Kisah Mpu Sindok, Raja Bijaksana yang Banyak Tinggalkan Jejak Prasasti dan Bendungan Megah
Senin, 10 Juni 2024 - 07:45 WIB
Kerajaan Mataram kuno berpindah pusat ibu kota dari tengah Pulau Jawa ke sisi timur. Mpu Sindok-lah raja yang memulai era baru Kerajaan Mataram di Jawa Timur, setelah sebelumnya berkutat di Jawa Tengah.
Semasa menjabat sebagai raja Mataram, Mpu Sindok menguasai wilayah Nganjuk (sebelah barat), Pasuruan (sebelah timur), Surabaya (sebelah utara), dan Malang (sebelah selatan), Mpu Sindok menggunakan gelar Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa (928-947 M).
Di dalam menjalankan pemerintahannya, Mpu Sindok didampingi seorang Rakai Mapatih Hino yang bernama Mpu Sahasra. Menurut para sejarawan, Mpu Sindok adalah seorang raja yang adil dan bijaksana dan selalu berusaha untuk memakmurkan kehidupan seluruh rakyatnya.
Mpu Sindok yang menganut agama Hindu itu sangat menjaga toleransi terhadap penganut agama lain, dikutip dari "13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa". Sebagai bukti, Mpu Sindok memberikan penghargaan Desa Wanjang sebagai sima swatantra kepada seorang pujangga bernama Sri Sambhara Suryawarana yang menulis kitab Buddha aliran Tantrayana, bertajuk Sang Hyang Kamahayanikan.
Di samping itu, Mpu Sindok sangat memerhatikan bidang sejarah. Sebagai bukti, Mpu Sindok meninggalkan banyak prasasti yang berkaitan dengan kebijakan selama menjadi raja Medang. Melalui banyak prasasti yang ditinggalkan tersebut, sejarah kehidupan Mpu Sindok akan mudah digali dan dilacak oleh generasi sekarang.
Setidaknya ada 9 prasasti yang dikeluarkan oleh Mpu Sindok selama berkuasa di Mataram. Prasasti itu mulai dari Turyan berangka tahun 929 M, yang berisikan permohonan Dang Ayu Sahitya kepada Mpu Sindok, agar tanah barat Sungai Desa Turyan dijadikan tempat bangunan suci.
Kemudian, Prasasti Linggasutan berangka tahun 929 M, yang berisikan Penetapan Mpu Sindok atas Desa Linggasutan (wilayah Rakryan Hujung Mpu Madhura Lokaranjana) sebagai sima swatantra. Penetapan ini dimaksudkan Mpu Sindok guna menambah biaya pemujaan bathara di Walandit pada setiap tahunnya.
Prasasti Gulunggulung tahun 929 M, berisikan permohonan Rake Hujung Mpu Madhura kepada Mpu Sindok agar sawah di Desa Gulunggulung dijadikan sima swatantra bagi bangunan suci Mahaprasada di Himad. Kemudian, Prasasti Cunggrang tahun 929 M, berisikan penetapan Mpu Sindok atas Desa Cunggrang sebagai sima swatantra untuk merawat makam Rakryan Bawang Dyah Srawana yang diduga sebagai ayah dari permaisuri Mpu Kbi.
Semasa menjabat sebagai raja Mataram, Mpu Sindok menguasai wilayah Nganjuk (sebelah barat), Pasuruan (sebelah timur), Surabaya (sebelah utara), dan Malang (sebelah selatan), Mpu Sindok menggunakan gelar Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa (928-947 M).
Di dalam menjalankan pemerintahannya, Mpu Sindok didampingi seorang Rakai Mapatih Hino yang bernama Mpu Sahasra. Menurut para sejarawan, Mpu Sindok adalah seorang raja yang adil dan bijaksana dan selalu berusaha untuk memakmurkan kehidupan seluruh rakyatnya.
Mpu Sindok yang menganut agama Hindu itu sangat menjaga toleransi terhadap penganut agama lain, dikutip dari "13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa". Sebagai bukti, Mpu Sindok memberikan penghargaan Desa Wanjang sebagai sima swatantra kepada seorang pujangga bernama Sri Sambhara Suryawarana yang menulis kitab Buddha aliran Tantrayana, bertajuk Sang Hyang Kamahayanikan.
Baca Juga
Di samping itu, Mpu Sindok sangat memerhatikan bidang sejarah. Sebagai bukti, Mpu Sindok meninggalkan banyak prasasti yang berkaitan dengan kebijakan selama menjadi raja Medang. Melalui banyak prasasti yang ditinggalkan tersebut, sejarah kehidupan Mpu Sindok akan mudah digali dan dilacak oleh generasi sekarang.
Setidaknya ada 9 prasasti yang dikeluarkan oleh Mpu Sindok selama berkuasa di Mataram. Prasasti itu mulai dari Turyan berangka tahun 929 M, yang berisikan permohonan Dang Ayu Sahitya kepada Mpu Sindok, agar tanah barat Sungai Desa Turyan dijadikan tempat bangunan suci.
Kemudian, Prasasti Linggasutan berangka tahun 929 M, yang berisikan Penetapan Mpu Sindok atas Desa Linggasutan (wilayah Rakryan Hujung Mpu Madhura Lokaranjana) sebagai sima swatantra. Penetapan ini dimaksudkan Mpu Sindok guna menambah biaya pemujaan bathara di Walandit pada setiap tahunnya.
Prasasti Gulunggulung tahun 929 M, berisikan permohonan Rake Hujung Mpu Madhura kepada Mpu Sindok agar sawah di Desa Gulunggulung dijadikan sima swatantra bagi bangunan suci Mahaprasada di Himad. Kemudian, Prasasti Cunggrang tahun 929 M, berisikan penetapan Mpu Sindok atas Desa Cunggrang sebagai sima swatantra untuk merawat makam Rakryan Bawang Dyah Srawana yang diduga sebagai ayah dari permaisuri Mpu Kbi.
tulis komentar anda