Kiai Kolega Fuad Tolak Panggilan KPK

Sabtu, 28 Februari 2015 - 11:23 WIB
Kiai Kolega Fuad Tolak...
Kiai Kolega Fuad Tolak Panggilan KPK
A A A
BANGKALAN - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bangkalan, KH Syarifudin Damanhuri, angkat bicara terkait ketidakhadirannya memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Syarifudin menyatakan, dia punya banyak alasan untuk tidak hadir memenuhi panggilan KPK di Jakarta, salah satunya berkaitan dengan materi. “Kalau surat panggilan sudah saya terima. Soal kenapa tidak hadir karena hal yang ada di dalam surat panggilan tersebut tidak sesuai dengan pengetahuan saya,” ujarnya dihubungi kemarin.

Menurut pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Assaidiyah, Desa Aer Mata, Kecamatan Arosbaya, ini penyidik KPK memanggilnya dalam kapasitas sebagai saksi meringankan untuk Ketua DPRD Kabupaten Bangkalan Fuad Amin Imron. Hanya yang membuatnya keberatan memenuhi panggilan itu, dia diminta menjadi saksi meringankan dalam kasus dugaan suap minyak dan gas di Kabupaten Bangkalan.

Meski sebagai saksi meringankan Fuad Amin, dia mengaku tidak paham mengenai migas. Syarifudin mengaku bakal datang bila materi pemeriksaan KPK berkaitan profil atau sepak terjang dari mantan bupati Bangkalan dua periode itu atau berkaitan dengan masalah keagamaan. Tapi kalau masalah migas, dia mengaku tidak paham sehingga memilih tidak akan datang.

“Saya saja baru tahu kalau di Bangkalan ada migas, lha kok malah dipanggil untuk menjelaskan masalah tersebut. Maka saya pilih ndak datang,” ujarnya. Setelah operasi tangkap tangan KPK yang menyeret Fuad Amin, Syarifudin mengaku sudah tiga kali mendatangi kantor KPK di Jakarta untuk membesuk Fuad Amin di sel tahanan. Namun, dia tak berhasil menemui koleganya itu.

“Saya tidak diperbolehkan masuk menemui beliau (Fuad Amin). Padahal hanya untuk membesuk saja,” katanya. Seperti diberitakan, Kamis (26/2), sedianya KPK memeriksa tiga kiai di Bangkalan berkaitan dengan kasus suap jual beli gas yang menyeret Fuad Anin sebagai tersangka.

Selain Syarifudin, penyidik KPK juga memanggil KH Nuruddin Abdul Rahman (pengasuh Ponpes Al-Hikam di Desa Tunjung, Kecamatan Burneh yang juga mantan anggota DPD RI) serta KH Abdul Razak Hadi (pengasuh Ponpes Jengkebuan, Kecamatan Kota, yang juga mantan Ketua DPC Partai Demokrat Bangkalan dua periode lalu).

Salah satu tokoh masyarakat di Bangkalan mengungkapkan, ketiganya memang dikenal sebagai ulama yang dekat dengan Fuad Amin. Kedekatan itu bisa dilihat dari sejumlah kebijakan dana bantuan yang diberikan Fuad. Namun, apakah ketiganya berhubungan langsung urusan jual beli gas yang bermasalah itu, dia mengaku tidak tahu. “Wah kalau itu saya tidak tahu,” kata dia .

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha membenarkan ketiga ulama di Bangkalan itu dipanggil sebagai saksi meringankan untuk Fuad Amin. Namun, tiga kiai tersebut mangkir tanpa memberikan alasan jelas. Karena itu, penyidik KPK akan melayangkan surat panggilan yang kedua.

“KH Syarifuddin Damanhuri, KH Abdul Razak Hadi, dan KH Nuruddin Abdul Rahman tidak hadir tanpa memberikan keterangan. Tapi nanti mereka akan dipanggil lagi,” kata dia. Bagaimana bila mereka tetap tidak hadir? Priharsa mengatakan, penyidik tak bisa memaksa saksi meringankan untuk hadir. Hal itu berbeda dengan saksi fakta. Penyidik bisa melakukan upaya paksa untuk menghadirkannya.

Sesuai Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), saksi meringankan merupakan saksi yang diajukan tersangka. Dengan demikian, bersedia atau tidaknya saksi untuk memberikan keterangan sangat bergantung saksi itu sendiri. “Penyidik KPK tidak bisa melakukan upaya paksa,” ujar Priharsa.

Pada pihak lain, Priharsa memastikan bahwa sebagian berkas kasus suap jual beli gas alam itu sudah naik ke tahap penuntutan. Berkas yang dimaksud adalah tersangka Abdul Abdul Rauf, ajudan Fuad Amin yang berperan sebagai kurir penerima suap dari PT Media Karya Sentosa. Berkas penyidikan Rauf telah dinyatakan lengkap dan sempurna alias P21 dan segera disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

“Perkara AR telah masuk penuntutan. Kira-kira dua pekan lagi mulai disidangkan,” kata Priharsa. Kemarin, Rauf sempat diperiksa dan keluar gedung KPK sekitar pukul 14.10 WIB. Dia mengenakan kemeja abu-abu berlengan pendek lengkap dengan rompi tahanan KPK berwarna oranye.

Tanpa memberikan keterangan kepada wartawan yang bertanya, Rauf langsung masuk ke dalam mobil tahanan kembali ke Rumah Tahanan Kelas 1 Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, cabang POMDAM Jaya Guntur, Jakarta Selatan, tempatnya ditahan.

KPK menjerat Fuad Amin dalam dua berkas kasus. Pertama sebagai penerima suap jual-beli gas alam untuk pembangkit listrik di Gresik dan Gili Timur, Kabupaten Bangkalan, bersama perantara penerima Abdul Rouf (ajudan Fuad), dan pemberi suap Direktur PT Media Karya Sentosa Antonio Bambang Djatmiko. Sementara Kopral Satu (Koptu) TNI AL Darmono selaku perantara Antonio penanganannya diserahkan ke POM AL.

Dalam kasus ini Fuad Amin terancam Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 KUHP, yaitu pidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan plus denda maksimal Rp1 miliar. Kasus kedua Fuad Amin adalah tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Penerapan TPPU terhadap Fuad Amin secara resmi disampaikan KPK pada Senin 29 Desember 2014. Fuad dijerat dua UU berlapis. Pertama, Pasal 3 UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Kedua, Pasal 3 Ayat (1) UU Nomor 15/2002 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 25/2003 tentang TPPU. Fuad Amin terancam pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.

Hingga Sabtu (21/2), KPK sudah menyita lebih dari 100 jenis aset berkaitan dengan dugaan TPPU milik Fuad Amin. Sejumlah aset Fuad Amin tersebut tersebar di Jakarta, Bangkalan, Surabaya, dan Bali. Rinciannya 14 rumah dan apartemen berlokasi di Jakarta dan Surabaya, 70 bidang tanah baik tanah kosong maupun beberapa tanah dengan bangunan di atasnya.

Termasuk kantor DPC Gerindra, Butik, dan toko. Berikutnya satu kondominium dengan 50-60 kamar di Bali dan 19 mobil dengan berbagai merek yang disita di Jakarta, Surabaya, dan Bangkalan. Selain itu, ada uang kurang lebih Rp250 miliar. Sekitar Rp234 miliar di antaranya sudah berada dalam kas penampungan KPK, selebihnya masih dalam proses pemindahan.

Subairi/Sabir laluhu
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0994 seconds (0.1#10.140)