Sejarah Kelam Kerajaan Ternate-Tidore Diadu Domba Penjajah Portugis dan Spanyol
Kamis, 08 Agustus 2024 - 19:20 WIB
Kerajaan Ternate , salah satu kekuatan Islam yang berpengaruh di Nusantara, mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah. Namun, setelah wafatnya Sultan Baabullah, kerajaan ini menghadapi serangkaian tantangan yang diperburuk oleh intervensi kekuatan kolonial Eropa, terutama Portugis dan Spanyol.
Pada masa kejayaannya, Ternate dikenal sebagai pusat perdagangan dan penghasil rempah-rempah yang penting, menarik perhatian pedagang dari berbagai belahan dunia, termasuk Arab, Tiongkok, dan Melayu. Namun, suasana berubah drastis setelah jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani, yang memicu dorongan Eropa untuk mencari sumber rempah-rempah baru, termasuk ke Maluku.
Portugis dan Spanyol, yang berambisi menguasai perdagangan rempah-rempah, memanfaatkan taktik adu domba untuk melemahkan kekuatan lokal. Mereka memprovokasi konflik antara Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore, yang sebelumnya memiliki hubungan harmonis. Strategi divide et impera (pecah belah dan kuasai) ini berhasil menciptakan ketegangan dan permusuhan antara kedua kerajaan, memudarkan kekuatan politik mereka di wilayah tersebut.
Setelah menyadari bahwa mereka telah dipermainkan oleh kekuatan kolonial, Sultan Ternate dan Sultan Tidore berusaha untuk bersatu melawan penjajah. Upaya ini membuahkan hasil dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol dari Kepulauan Maluku. Namun, kemenangan ini tidak bertahan lama. Ancaman baru muncul ketika Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) memasuki arena dengan organisasi yang lebih terstruktur dan strategi yang matang. VOC berhasil menaklukkan Ternate, menandai berakhirnya periode singkat kemerdekaan yang dinikmati oleh kedua kerajaan.
Sejarawan Amin dalam karyanya "Tergerusnya Kesultanan Ternate: dari Pusat ke Pinggiran Kekuasaan" menjelaskan bahwa puncak kejayaan Kerajaan Ternate terjadi selama pemerintahan Sultan Baabullah. Setelah kematiannya, kepemimpinan Ternate melemah, dan penerusnya tidak mampu mempertahankan kejayaan kerajaan, menyebabkan perlahan-lahan kemundurannya.
Keruntuhan Kerajaan Ternate sekitar abad ke-17 Masehi disebabkan oleh beberapa faktor utama diantaranya:
1. Konflik dengan Tidore: Hubungan antara Ternate dan Tidore, yang awalnya harmonis, menjadi tegang akibat adu domba yang dilakukan oleh Portugis dan Spanyol. Taktik ini menciptakan ketidakstabilan yang memudahkan penjajah untuk memperkuat pengaruh mereka.
2. Kepemimpinan yang Lemah: Setelah wafatnya Sultan Baabullah, tidak ada penerus yang cukup kuat untuk mempertahankan kejayaan Ternate. Kepemimpinan yang lemah ini mempercepat kemunduran kerajaan.
3. Dominasi Eropa: Kedatangan dan pendudukan bangsa Eropa—Portugis, Spanyol, dan kemudian Belanda—menghadirkan monopoli perdagangan dan serangan militer yang mempercepat keruntuhan Ternate.
Sejarah kelam Kerajaan Ternate mencerminkan bagaimana intrik politik dan kekuatan kolonial dari bangsa Eropa berhasil memecah belah dan akhirnya menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara, termasuk Ternate dan Tidore, menandai era transisi yang penuh tantangan dalam sejarah regional.
Pada masa kejayaannya, Ternate dikenal sebagai pusat perdagangan dan penghasil rempah-rempah yang penting, menarik perhatian pedagang dari berbagai belahan dunia, termasuk Arab, Tiongkok, dan Melayu. Namun, suasana berubah drastis setelah jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani, yang memicu dorongan Eropa untuk mencari sumber rempah-rempah baru, termasuk ke Maluku.
Portugis dan Spanyol, yang berambisi menguasai perdagangan rempah-rempah, memanfaatkan taktik adu domba untuk melemahkan kekuatan lokal. Mereka memprovokasi konflik antara Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore, yang sebelumnya memiliki hubungan harmonis. Strategi divide et impera (pecah belah dan kuasai) ini berhasil menciptakan ketegangan dan permusuhan antara kedua kerajaan, memudarkan kekuatan politik mereka di wilayah tersebut.
Setelah menyadari bahwa mereka telah dipermainkan oleh kekuatan kolonial, Sultan Ternate dan Sultan Tidore berusaha untuk bersatu melawan penjajah. Upaya ini membuahkan hasil dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol dari Kepulauan Maluku. Namun, kemenangan ini tidak bertahan lama. Ancaman baru muncul ketika Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) memasuki arena dengan organisasi yang lebih terstruktur dan strategi yang matang. VOC berhasil menaklukkan Ternate, menandai berakhirnya periode singkat kemerdekaan yang dinikmati oleh kedua kerajaan.
Sejarawan Amin dalam karyanya "Tergerusnya Kesultanan Ternate: dari Pusat ke Pinggiran Kekuasaan" menjelaskan bahwa puncak kejayaan Kerajaan Ternate terjadi selama pemerintahan Sultan Baabullah. Setelah kematiannya, kepemimpinan Ternate melemah, dan penerusnya tidak mampu mempertahankan kejayaan kerajaan, menyebabkan perlahan-lahan kemundurannya.
Keruntuhan Kerajaan Ternate sekitar abad ke-17 Masehi disebabkan oleh beberapa faktor utama diantaranya:
1. Konflik dengan Tidore: Hubungan antara Ternate dan Tidore, yang awalnya harmonis, menjadi tegang akibat adu domba yang dilakukan oleh Portugis dan Spanyol. Taktik ini menciptakan ketidakstabilan yang memudahkan penjajah untuk memperkuat pengaruh mereka.
2. Kepemimpinan yang Lemah: Setelah wafatnya Sultan Baabullah, tidak ada penerus yang cukup kuat untuk mempertahankan kejayaan Ternate. Kepemimpinan yang lemah ini mempercepat kemunduran kerajaan.
3. Dominasi Eropa: Kedatangan dan pendudukan bangsa Eropa—Portugis, Spanyol, dan kemudian Belanda—menghadirkan monopoli perdagangan dan serangan militer yang mempercepat keruntuhan Ternate.
Sejarah kelam Kerajaan Ternate mencerminkan bagaimana intrik politik dan kekuatan kolonial dari bangsa Eropa berhasil memecah belah dan akhirnya menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara, termasuk Ternate dan Tidore, menandai era transisi yang penuh tantangan dalam sejarah regional.
(hri)
tulis komentar anda