karena mereka kurang paham tentang cara bertani orang Jawa
(shf)
Lihat Juga :
tulis komentar anda