Derita Berburu Tiket

Minggu, 26 April 2015 - 10:04 WIB
Derita Berburu Tiket
Derita Berburu Tiket
A A A
BEGITU mendengar kabar penjualan tiket kereta api Lebaran dibuka, kami segera mendatangi Stasiun Gubeng untuk memesan tiket jurusan Cilacap.

Pada Senin (13/4) sekitar pukul 06.00 WIB, kami sudah berada di Stasiun Gubeng Lama. Ada dua loket (1 dan 2) yang melayani pemesanan tiket, dua loket lain (3 dan 4) untuk pembelian tiket hari itu juga.

Di loket 1 dan 2 tidak tampak antrean, kami pun langsung nyelonong . ”Nomor antrean?” ujar perempuan petugas loket. Ternyata kami keliru tidak mengambil nomor antrean. Telanjur di depan loket, kami sempatkan dulu untuk menanyakan ketersediaan tiket kereta api jurusan Cilacap. ”Untuk keberangkatan 13 Juli jadwalnya besok (Selasa, 14/4). Untuk hari ini khusus keberangkatan 12 Juli,” ucapnya.

Hanya dalam beberapa menit, kami sudah dua kali tidak tahu, tentang nomor antrean dan jadwal keberangkatan. Saat membalikkan badan, ternyata orang-orang yang duduk di kursi depan loket sedang antre. Mereka membawa kertas nomor antrean. ”Nomor antrean 86 silakan ke loket 2,” suara perempuan keluar dari pengeras suara. Kami pun clingak-clinguk mencari mesin nomor antrean. Mesin itu ada di sebelah kanan pintu masuk. Keesokan harinya, Selasa (14/4), kami kembali ke Stasiun Gubeng Lama.

Karena sudah pernah keliru , kami pun melalui proses antre dengan lancar. Tetapi tetap saja, masih ada hal yang tidak kami tahu. Saat nomor antrean dipanggil, kami bergegas menuju loket. Seusai menyerahkan nomor antrean, kami serahkan formulir pemesanan tiket Lebaran. ”Maaf, untuk tiket balik (dari Cilacap ke Surabaya) tidak bisa hari ini. Kalau mau pesan untuk 23 Juli, silakan datang pada 24 April. Karena batas pemesanan tiket maksimum 90 hari,” ungkap petugas loket itu dengan ramah.

Kami pun hanya bisa membeli tiket kereta api Pasundan untuk keberangkatannya. Lebih sepekan kemudian, tepatnya Kamis (24/4), kami kembali membeli tiket untuk pulang seusai Lebaran. Pengalaman membeli tiket keberangkatan yang tidak banyak antrean membuat kami tidak terlalu risau kehabisan tiket. Sekitar pukul 07.00 WIB, kami tiba di stasiun dan langsung menuju mesin nomor antrean lebih dulu. Selembar kertas keluar dan tertera nomor 187. Kami menyangka hanya menunggu giliran 5-10 orang.

Ternyata, di layar penunjuk giliran nomor antre, baru tertulis 117. Masih 80 nomor lagi! Duduk bersama pengantre lain membuat menunggu semakin lama. Bapak di sebelah kiri nomor antrean 148. Dia masih lama dan kami tentunya lebih lama lagi. Tiga puluh menit duduk membuat perut yang belum sarapan terasa lapar. Layar antrean baru menunjuk angka 130. Ah , masih lama dan kami putuskan keluar sebentar untuk mencari makanan pengganjal perut lapar.

Dua potong lumpia habis kami lahap dan dilanjutkan menikmati sebatang rokok. Sekitar pukul 08.00 WIB, kami kembali duduk di kursi antrean. ”Nomor berapa?” tanya seorang ibu tua di sebelah kanan. Kami pun hanya bisa nyengir menyebut nomor antrean 187, sementara di layar baru tertera angka 135. ”Ini saja sampean pakai,” katanya sambil menyodorkan nomor antrean 140. Dia menjelaskan, nomor antrean itu titipan temannya.

Namun, hingga saat itu belum ada kejelasan temannya akan membeli tiket atau tidak. Kami serasa menemukan oase di padang pasir. Betapa tidak, selembar kertas itu sama artinya akselerasi 47 antrean. Ibu tua itu juga bertutur, dulu saat pembelian tiket keberangkatan tidak terlalu banyak antrean. ”Sepertinya saat itu masyarakat belum banyak yang tahu. Sekarang sudah tersosialisasikan, jadi mulai banyak yang antre,” katanya. Ibu itu memperkenalkan diri sebagai pensiunan panitera Pengadilan Tinggi Surabaya di Jalan Sumatera.

”Kemarin (saat beli tiket berangkat), banyak juga yang tidak tahu kalau mengambil nomor antrean. Ada yang sudah lama berdiri ternyata belum ambil nomor,” tutur dia. Ternyata banyak yang mengalami hal seperti yang kami alami, kurang informasi. Layar menyala angka 140 hampir bareng suara perempuan dari masin pengeras suara. Meski belum memegang tiket, kami sudah bersyukur tiada tara telah dibantu sehingga antrean menjadi lebih cepat. ”Maaf tidak bisa, sudah habis sejak setengah lima tadi pagi,” ucapan petugas tiket itu sangat menohok.

”Silakan datang pagi saja agar tidak kehabisan tiket,” lanjut petugas itu. Kepulangan harus molor sehari lagi. Itu pun jika kami mendapat tiket pada Jumat (24/4). Demi sebuah tradisi yang baik, silaturahmi di Hari Raya Idul Fitri, kami, juga masyarakat lain, rela bersusah payah agar bisa pulang kampung saat Lebaran. Jumat (24/4) pukul 03.15 WIB, kami sudah tiba. Pintu Stasiun Gubeng Lama masin tertutup. Selain kami, sudah banyak orang yang menunggu pintu terbuka untuk pesan tiket balik Lebaran atau naik kereta api.

Begitu pintu, dibuka semua langsung menyerbu masuk. Berdasar pengalaman sebelumnya, kami langsung menuju mesin nomor antrean. Tetapi mesin itu masih baru aktif pukul 05.00 WIB. Aneh, padahal loket segera dibuka. Dari pada mengalami hal bodoh, kami bertanya pada seorang petugas keamanan. ”Kalau sekarang langsung antre depan loket. Nanti jam lima baru pakai nomor antrean,” ujar pria berseragam biru itu.

Kami langsung bergerak cepat ke depan loket nomor 1. Kami ada di urutan nomor tiga. Sementara, masih banyak orang di mesin nomor antrean. Ini seperti spekulasi, jika salah antre bisa-bisa harus menunggu lama, bahkan kehabisan tiket lagi. Sekitar pukul 04.00, petugas membuka loket 1 dan langsung melayani pemesanan tanpa harus menunggu nomor antrean. Singkat cerita, kami dapat tiket kereta api Logawa untuk kembali ke Surabaya dari Cilacap pada Kamis, 23 Juli 2015. Alhamdulillah , kami keluar dari stasiun. Tapi masih banyak yang kecewa dan bingung.

”Yaopo iki . Kemarin siang antre langsung katanya suruh ambil nomor antrean. Sekarang kok langsung bisa antre depan loket,” gerutu seorang bapak berkumis. Lebaran memang masih sekitar tiga bulan lagi, tapi perjuangan mendapatkan tiket mudik-balik Lebaran itu sudah dimulai. Selamat berjuang, Mudikers!

Tradisi Baik Penjaga Silaturahmi

Mudik sudah menjadi pemandangan rutin tiap tahun. Ini salah satu tradisi di negeri kita dan beberapa negara lainnya. Semua jerih payah dilakukan hanya untuk bisa bertatap muka dengan keluarga. ”Silaturahmi saat Lebaran itu menjadi semacam wajib bagi masyarakat kita,” kata Sosiolog Andri Ariyanto. Menurut dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel ini, pemerintah harus terus berupaya memberikan layanan agar angkutan massal bisa mengakomodasi pergerakan jutaan warganya itu.

”Sekarang beli tiket Lebaran sudah 90 hari sebelum hari H, jangan sampai nanti beli tiket tahun ini untuk Lebaran tahun depan. Jangan sampai juga seperti haji, daftar tunggunya lebih dari 10 tahun,” ujarnya sambil tertawa. Mungkin konyol, tapi antre tiket semacam haji bisa jadi terjadi karena jumlah penduduk negeri ini terus bertambah. Semoga ini olok-olok belaka.

Zaki zubaidi
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4748 seconds (0.1#10.140)