Kisah Heroik Kapten Harun Kabir, Pejuang Kemerdekaan dan Kemanusiaan dari Cianjur
Minggu, 04 Agustus 2024 - 07:54 WIB
Pada dini hari 13 November 1947, sebuah gubuk di Hutan Cihurang, Cianjur , digedor oleh pasukan Belanda. Di dalamnya, Kapten Harun Kabir, Kepala Bagian Zeni Brigade Suryakencana, bersama istri dan anak-anaknya. Dengan tenang, Harun Kabir keluar menemui para serdadu Belanda. Tanpa ampun, ia dan dua pengawalnya dieksekusi di depan keluarganya. Sebelum gugur, Harun Kabir sempat meneriakkan kata-kata terakhirnya: "Merdeka!"
Harun Kabir bukan hanya seorang pejuang kemerdekaan, tetapi juga seorang pejuang kemanusiaan. Sebelum menjadi bagian dari TNI, ia adalah seorang birokrat sipil yang pernah menjabat sebagai asisten residen Bogor. Namun, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 mengobarkan semangat perjuangannya. Ia mendirikan Laskar Tjiwaringin 33, sebuah laskar yang namanya diambil dari alamat rumahnya di Bogor.
Di rumah itu pula, keluarga Presiden Soeharto pernah berlindung di awal revolusi, dan tokoh-tokoh bangsa seperti Tan Malaka sering berkunjung. Harun Kabir juga melindungi orang-orang Eropa di saat situasi keamanan tidak menentu, menunjukkan bahwa baginya, Proklamasi bukan hanya soal kemerdekaan, tapi juga kemanusiaan.
Karir militernya membawa Harun Kabir menjadi Kepala Staf Brigade Suryakencana di bawah Divisi Siliwangi. Meski mencapai pangkat mayor, aturan saat itu menurunkannya menjadi kapten. Kapten Harun Kabir memimpin pasukan gerilya dan melakukan berbagai operasi untuk melawan Belanda. Dari Bogor, ia dan keluarganya pindah ke Sukabumi, kemudian ke Cianjur untuk terus bergerilya meski menderita malaria.
Di Cianjur, perjuangan Kapten Harun Kabir mencapai akhirnya. Di tengah penyakit yang dideritanya, ia tetap memimpin gerilya sampai akhirnya dieksekusi oleh pasukan Belanda. Kisah heroik ini diulas secara mendalam dalam buku "Demi Republik, Perjuangan Kapten Harun Kabir 1942-1947" karya Hendi Jo, yang dibedah oleh sejarawan Prof. Anhar Gonggong di Bale Prayoga Pendopo Kabupaten Cianjur pada 2 Agustus 2024.
Prof. Anhar Gonggong menyebutkan bahwa ketabahan Harun Kabir dan keluarganya luar biasa. Istrinya, Soekrati, dan anak-anaknya harus menyaksikan eksekusi Harun Kabir oleh tentara Belanda. "Harun Kabir mengorbankan masa depannya dan hidupnya untuk keluarga dan bangsa. Untuk kita semua yang hari ini bisa duduk di sini sebagai orang-orang yang merdeka," kata Anhar.
Hendi Jo menambahkan bahwa Harun Kabir menolak segala tindakan kekejaman terhadap warga sipil tak bersenjata. "Dia adalah manusia langka di zamannya. Dengan bakat kepemimpinan yang baik, dan lurus, Harun Kabir tetap berusaha ‘waras’ di tengah badai revolusi," ujarnya.
Harun Kabir tidak hanya memimpin gerilya, tetapi juga menolong orang Indo dan Eropa yang membutuhkan pertolongan, menunjukkan teladan langka dari seorang komandan gerilya saat itu. "Harun Kabir selalu berkata, kalau kita tidak manusiawi, lalu apa bedanya kita dengan para penjajah yang kita perangi?" tambah Hendi Jo, mengutip ucapan sang pahlawan.
Mokhamad Irfan Sofyan, Kabag Hukum Setda Kabupaten Cianjur, mewakili Bupati H. Herman Suherman, mengapresiasi acara bedah buku tersebut. Irfan berharap perjuangan dan pengorbanan Kapten Harun Kabir bisa menjadi inspirasi bagi generasi penerus. Wina Rezky Agustina dari Lokatmala Foundation berharap diskusi dan bedah buku ini memantik kesadaran kolektif akan pentingnya penghargaan terhadap nilai-nilai perjuangan para pahlawan kemerdekaan.
Harun Kabir bukan hanya seorang pejuang kemerdekaan, tetapi juga seorang pejuang kemanusiaan. Sebelum menjadi bagian dari TNI, ia adalah seorang birokrat sipil yang pernah menjabat sebagai asisten residen Bogor. Namun, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 mengobarkan semangat perjuangannya. Ia mendirikan Laskar Tjiwaringin 33, sebuah laskar yang namanya diambil dari alamat rumahnya di Bogor.
Di rumah itu pula, keluarga Presiden Soeharto pernah berlindung di awal revolusi, dan tokoh-tokoh bangsa seperti Tan Malaka sering berkunjung. Harun Kabir juga melindungi orang-orang Eropa di saat situasi keamanan tidak menentu, menunjukkan bahwa baginya, Proklamasi bukan hanya soal kemerdekaan, tapi juga kemanusiaan.
Karir militernya membawa Harun Kabir menjadi Kepala Staf Brigade Suryakencana di bawah Divisi Siliwangi. Meski mencapai pangkat mayor, aturan saat itu menurunkannya menjadi kapten. Kapten Harun Kabir memimpin pasukan gerilya dan melakukan berbagai operasi untuk melawan Belanda. Dari Bogor, ia dan keluarganya pindah ke Sukabumi, kemudian ke Cianjur untuk terus bergerilya meski menderita malaria.
Di Cianjur, perjuangan Kapten Harun Kabir mencapai akhirnya. Di tengah penyakit yang dideritanya, ia tetap memimpin gerilya sampai akhirnya dieksekusi oleh pasukan Belanda. Kisah heroik ini diulas secara mendalam dalam buku "Demi Republik, Perjuangan Kapten Harun Kabir 1942-1947" karya Hendi Jo, yang dibedah oleh sejarawan Prof. Anhar Gonggong di Bale Prayoga Pendopo Kabupaten Cianjur pada 2 Agustus 2024.
Prof. Anhar Gonggong menyebutkan bahwa ketabahan Harun Kabir dan keluarganya luar biasa. Istrinya, Soekrati, dan anak-anaknya harus menyaksikan eksekusi Harun Kabir oleh tentara Belanda. "Harun Kabir mengorbankan masa depannya dan hidupnya untuk keluarga dan bangsa. Untuk kita semua yang hari ini bisa duduk di sini sebagai orang-orang yang merdeka," kata Anhar.
Hendi Jo menambahkan bahwa Harun Kabir menolak segala tindakan kekejaman terhadap warga sipil tak bersenjata. "Dia adalah manusia langka di zamannya. Dengan bakat kepemimpinan yang baik, dan lurus, Harun Kabir tetap berusaha ‘waras’ di tengah badai revolusi," ujarnya.
Harun Kabir tidak hanya memimpin gerilya, tetapi juga menolong orang Indo dan Eropa yang membutuhkan pertolongan, menunjukkan teladan langka dari seorang komandan gerilya saat itu. "Harun Kabir selalu berkata, kalau kita tidak manusiawi, lalu apa bedanya kita dengan para penjajah yang kita perangi?" tambah Hendi Jo, mengutip ucapan sang pahlawan.
Mokhamad Irfan Sofyan, Kabag Hukum Setda Kabupaten Cianjur, mewakili Bupati H. Herman Suherman, mengapresiasi acara bedah buku tersebut. Irfan berharap perjuangan dan pengorbanan Kapten Harun Kabir bisa menjadi inspirasi bagi generasi penerus. Wina Rezky Agustina dari Lokatmala Foundation berharap diskusi dan bedah buku ini memantik kesadaran kolektif akan pentingnya penghargaan terhadap nilai-nilai perjuangan para pahlawan kemerdekaan.
(hri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda