Petani Karangwuni, Tolak Serahkan Tanah ke Pakualaman

Selasa, 03 Februari 2015 - 18:58 WIB
Petani Karangwuni, Tolak Serahkan Tanah ke Pakualaman
Petani Karangwuni, Tolak Serahkan Tanah ke Pakualaman
A A A
KULONPROGO - Tiga petani pesisir Karangwuni, Wates menolak menyerahkan tanah garapan kepada Kadipaten Puro Pakualaman untuk dipakai sebagai lokasi pabrik pengolahan biji besi.

Mereka mengklaim lahan tersebut merupakan tanah negara yang bisa dimiliki petani penggarap.

Ketiga petani tersebut adalah Suparno, Sukarmin dan Karmiyo yang semuanya warga Karangwuni.

Mereka telah menggarap lahan tersebut sejak puluhan tahun silam. Lahan yang dulunya gersang telah dikembangkan menjadi kawasan pertanian yang subur dan cukup produktif.

Pada akhir bulan lalu, ketiga petani ini mendapatkan surat dari Kawedanan Kaprajan Kadipaten Pakualaman yang ditandatangani oleh KPH Bayudono Suryoadinegoro yang disampaikan kepada Desa Karangwuni dan kepala dukuh setempat.

Surat tertanggal 19 Januari ini baru diterima petani pada akhir Januari lalu. Intinya ketiga warga diminta untuk mengosongkan tanah Pakualaman (Pakualam Ground) untuk pembangunan pabrik konsentrat dan pig iron yang merupakan teguran kedua.

Atas pengosongan ini, warga diminta untuk menemui PT JMI untuk mendapatkan kompensasi sesuai dengan prosedur yang ada.

Namun jika sampai 30 hari dari surat diterima mereka tidak mengosongkan akan diproses hukum.

“Iya ini kedua, biarkan saja. Saya tidak akan menanggapi,” jelas Suparno yang didampingi Karmiyo.

Suparno sendiri mempertanyakan, adanya keaslian surat tersebut dan kebenaran atas lahan pesisir itu milik Pakualaman.

Mengacu pada Undang-undang pokok Agraria tanah negara yang dulu gersang dan tidak dimanfaatkan bisa dimiliki warga yang menggarap selama puluhan tahun.

“Kalau memang harus berurusan dengan hukum, kita harus siap,” jelas anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP).

Pengageng Kawedanan Kaprajan Kadipaten Pakualaman KPH Bayudono Suryoadinegoro mengatakan nantinya akan ada teguran ketiga sebelum pemasalahan ini dibawa ke ranah hukum.

Untuk itulah mereka minta kepada masyarakat untuk menyerahkan hak-hak atas lahan garapan yang ada ke Pakualaman.

Bayudono melihat pemahaman dari petani dalam mensikapi UU Agraria salah. Yang bisa dimiliki merupakan tanah negara. Yang ada di DIY ini merupakan tanah adat.

“Jadi tanah itu merupakan tanah adat bukan tanah negara. Pemahaman UUPA ini harus benar,” ujar Bayudono.

Pakualaman sendiri mengakui memiliki bukti-bukti kuat untuk meminta hak atas tanah tersebut.

Termasuk adanya pengakuan terhadap tanah Pakualaman, untuk disandingkan dengan bukti kepemilikan warga.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9705 seconds (0.1#10.140)