Keruntuhan Kerajaan Ternate, Berkaitan dengan Proklamasi 1945?
Kamis, 08 Agustus 2024 - 12:30 WIB
Pertama, tata hubungan politik yang bersifat klientelisme antara bangsawan dengan kawulanya diruntuhkan melalui sebuah revolusi nasionalisme yang kemudian melakukan pemisahan kalangan aristokrat-feodal dari basis kekuasaan politiknya serta memperkenalkan konsep kewarganegaraan untuk menggantikan konsep kawula.
Kedua, tata hubungan ekonomi yang dijalin dengan kawulanya menjadi longgar akibat diterapkan politik hukum agrarian yang menganjurkan privatisasi tanah serta pergeseran tata produksi dominan dari feodalistik ke tata produksi kapitalistik.
Ketiga, nilai-nilai tradisional kaum elite tradisional yang cenderung bersifat askriptif harus menghadapi nilai-nilai meritokrasi yang dibawa modernitas.
Misalnya, jabatan-jabatan dalam birokrasi bukan lagi suatu yang melekat secara geneologis melainkan harus didasarkan atas kompetensi tertentu.
Sejarah menunjukan partisipasi politik elite Kerajaan Ternate dalam negara kesatuan telah dimulai sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia, ditandai dengan berdirinya Negara Indonesia Timur (NIT), pada tanggal 24 Desember 1946.
Namun selama pemerintahan Soekarno, elite Kesultanan mengalami krisis politik. Sikap konfrontatif mereka dengan tidak mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (RI) dan partai pemerintah (PNI) menimbulkan pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak menghancurkan eksistensi politik mereka dalam ranah politik lokal di Ternate.
Faktanya, walaupun eksistensi politik mereka mendapatkan pembatasan. Namun secara kultural, tidak berdampak pada merosotnya kekuasaan elite kesultanan.
Salah satu nilai yang mengakar kuat dalam masyarakat Ternate adalah menjunjung tinggi perkataan atau perintah sultannya dengan semboyan jou kasa ngom kage (di mana ada sultan di situlah kami).
Sebagai salah satu kekuasaan tradisional yang masih tetap eksis sejak awal kemerdekaan hingga saat ini. Menunjukan peran politik elite Kesultanan Ternate dalam sejarah politik lokal di Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan.
Terutama pada masa kekuasaan rezim Soekarno dan Soeharto, elite Kerajaan Ternate selalu bergelut dengan krisis dan survivalitas. Mereka mampu mempertahankan posisi politik sebagai pusat anutan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Kedua, tata hubungan ekonomi yang dijalin dengan kawulanya menjadi longgar akibat diterapkan politik hukum agrarian yang menganjurkan privatisasi tanah serta pergeseran tata produksi dominan dari feodalistik ke tata produksi kapitalistik.
Ketiga, nilai-nilai tradisional kaum elite tradisional yang cenderung bersifat askriptif harus menghadapi nilai-nilai meritokrasi yang dibawa modernitas.
Misalnya, jabatan-jabatan dalam birokrasi bukan lagi suatu yang melekat secara geneologis melainkan harus didasarkan atas kompetensi tertentu.
Sejarah menunjukan partisipasi politik elite Kerajaan Ternate dalam negara kesatuan telah dimulai sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia, ditandai dengan berdirinya Negara Indonesia Timur (NIT), pada tanggal 24 Desember 1946.
Namun selama pemerintahan Soekarno, elite Kesultanan mengalami krisis politik. Sikap konfrontatif mereka dengan tidak mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (RI) dan partai pemerintah (PNI) menimbulkan pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak menghancurkan eksistensi politik mereka dalam ranah politik lokal di Ternate.
Faktanya, walaupun eksistensi politik mereka mendapatkan pembatasan. Namun secara kultural, tidak berdampak pada merosotnya kekuasaan elite kesultanan.
Salah satu nilai yang mengakar kuat dalam masyarakat Ternate adalah menjunjung tinggi perkataan atau perintah sultannya dengan semboyan jou kasa ngom kage (di mana ada sultan di situlah kami).
Sebagai salah satu kekuasaan tradisional yang masih tetap eksis sejak awal kemerdekaan hingga saat ini. Menunjukan peran politik elite Kesultanan Ternate dalam sejarah politik lokal di Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan.
Terutama pada masa kekuasaan rezim Soekarno dan Soeharto, elite Kerajaan Ternate selalu bergelut dengan krisis dan survivalitas. Mereka mampu mempertahankan posisi politik sebagai pusat anutan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Lihat Juga :
tulis komentar anda