Soal Pengupahan, Pakar: Serikat Pekerja Harus Paham Meritokrasi
Rabu, 29 April 2020 - 17:52 WIB
MAKASSAR - Ekonom dan pakar Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), Budi Satria Isman, menyampaikan serikat pekerja maupun buruh harus paham soal sistem meritokrasi dalam pemberian insentif di perusahaan. Hal itu disampaikan Budi terkait tuntutan pekerja soal upah di tengah pembahasan RUU Cipta Kerja dan situasi Covid-19.
"Soal upah ini seperti buah simalakama. Harusnya, para serikat pekerja dan buruh juga paham soal sistem meritokrasi. Apa yang didapat itu harus sesuai dengan jumlah yang bisa diproduksi," kata Budi Satria dalam diskusi dan sesi sharing bertajuk "Trik Menyelamatkan UMKM Saat Pandemi Covid-19", Rabu (29/4/2020).
Selama ini, menurut Budi, produktivitas buruh di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain bahkan di Asia Tenggara. Namun, nilai upah yang didapatkan bahkan bisa berada di angka yang lebih tinggi. Hal ini tidak sesuai dengan sistem meritokrasi pemberian insentif yang harusnya dipahami oleh para pekerja dan buruh.
"Kami (pelaku usaha) tentu bisa memberikan upah yang tinggi, jika memang produktivitasnya sesuai. Tidak bisa terus menuntut menerima insentif tinggi, sementara produktivitasnya stagnan. Kalau perusahaan merugi, tentu tidak mungkin ditanggung hanya pemilik perusahaan saja," kata Budi.
Kondisi yang dianggap memberatkan pengusaha, tak terkecuali pengusaha di sektor mikro kecil menengah, sudah berlangsung bertahun-tahun. Serikat pekerja terus menuntut ada kenaikan insentif bagi mereka, sementara kemampuan produksinya tidak ada kenaikan signifikan.
"Ini sangat tidak ideal bagi kondisi bisnis kita, apalagi untuk sektor UMKM. Tidak bisa memperlakukan UMKM seperti bisnis besar yang harus terus mengikuti UMK yang juga terus dituntut naik oleh serikat pekerja," kata mantan direktur di Coca Cola Amatil ini.
Menurutnya, memang diperlukan regulasi yang memberikan titik keseimbangan antara kepentingan pekerja, pengusaha, dan juga target pemerintah. Hal ini juga demi menjaga kepastian iklim bisnis dan investasi pasca Covid-19 yang belum bisa diprediksi.
"Soal upah ini seperti buah simalakama. Harusnya, para serikat pekerja dan buruh juga paham soal sistem meritokrasi. Apa yang didapat itu harus sesuai dengan jumlah yang bisa diproduksi," kata Budi Satria dalam diskusi dan sesi sharing bertajuk "Trik Menyelamatkan UMKM Saat Pandemi Covid-19", Rabu (29/4/2020).
Selama ini, menurut Budi, produktivitas buruh di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain bahkan di Asia Tenggara. Namun, nilai upah yang didapatkan bahkan bisa berada di angka yang lebih tinggi. Hal ini tidak sesuai dengan sistem meritokrasi pemberian insentif yang harusnya dipahami oleh para pekerja dan buruh.
"Kami (pelaku usaha) tentu bisa memberikan upah yang tinggi, jika memang produktivitasnya sesuai. Tidak bisa terus menuntut menerima insentif tinggi, sementara produktivitasnya stagnan. Kalau perusahaan merugi, tentu tidak mungkin ditanggung hanya pemilik perusahaan saja," kata Budi.
Kondisi yang dianggap memberatkan pengusaha, tak terkecuali pengusaha di sektor mikro kecil menengah, sudah berlangsung bertahun-tahun. Serikat pekerja terus menuntut ada kenaikan insentif bagi mereka, sementara kemampuan produksinya tidak ada kenaikan signifikan.
"Ini sangat tidak ideal bagi kondisi bisnis kita, apalagi untuk sektor UMKM. Tidak bisa memperlakukan UMKM seperti bisnis besar yang harus terus mengikuti UMK yang juga terus dituntut naik oleh serikat pekerja," kata mantan direktur di Coca Cola Amatil ini.
Menurutnya, memang diperlukan regulasi yang memberikan titik keseimbangan antara kepentingan pekerja, pengusaha, dan juga target pemerintah. Hal ini juga demi menjaga kepastian iklim bisnis dan investasi pasca Covid-19 yang belum bisa diprediksi.
(tri)
tulis komentar anda