Optimisme Pasar Tradisional

Senin, 20 April 2015 - 11:19 WIB
Optimisme Pasar Tradisional
Optimisme Pasar Tradisional
A A A
Pukul 24.00 WIB, hentakan kaki di Pasar Wonokromo sudah mulai ramai. Gerimis yang menguyur Kota Pahlawan sejak sore tak menyurutkan niat mereka untuk membuka lapak.

Sepatu karet yang tingginya sampai pergelangan kaki dipakai untuk menghindari genangan. Hujan sejenak membuat pasar yang jadi urat nadi penyediaan pangan itu tergenang. Meskipun hujan, suara musik dangdut masih terus melaju dengan kencang di beberapa lapak. Deretan mobil dan motor yang siap mengangkut sayuran, buah, daging, ikan sampai bumbu masak siap untuk beredar. Umiati, 57, masih sibuk berkeliling lapak.

Di tangan kanannya sudah ada bayam dan buncis. Ia masih harus berburu daging sapi, jagung dan sedikit santan. Setelah semua didapat, ia langsung kembali ke sepeda motor yang telah diparkir di tengah-tengah pasar. Di atas sepeda tampak tumpukan sayur dan keperluan dapur lainnya. ”Nanti dijual lagi di kawasan Gunungsari. Sekarang banyak yang beli sayur segar lagi,” jelasnya. Sebelumnya penjualan sayur dan buah sepi karena banyaknya minimarket yang menjamur di Surabaya.

Kini, ketika penertiban dilakukan dengan meminta izin gangguan (HO), sebagian besar minimarket tak memilikinya. Hasilnya, banyak minimarket yang harus rela untuk disegel. Bagi Umiati, pasar tradisional sudah melewati banyak masa. Makanya meskipun setiap tahun ada pesaing untuk memenuhi kebutuhan pangan warga, dirinya tak terlalu khawatir. ”Ini sudah menjadi warisan nenek moyang. Makanya pasar tradisional tak akan bisa redup dengan banyaknya pesaing toko modern lainnya,” ungkapnya.

Hadi Sasmito, salah satu penjual ayam potong di Pasar Wonokromo menuturkan, kebutuhan warga tentang ketersediaan pangan saat ini tinggi. Makanya stok ayam dan barang lainnya yang dijual di pasar ttradisonal selalu saja habis. Ia pun tak pernah risau untuk gulung tikar ketika serangan pasar modern melanda. Pasar tradisional sudah melekat dengan warga. Makanya perubahan zaman tak akan melunturkan mereka untuk bisa berpaling.

”Para pembeli pun paham mana stok bahan makanan yang bagus dan masih segar,” jelasnya. Stok pangan yang ada di Surabaya tak bisa dilepaskan dari dua pasar tradisional, yakni Pasar Wonokromo dan Pasar Pabean. Distribusi pangan pun bisa berjalan lancar ketika barang yang masuk dan keluar tetap terjaga sehingga stok makanan di berbagai kecamatan yang ada di Surabaya masih bisa terjaga.

Berdayakan UKM Makanan

Ramainya pasar tradisional juga membawa efek domino pada pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang memproduksi makanan. Salah satunya UKM pembuat tempe di kawasan Bendul Merisi. Banyaknya pesanan tempe membuat produksi rumahan ini kembali bergairah. Sayuti, salah satu pembuat tempe mengatakan, kalau pasar tradisional sepi maka pemesanan tempe juga ikut sepi.

Karena itu, ketika gairah pasar tradisional kembali muncul, para pembuat tempe rumahan juga ikut mendulang rezeki. Setiap hari selalu ada pengiriman dalam jumlah besar yang disebar di berbagai pasar. ”Kalau di pasar modern banyak tempe yang juga dari luar negeri. Kemasan mereka memang lebih baik, tapi secara kesehatan dan harga kami berani untuk bersaing,” katanya.

Setiap hari, katanya, harus memproses ratusan kilo kedelai untuk dijadikan tempe. Jumlah itu bisa bertambah ketika ada pesanan dadakan berasal dari warga. Para tetangganya juga diajak untuk ikut membantu produksi tempe. Selain UKM tempe, ada juga para pembuat lontong di Banyu Urip yang ikut kecipratan rezeki dari pamor pasar tradisional. Mereka memproduksi ribuan lontong yang bisa memenuhi kebutuhan semua warga. Dalam sehari ada 20.000 lontong yang tersebar di berbagai pasar tradisional.

Tidak tanggung-tanggung, setiap Minggu, mereka memproduksi 10-15 ton beras untuk lontong. Gas dari ratusan tabung ukuran tiga kilogram setiap hari juga ikut ludes untuk mendidihkan air dalam panci besar yang dipakai merebus beras menjadi lontong dan siap untuk dihidangkan. Ratusan gulungan daun pisang didatangkan dari luar Surabaya pun langsung terpakai.

Daun-daun itu habis untuk membungkus lontong yang dibuat oleh 98 anggota Paguyuban Pengusaha Lontong Mandiri di Banyu Urip. Warsono, salah satu pembuat lontong lainnya, mengaku setiap hari bisa memproduksi 1.500 lontong dengan menghabiskan 70 kilogram beras. Untuk membalut beras, ia juga menghabiskan tiga bal daun pisang atau sekitar 200 helai daun pisang.

Lontong yang dijual juga tak terlalu mahal. Untuk lontong kecil dijual Rp600- Rp800 dan lontong besar dijual Rp1200- Rp1500. Besarnya permintaan pasar membuat dirinya harus menambah jumlah produksi. Sebaran lontong sendiri juga lari ke beberapa daerah di luar Surabaya, seperti ke Gresik, Sidoarjo, dan Pasuruan. ”Jadi kalau pasar tradisional tetap berkibar, maka kami semua juga tetap bisa mengembangkan usaha kecil ini,” katanya.

Seperti diketahui, Satpol PP Surabaya menertibkan toko modern alias minimarket tak berizin dari data diperoleh ada 11 minimarket yang disegel mulai dari wilayah Surabaya bagian utara, timur, barat, selatan, dan pusat. Penyegelan kali ini berdasarkan acuan Perda 4 tahun 2010 tentang Persyaratan HO untuk mendirikan minimarket.

Sesuai data yang dimiliki Satpol PP Surabaya, ada 396 minimarket melanggar persyaratan HO. ”Kami akan tertibkan mulai hari ini,” kata Kepala Satpol PP Surabaya, Irvan Widyanto waktu itu.

Aan haryono
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.0330 seconds (0.1#10.140)