Batu Akik pun Bisa Jadi Warisan
A
A
A
Di Surabaya lebih mudah menjumpai para penjual batu agate atau akik dari pada kacang rebus. Di berbagai sudut jalan, mereka menggelar tikar dan deretan batu berbagai warna bersinar dari kejauhan. Mereka yang hobi atau hanya sekadar melihat-lihat langsung berkerumun.
Rasanya masih terlalu pagi untuk mencari nasi pecel Ponorogo di sekitar Jalan Dharmahusada Surabaya. Laju sepeda motor hanya melintas begitu saja tanpa ada penjual nasi favorit di pagi hari itu. Namun, di pagi yang sejuk itu penjual akik sudah membuka lapaknya. Mereka sudah menata rapi ratusan akik yang siap menunggu pemiliknya.
Dua tikar berukuran sedang menutupi rumput dan trotoar jalan. Tak perlu lama, dua pengendara sepeda motor langsung singgah. Mereka mencermati ratusan batu mulia yang ditata rapi oleh Sholichin, pedagang asal Ngawi.
Dari ratusan batu yang ada, kedua mata Wiryo tertuju pada akik bergambar. Berkali-kali dia mengangkat batu itu dan mengarahkannya pada matahari. “Kalau mau lepas Rp200.000 saya mau beli dua,” katanya sambil menyerahkan batu yang dipilihnya pada Sholichin. “Rp250.000 itu sudah harga pas. Tak kasih gratis satu akik Garut kalau mau,” ucap Sholichin.
Kesepakatan pun terjadi. Dalam hitungan menit, Sholichin sudah mengantongi uang Rp500.000. Dalam seharian saja, bagi pedagang keliling seperti Sholichin mengaku bisa mendapatkan Rp3 juta. “Kalau pas ramai bisa Rp5 juta,” katanya.
Demam batu akik memang melanda seluruh Nusantara. Tak terkecuali di Kota Pahlawan. Pemandangan di pinggir jalan tak lagi didominasi penjual lontong balap, tapi kini penjual batu akik membanjiri jalanan Kota Surabaya. Di lapak-lapak, para penjual akik keliling itu menyediakan aneka macam batu. Sebut saja akik yahman, garut, jesper, sumatera, botswana, pendant, red river , turitela , sampai bacan. “Kalau bacan tak banyak, soalnya sekarang langka dan mahal,” katanya.
Sekretaris Komunitas Batu Bergambar Indonesia (Forkom) Darmantoko menuturkan, fenomena batu akik saat ini lebih besar ketika dulu eranya Presiden Soeharto sekitar 1992. Saat itu, Pak Harto sering memakai batu akik bergambar yang selanjutnya banyak ditiru pejabat di bawahnya.
Semua jenderal, katanya, ikut memakai batu akik bergambar. Bahkan aparat kepolisian juga ikut memakai batu yang populer waktu itu sebagai black diamond . Namun, tren dulu tak bisa masif seperti sekarang. Hanya kalangan tertentu saja yang memakai akik. Tapi saat ini, ketika tren akik kembali naik, pengetahuan masyarakat ikut terbawa arus.
Sehingga banyak yang suka dan berbondong-bondong memakai batu akik. “Bahkan sekarang banyak bupati/wali kota yang gencar melakukan eksplorasi mineral untuk mencari batu mulia sebagai kekayaan lokal,” kata Darmantoko.
Tak hanya itu, keberadaan batu akik juga mengalami kenaikan kelas. Kalau dulu batu akik hanya menjadi pelengkap koleksi, sekarang sudah menjadi aset berharga. Dulu, orang berduit hanya mau mengoleksi intan, ruby, giok, dan permata. Sekarang di lemari besi mereka sudah berisi berbagai jenis batu akik yang memiliki nilai jual tinggi. “Banyak kok sekarang warisan yang di dalamnya ada batu akik. Jadi tak hanya warisan tanah, emas, giok, maupun barang berharga lainnya,” katanya.
Pria berkacamata tebal itu menjelaskan, keberadaan akik yang bisa menjadi harta warisan tak lepas dari faktor keunikan batu, antik, seni, dan termasuk barang yang langka. Sehingga banyak keluarga kaya yang mau menumpuk hartanya berupa batu berharga yang bisa diwariskan untuk anak cucunya nanti.
Selain itu, katanya, ada kepercayaan yang kuat tentang kekuatan yang tak bisa dijelaskan secara materiil dari batu akik. Jenis combong misalnya, batu yang memiliki karakteristik tetesan seperti air di atas gumpalan utama itu identik dengan kedatangan rezeki. Filosofi gumpalan kecil yang di dalamnya menjadi besar ada yang beranggapan bisa mendatangkan banyak rezeki.
Kondisi yang sama juga terjadi pada batu badar. Bagi sebagian orang, batu yang memiliki kandungan perak dan besi itu memiliki sumber kekuatan. “Tapi itu sifatnya kepercayaan saja, ada juga yang menilainya berbeda,” katanya.
Surabaya Jadi Pelopor Surabaya pernah menjadi pelopor batu akik bergambar sejak puluhan tahun lalu. Di saat semua daerah belum begitu populer tentang penjualan dan pemakaian batu akik, Surabaya sudah menjadi pasar yang menjanjikan untuk batu akik bergambar.
Sejak 1950, tepatnya di kawasan Kebonrojo menjadi sentra batu akik dari seluruh nusantara. “Waktu itu batu akik masih murah dan jumlahnya berlimpah. Distribusi batu akik waktu itu dilakukan di Surabaya,” kata Darmantoko.
Faktor estetika, katanya, menjadi alasan orang dulu memiliki batu akik. Bahkan para kolektor rela mengeluarkan uang yang banyak untuk memiliki batu seperti fire agate, red river agate , turitela agate , combong agate , badar agate , dan fosil agate . “Tahun 1980-1990-an saja harganya paling murah yang dibeli kolektor bisa mencapai Rp1 juta. Ada juga yang nilanya sudah ratusan juta,” katanya.
Dari semua fenomena akik saat ini, katanya, harus ada rasa syukur. Sebab, kini banyak warga Indonesia yang mengenal secara detail kekayaan mineralnya. Mereka tak lagi menjadi korban penipuan para pemborong batu dari luar negeri yang kerap membayar dengan harga murah.
Dwi Sarwono, salah satu kolektor batu akik mengaku kaget dengan tren dan lonjakan harga batu di pasaran. Sejak 20 tahun lalu dirinya punya hobi untuk mengoleksi berbagai jenis batu mulia. Di rumahnya yang ada di Gayungan terlihat batu sebagai hiasan dinding. Ikat pinggangnya pun tak lepas dari batu mulia yang berwarna hijau tua. “Dulu belinya murah, tapi serang sudah ada yang menawar sampai Rp1 miliar untuk jenis yang langka,” katanya.
Namun, kecintaan pada batu mulia tak membuatnya kepincut dengan uang. Bapak tiga anak ini memilih untuk mempertahankan batu mulia miliknya. Pasalnya, batu-batu itu akan diwariskan kepada anak-anaknya. “Rasanya lain kalau memiliki batu-batu ini, estetikanya begitu luar biasa,” katanya.
Aan haryono
Rasanya masih terlalu pagi untuk mencari nasi pecel Ponorogo di sekitar Jalan Dharmahusada Surabaya. Laju sepeda motor hanya melintas begitu saja tanpa ada penjual nasi favorit di pagi hari itu. Namun, di pagi yang sejuk itu penjual akik sudah membuka lapaknya. Mereka sudah menata rapi ratusan akik yang siap menunggu pemiliknya.
Dua tikar berukuran sedang menutupi rumput dan trotoar jalan. Tak perlu lama, dua pengendara sepeda motor langsung singgah. Mereka mencermati ratusan batu mulia yang ditata rapi oleh Sholichin, pedagang asal Ngawi.
Dari ratusan batu yang ada, kedua mata Wiryo tertuju pada akik bergambar. Berkali-kali dia mengangkat batu itu dan mengarahkannya pada matahari. “Kalau mau lepas Rp200.000 saya mau beli dua,” katanya sambil menyerahkan batu yang dipilihnya pada Sholichin. “Rp250.000 itu sudah harga pas. Tak kasih gratis satu akik Garut kalau mau,” ucap Sholichin.
Kesepakatan pun terjadi. Dalam hitungan menit, Sholichin sudah mengantongi uang Rp500.000. Dalam seharian saja, bagi pedagang keliling seperti Sholichin mengaku bisa mendapatkan Rp3 juta. “Kalau pas ramai bisa Rp5 juta,” katanya.
Demam batu akik memang melanda seluruh Nusantara. Tak terkecuali di Kota Pahlawan. Pemandangan di pinggir jalan tak lagi didominasi penjual lontong balap, tapi kini penjual batu akik membanjiri jalanan Kota Surabaya. Di lapak-lapak, para penjual akik keliling itu menyediakan aneka macam batu. Sebut saja akik yahman, garut, jesper, sumatera, botswana, pendant, red river , turitela , sampai bacan. “Kalau bacan tak banyak, soalnya sekarang langka dan mahal,” katanya.
Sekretaris Komunitas Batu Bergambar Indonesia (Forkom) Darmantoko menuturkan, fenomena batu akik saat ini lebih besar ketika dulu eranya Presiden Soeharto sekitar 1992. Saat itu, Pak Harto sering memakai batu akik bergambar yang selanjutnya banyak ditiru pejabat di bawahnya.
Semua jenderal, katanya, ikut memakai batu akik bergambar. Bahkan aparat kepolisian juga ikut memakai batu yang populer waktu itu sebagai black diamond . Namun, tren dulu tak bisa masif seperti sekarang. Hanya kalangan tertentu saja yang memakai akik. Tapi saat ini, ketika tren akik kembali naik, pengetahuan masyarakat ikut terbawa arus.
Sehingga banyak yang suka dan berbondong-bondong memakai batu akik. “Bahkan sekarang banyak bupati/wali kota yang gencar melakukan eksplorasi mineral untuk mencari batu mulia sebagai kekayaan lokal,” kata Darmantoko.
Tak hanya itu, keberadaan batu akik juga mengalami kenaikan kelas. Kalau dulu batu akik hanya menjadi pelengkap koleksi, sekarang sudah menjadi aset berharga. Dulu, orang berduit hanya mau mengoleksi intan, ruby, giok, dan permata. Sekarang di lemari besi mereka sudah berisi berbagai jenis batu akik yang memiliki nilai jual tinggi. “Banyak kok sekarang warisan yang di dalamnya ada batu akik. Jadi tak hanya warisan tanah, emas, giok, maupun barang berharga lainnya,” katanya.
Pria berkacamata tebal itu menjelaskan, keberadaan akik yang bisa menjadi harta warisan tak lepas dari faktor keunikan batu, antik, seni, dan termasuk barang yang langka. Sehingga banyak keluarga kaya yang mau menumpuk hartanya berupa batu berharga yang bisa diwariskan untuk anak cucunya nanti.
Selain itu, katanya, ada kepercayaan yang kuat tentang kekuatan yang tak bisa dijelaskan secara materiil dari batu akik. Jenis combong misalnya, batu yang memiliki karakteristik tetesan seperti air di atas gumpalan utama itu identik dengan kedatangan rezeki. Filosofi gumpalan kecil yang di dalamnya menjadi besar ada yang beranggapan bisa mendatangkan banyak rezeki.
Kondisi yang sama juga terjadi pada batu badar. Bagi sebagian orang, batu yang memiliki kandungan perak dan besi itu memiliki sumber kekuatan. “Tapi itu sifatnya kepercayaan saja, ada juga yang menilainya berbeda,” katanya.
Surabaya Jadi Pelopor Surabaya pernah menjadi pelopor batu akik bergambar sejak puluhan tahun lalu. Di saat semua daerah belum begitu populer tentang penjualan dan pemakaian batu akik, Surabaya sudah menjadi pasar yang menjanjikan untuk batu akik bergambar.
Sejak 1950, tepatnya di kawasan Kebonrojo menjadi sentra batu akik dari seluruh nusantara. “Waktu itu batu akik masih murah dan jumlahnya berlimpah. Distribusi batu akik waktu itu dilakukan di Surabaya,” kata Darmantoko.
Faktor estetika, katanya, menjadi alasan orang dulu memiliki batu akik. Bahkan para kolektor rela mengeluarkan uang yang banyak untuk memiliki batu seperti fire agate, red river agate , turitela agate , combong agate , badar agate , dan fosil agate . “Tahun 1980-1990-an saja harganya paling murah yang dibeli kolektor bisa mencapai Rp1 juta. Ada juga yang nilanya sudah ratusan juta,” katanya.
Dari semua fenomena akik saat ini, katanya, harus ada rasa syukur. Sebab, kini banyak warga Indonesia yang mengenal secara detail kekayaan mineralnya. Mereka tak lagi menjadi korban penipuan para pemborong batu dari luar negeri yang kerap membayar dengan harga murah.
Dwi Sarwono, salah satu kolektor batu akik mengaku kaget dengan tren dan lonjakan harga batu di pasaran. Sejak 20 tahun lalu dirinya punya hobi untuk mengoleksi berbagai jenis batu mulia. Di rumahnya yang ada di Gayungan terlihat batu sebagai hiasan dinding. Ikat pinggangnya pun tak lepas dari batu mulia yang berwarna hijau tua. “Dulu belinya murah, tapi serang sudah ada yang menawar sampai Rp1 miliar untuk jenis yang langka,” katanya.
Namun, kecintaan pada batu mulia tak membuatnya kepincut dengan uang. Bapak tiga anak ini memilih untuk mempertahankan batu mulia miliknya. Pasalnya, batu-batu itu akan diwariskan kepada anak-anaknya. “Rasanya lain kalau memiliki batu-batu ini, estetikanya begitu luar biasa,” katanya.
Aan haryono
(ftr)