Cerita Perang Diponegoro dan Pengkhianatan Para Bupati yang Membelot ke Belanda
Jum'at, 12 Mei 2023 - 09:36 WIB
Rencana kerusuhan dirancang oleh Bupati Ngrowo Notodiwiryo dan Bupati Kalangbret Mangundirono. Laporan itu ditanggapi Jenderal De Kock dengan tenang sekaligus bertekad siap mengambil tindakan untuk menjaga ketentraman.
Terungkap bahwa ancaman kerusuhan itu dipicu oleh rasa tidak puas Bupati Ngrowo dan Bupati Kalangbret terhadap kepemimpinan Bupati Wedana Madiun Pangeran Ronggo Aryo Prawirodiningrat.
Belanda berhasil melacak ketidakpuasan yang telah disampaikan kepada Patih Yogyakarta Danurejo IV. Sedikitnya ada tujuh keluhan yang telah diutarakan, yakni di antaranya Bupati Ngrowo dan Bupati Kalangbret yang merasa diperlakukan tidak adil.
“Ketika bupati wedana membutuhkan orang atau kuda, dia selalu membebankan hal ini kepada kedua bupati tersebut (Ngrowo dan Kalangbret) dan tidak pernah kepada bupati yang lain”.
Bupati Wedana Madiun juga kerap memarahi mereka di depan umum hanya lantaran kedua bupati terlambat saat dipanggil datang ke Madiun. Bupati Ngrowo dan Kalangbret merasa telah dipermalukan.
Belum lagi kewajiban menyetor upeti sapi, yakni masing-masing 230 ekor sapi setiap tahunnya. Soal urusan administrasi kadipaten mancanegara juga termasuk yang dikeluhkan.
Bupati Ngrowo dan Bupati Kalangbret tidak suka dengan Bupati Wedana Madiun yang menyerahkan semua tugas negara kepada Bupati Purwodadi Ronodirjo, pamannya.
Sementara ia sendiri asyik sibuk dengan kesenangannya menggambar, pekerjaan kayu, serta urusan rumah tangga. Di sisi lain, Bupati Wedana Madiun juga dinilai pernah bersikap pengecut, yakni lari dari pertempuran saat melawan Mangunnegoro, pendukung Diponegoro.
“Hal ini menyebabkan bupati wedana sebenarnya bertanggung jawab terhadap semua ketidaknyamanan yang harus dialami oleh para bupati dari waktu ke waktu”.
Jenderal De Kock mengatasi persoalan itu dengan tenang. Langkah untuk meredam ancaman kerusuhan di Tulungagung, langsung diambil. Hal itu mengingat Bupati Ngrowo dan Bupati Kalangbret dinilai memiliki kesetiaan kepada kolonial Belanda.
Terungkap bahwa ancaman kerusuhan itu dipicu oleh rasa tidak puas Bupati Ngrowo dan Bupati Kalangbret terhadap kepemimpinan Bupati Wedana Madiun Pangeran Ronggo Aryo Prawirodiningrat.
Belanda berhasil melacak ketidakpuasan yang telah disampaikan kepada Patih Yogyakarta Danurejo IV. Sedikitnya ada tujuh keluhan yang telah diutarakan, yakni di antaranya Bupati Ngrowo dan Bupati Kalangbret yang merasa diperlakukan tidak adil.
“Ketika bupati wedana membutuhkan orang atau kuda, dia selalu membebankan hal ini kepada kedua bupati tersebut (Ngrowo dan Kalangbret) dan tidak pernah kepada bupati yang lain”.
Bupati Wedana Madiun juga kerap memarahi mereka di depan umum hanya lantaran kedua bupati terlambat saat dipanggil datang ke Madiun. Bupati Ngrowo dan Kalangbret merasa telah dipermalukan.
Belum lagi kewajiban menyetor upeti sapi, yakni masing-masing 230 ekor sapi setiap tahunnya. Soal urusan administrasi kadipaten mancanegara juga termasuk yang dikeluhkan.
Bupati Ngrowo dan Bupati Kalangbret tidak suka dengan Bupati Wedana Madiun yang menyerahkan semua tugas negara kepada Bupati Purwodadi Ronodirjo, pamannya.
Sementara ia sendiri asyik sibuk dengan kesenangannya menggambar, pekerjaan kayu, serta urusan rumah tangga. Di sisi lain, Bupati Wedana Madiun juga dinilai pernah bersikap pengecut, yakni lari dari pertempuran saat melawan Mangunnegoro, pendukung Diponegoro.
“Hal ini menyebabkan bupati wedana sebenarnya bertanggung jawab terhadap semua ketidaknyamanan yang harus dialami oleh para bupati dari waktu ke waktu”.
Jenderal De Kock mengatasi persoalan itu dengan tenang. Langkah untuk meredam ancaman kerusuhan di Tulungagung, langsung diambil. Hal itu mengingat Bupati Ngrowo dan Bupati Kalangbret dinilai memiliki kesetiaan kepada kolonial Belanda.
tulis komentar anda