Belanda Monopoli Cukai Picu Perampokan, Pembunuhan, dan Letuskan Perang Diponegoro
Rabu, 06 Desember 2023 - 08:01 WIB
Monopoli cukai oleh pemerintah Belanda di masa Pangeran Diponegoro memang mengerikan. Penahanan kerbau sebagai pembayaran denda juga dikenakan jika itu berada di wilayah tanah milik gerbang cukai.
Bahkan seorang petani konon terpaksa menyerahkan sebagian besar keuntungannya panen padi untuk menyewa kembali kerbau miliknya dari bandar setempat.
Alhasil tak sedikit pengaduan kepada pejabat desa setempat soal perlakuan penjaga gerbang cukai yang sewenang-wenang biasanya sia-sia. Sebab para pejabat desa itu sudah diberi uang sogokan atau uang pesangon oleh bandar untuk tutup mulut.
Jumlahnya dapat mencapai hingga dua pertiga dari nilai barang yang dicuri ditambah "harga darah" (diyat) untuk korban yang terbunuh jika perkara kejahatannya tidak dapat dituntaskan. Jumlah ini akan berlipat dua jika korbannya adalah etnis Tionghoa.
Dihadapkan pada ancaman yang terus-menerus, para penjaga gerbang cukai mulai mengorganisasi tentara pribadi mereka sendiri, berupa para pengawal dan tukang pukul, yang beberapa di antaranya direkrut dari bekas Sepoy Benggala.
Hal ini menambah lingkaran setan kekerasan di daerah-daerah pedesaan menjelang pecahnya Perang Jawa. Pemerintah kolonial Eropa juga sadar akan dampak buruk dari pintu gerbang cukai itu dan berusaha mereformasinya.
Bahkan Inggris sempat menghapus bandar sepanjang Bengawan Solo dan Kali Brantas pada Februari 1814.
Belanda mengikuti langkah ini di Kedu pada 1824, tahun yang sama ketika Van der Capellen menunjuk tim komisioner beranggotakan tiga orang, yang dipimpin oleh Residen Surakarta dan Yogyakarta, untuk menyelidiki kinerja gerbang cukai.
Bahkan seorang petani konon terpaksa menyerahkan sebagian besar keuntungannya panen padi untuk menyewa kembali kerbau miliknya dari bandar setempat.
Alhasil tak sedikit pengaduan kepada pejabat desa setempat soal perlakuan penjaga gerbang cukai yang sewenang-wenang biasanya sia-sia. Sebab para pejabat desa itu sudah diberi uang sogokan atau uang pesangon oleh bandar untuk tutup mulut.
Jumlahnya dapat mencapai hingga dua pertiga dari nilai barang yang dicuri ditambah "harga darah" (diyat) untuk korban yang terbunuh jika perkara kejahatannya tidak dapat dituntaskan. Jumlah ini akan berlipat dua jika korbannya adalah etnis Tionghoa.
Dihadapkan pada ancaman yang terus-menerus, para penjaga gerbang cukai mulai mengorganisasi tentara pribadi mereka sendiri, berupa para pengawal dan tukang pukul, yang beberapa di antaranya direkrut dari bekas Sepoy Benggala.
Hal ini menambah lingkaran setan kekerasan di daerah-daerah pedesaan menjelang pecahnya Perang Jawa. Pemerintah kolonial Eropa juga sadar akan dampak buruk dari pintu gerbang cukai itu dan berusaha mereformasinya.
Bahkan Inggris sempat menghapus bandar sepanjang Bengawan Solo dan Kali Brantas pada Februari 1814.
Belanda mengikuti langkah ini di Kedu pada 1824, tahun yang sama ketika Van der Capellen menunjuk tim komisioner beranggotakan tiga orang, yang dipimpin oleh Residen Surakarta dan Yogyakarta, untuk menyelidiki kinerja gerbang cukai.
(ams)
Lihat Juga :
tulis komentar anda