Cinta Warga untuk Ibu Wali Kota

Minggu, 15 Maret 2015 - 10:30 WIB
Cinta Warga untuk Ibu Wali Kota
Cinta Warga untuk Ibu Wali Kota
A A A
SURABAYA - Ini hanya curahan hati (curhat) dari para kaum marjinal yang beberapa kali mampir di telinga tanpa sengaja. Sangat besar potensi tudingan bahwa tulisan ini adalah keberpihakan terhadap salah satu tokoh.

Tapi memang seperti yang masyarakat kalangan bawah rasakan. Namun, ini belum bisa dianggap mewakili aspirasi seluruh masyarakat Surabaya.Telah banyak berita menyebar bahwa Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sering melakukan inspeksi mendadak atau terjun langsung ke lapangan jika ada suatu masalah.

Banyak yang mencibir, ”termasuk saya” itu hanya sebuah pencitraan karena terlalu berlebihan jika dilakukan seorang pemimpin daerah. Masih banyak hal lain yang bisa diurus dan untuk urusan-urusan ke bawah, anak buah yang seharusnya melaksanakannya.

Jumat 5 Desember 2014, sebagian wilayah Surabaya diguyur hujan, termasuk kawasan Jalan Arif Rahman Hakim dekat kampus ITATS. Saat berhenti di traffic light terlihat seorang perempuan menggunakan jas hujan oranye sedang sibuk memeriksa saluran air. Beberapa orang (mungkin stafnya) juga sibuk mengikutinya.

Ya, dia itu Wali Kota Surabaya yang saya sempat tidak suka dengan cara kerjanya yang turun terlalu ke bawah. Namun melihat sendiri, dia tetap bekerja dalam kondisi hujan, membuat saya seperti beberapa masyarakat mulai salut melihatnya bekerja keras. ”Risma iku ancene doyane kerjo ,” ujar pengendara yang ada di sebelah kanan saat melihat Risma.

Sementara orang yang dibonceng masih belum percaya karena tidak jelas melihat wajah Risma di bawah guyuran hujan dan sedikit tertutup jas hujan. ”Mosok iku Risma ? Iyo, Risma tibae ,” tanyanya dan dijawab sendiri saat Risma berjalan lebih mendekat di bawak tiang traffic light. Lampu menyala hijau, semua pengendara pun melanjutkan perjalanan.

Risma dan timnya masih berada sekitar sungai itu, di bawah siraman hujan. Saat itu masih pukul 06.45 WIB. Kini 2015 akan dilaksanakan lagi pemilihan kepala daerah, termasuk Pemilihan Wali Kota Surabaya. Pada beberapa pertemuan dengan beberapa orang sempat tercetus nama wali kota pilihan mereka.

”Nek saiki ga ono maneh, wali kota itu Risma. Risma itu pro wong cilik,” ujar Hari, warga Plemahan. Hal yang membuat Hari merasa bangga dengan Risma, tentu saja karena kebiasaannya yang sering terjun langsung berhadapan dengan masyarakat saat ada suatu masalah. ”Belum pernah ada wali kota yang mau bersusah payah seperti dia,” kata Hari.

Hari bukan kader partai politik, dia hanya seorang penjual barang bekas. Banyak hal yang diakukan Risma dan membuat warga Surabaya terperangah. Satu upaya besar dan perlu keberanian adalah penutupan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Dolly. Banyak opini bermunculan, pro maupun kontra. Kata berita, warga sekitar lokalisasi tersebut merasa kehilangan mata pencaharian.

”Itu bohong. Kalau orang asli situ sangat senang Dolly ditutup dan berterima kasih pada Bu Risma,” ungkap Supriyadi, warga Dukuh Kupang. Pria yang bekerja di pabrik pengolahan kopi di Sidoarjo itu mengaku sudah berancang-ancang pindah karena khawatir dengan perkembangan anaknya.

”Alhamdulillah sudah ditutup,” ucapnya. Ia mengaku warga yang dulu tidak setuju dengan penutupan Dolly adalah warga pendatang yang memang memanfaatkan peluang usaha di lokalisasi tersebut. Banyak hal yang dilakukan Risma. Tapi apakah ia pasti akan menjadi wali kota lagi? Mungkin iya, tapi mungkin juga tidak.

Risma di Mata Pengamat


Akademisi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof D Sujarwo, menilai masyarakat memang sudah pandai. Masyarakat harus memilih wali kota yang memiliki kompetensi yang bagus. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan membaca kondisi lapangan, piawai memaksimalkan potensi daerah, dan jeli memediasi setiap konflik.

Ditanya apakah Risma sudah termasuk dalam kriteria tersebut, Prof Sujarwo tidak bersedia memberikan penilaian secara verbal. Menurutnya, sebagai akademisi, dia harus berdiri di tengah-tengah. ”Saya di tengahtengah, saya ini netral, mohon maaf saya tidak berani menilai. Biar masyarakat yang langsung menilai,” ucap Prof Sujarwo.

Pengamat politik Unair Suko Widodo mengatakan Risma butuh komunikasi politik yang baik. Menurutnya, Risma tidak memiliki kemampuan berpolitik. Padahal, seorang kepala daerah seharusnya sering melakukan komunikasi politik dengan legislatif terkait kebijakan yang dibuatnya.

Lebih lanjut Suko Widodo menerangkan, dalam etika pemerintahan, eksekutif tidak boleh menganggap pemerintahan sebagai perusahaannya sendiri, dan itu jelas melanggar Undang-Undang Pemda. Seharusnya dalam sebuah pemerintahan tidak dapat dilakukan seperti itu.

Risma dipandang anggota DPRD Surabaya sebagai sosok yang cuek, sulit melakukan komunikasi dengan dewan. Dia juga tak peduli saat PDIP, partai yang mengusungnya, mengancam akan menjatuhkannya. Risma menegaskan jika dirinya menjadi Wali Kota Surabaya karena dipilih rakyat.

Zaki zubaidi
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6820 seconds (0.1#10.140)