KDRT Lebih Disebabkan Budaya Patriarki

Sabtu, 04 April 2015 - 11:33 WIB
KDRT Lebih Disebabkan...
KDRT Lebih Disebabkan Budaya Patriarki
A A A
BATU - Mahasiswa asal Australia yang menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), tertarik meneliti masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Provinsi Jawa Timur (Jatim).

Emma Roberts, mahasiswi program Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) UMM ini, dalam penelitiannya merasa yakin, budaya patriarki di Indonesia menjadi alasan utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

“Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi. Akan tetapi, mengapa laki-laki sangat jarang dihukum karena kekerasan itu?” ungkap Emma dalam seminar yang diadakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UMM, akhir pekan kemarin.

Emma tertarik mendalami penelitian tentang KDRT karena faktor pengalaman pribadinya dan lingkungan sekitarnya. Dua tahun lalu, saat baru menginjakkan kakinya di Indonesia, dia mengenal seorang teman perempuan yang menjadi korban KDRT. “Saya tertarik mendalami masalah KDRT ini karena teman saya yang menjadi korbannya,” ungkap dia.

Menurut cerita Emma, temannya itu sebenarnya ingin melaporkan masalah yang dihadapinya ke polisi. Akan tetapi, hal itu batal dilakukan lantaran pria yang akan dilaporkannya itu sangat dihormati dan dicintainya.

“Karena tertutup rasa cinta, akhirnya teman saya tadi batal melapor ke polisi. Kemudian membiarkan teman yang telah memerkosanya itu pergi dan hidup bersama istri dan anak-anaknya tanpa ada hukuman atas perbuatannya itu,” tutur Emma yang fasih berbahasa Indonesia.

Dari pengalaman itulah, akhirnya Emma memutuskan untuk belajar lebih mendalam mengenai sistem budaya dan hukum di Indonesia. “Mudahmudahan saya bisa menemukan masalah yang membatasi korban-korban kekerasan tersebut dan memperoleh keadilan hukum,” kata dia.

Pelaksana Tugas (Plt) Program ACICIS Widiya Yutanti mengatakan, tahun ini peserta ACICIS yang ada di semester ini hanya satu orang, yaitu Emma Roberts. “Saat ini program ACICIS sudah ada di kampuskampus lain, tidak hanya di UMM saja, tapi sudah menyebar di berbagai kampus di Indonesia,” ungkap dia.

Meski demikian, dosen lulusan Griffith University Australia ini berharap pada semester berikutnya akan ada lebih banyak lagi mahasiswa asal Australia yang mengikuti program ini. ACICIS yang ada di UMM pada 1995 ini merupakan satu di antara berbagai program pertukaran mahasiswa asing di UMM.

“Selain ACICIS, UMM juga memiliki berbagai program lainnya, seperti Erasmus Mundus dengan Komisi Uni Eropa, Learning Express (LEx) dengan Singapore Polytechnic , serta berbagai program pertukaran lainnya,” ujarnya.

Maman adi saputro
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1439 seconds (0.1#10.140)