Hukuman Mati dan Tes Perawan Dipertanyakan
A
A
A
Banyak yang berpandangan tugastugas polisi sangat riskan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Setiap laporan tahunan dari para penggiat HAM, lembaga kepolisian kerap di posisi teratas sebagai pihak yang sering melakukan pelanggaran.
Stempel sebagai pelanggar HAM ternyata cukup membuat lembaga kepolisian gerah. Pendidikan HAM pun kini menjadi salah satu isu penting yang diberikan bagi caloncalon polisi, baik yang sedang menjalani pendidikan maupun yang baru lulus. KORAN SINDO MEDAN secara khusus diberikan kesempatan menyaksikan langsung bagaimana pendidikan HAM diberikan kepada 302 polwan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Sampali Polda Sumut, Jalan Bhayangkara, Medan, Jumat (30/1).
Polda Sumut menggandeng Pusat Studi HAM (Pusham) Universitas Negeri Medan (Unimed) untuk membekali polwan yang sudah dilantik dan akan ditempatkan di beberapa wilayah se- Sumatera Utara (Sumut). Ternyata banyak kegelisahan terpancar dari ratusan polwan yang mengikuti pembekalan tersebut. Hal itu terlihat jelas dari antusiasme mereka yang berebut mengacungkan tangan saat diberi kesempatan untuk bertanya.
Pertanyaannya berkaitan langsung dengan tugas dan situasi yang bakal mereka hadapi nanti. Salah satu polwan, Bripda Yossie Hutabarat bertanya soal interogasi seorang tahanan yang diduga melakukan tindak kriminal tapi enggan mengakuinya. HAM membatasi polisi melakukan tindakan memaksa tersangka membuat pengakuan. Hal tersebut justru akan menyulitkan mereka mendapatkan keterangan.
Sementara itu, Bripda Malau mempertanyakan soal hukuman mati yang saat ini sedang hangat jadi perbincangan. Dia mengharapkan penjelasan dalam perspektif HAM apakah hal itu termasuk pelanggaran mengingat sesuai peraturan perundang-undangan, hukuman mati berlaku di Indonesia. Lalu, salah satu pertanyaan cukup menarik datang dari Bripda Annisa. Dia mempertanyakan soal tes keperawanan saat masuk Polri karena mereka semua telah menjalani pemeriksaan tersebut.
Persoalan hukuman mati menjadi poin pertama yang dijawab Majda. Menurutnya, Indonesia bukan negara yang menganut penghapusan hukuman mati sama seperti negara lain, yakni Malaysia, Iran, 31 negara bagian di Amerika Serikat, dan negara lainnya.
“Perdebatan soal hukuman mati tidak akan berakhir karena keduanya punya dasar yang kuat. Namun, bisa saja suatu saat Indonesia menghapus hukuman mati. Tergantung bagaimana kita mengonstruksikan apakah hukuman mati memang dapat memberikan efek jera,” papar Majda.
Mengenai persoalan upaya paksa, Majda meminta polwan yang sebentar lagi akan ditempatkan di beberapa wilayah di Sumut untuk memegang teguh tiga asas Polri, yaitu legalitas (hukum), nesesitas (kebutuhan), dan proporsionalitas (penindakan yang proporsional). Bukan tugas polisi dalam memaksa seseorang untuk mengakui perbuatan karena sampai kapan pun hal itu tidak akan bisa dilakukan.
Tugas polisi hanya mencatat apa yang menjadi keterangannya dan membuktikan kesalahannya dengan keterampilan dan kemampuan yang dimiliki tanpa harus melanggar HAM. Mengenai persoalan tes keperawanan, hal itu hanya kesalahan dalam redaksional bahasa. Yang dites bukan perawan atau tidaknya seseorang, tapi memeriksa organ vital perempuan apakah memiliki penyakit tertentu.
Pembekalan yang berlangsung selama tiga jam tersebut harus terhenti karena waktunya sudah berakhir. Majda mengakui dari segi waktu kegiatan itu masih kurang optimal, tapi setidaknya Polri sudah menunjukkan keseriusannya penegakan HAM di tubuh kepolisian.
M Rinaldi Khair
Medan
Stempel sebagai pelanggar HAM ternyata cukup membuat lembaga kepolisian gerah. Pendidikan HAM pun kini menjadi salah satu isu penting yang diberikan bagi caloncalon polisi, baik yang sedang menjalani pendidikan maupun yang baru lulus. KORAN SINDO MEDAN secara khusus diberikan kesempatan menyaksikan langsung bagaimana pendidikan HAM diberikan kepada 302 polwan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Sampali Polda Sumut, Jalan Bhayangkara, Medan, Jumat (30/1).
Polda Sumut menggandeng Pusat Studi HAM (Pusham) Universitas Negeri Medan (Unimed) untuk membekali polwan yang sudah dilantik dan akan ditempatkan di beberapa wilayah se- Sumatera Utara (Sumut). Ternyata banyak kegelisahan terpancar dari ratusan polwan yang mengikuti pembekalan tersebut. Hal itu terlihat jelas dari antusiasme mereka yang berebut mengacungkan tangan saat diberi kesempatan untuk bertanya.
Pertanyaannya berkaitan langsung dengan tugas dan situasi yang bakal mereka hadapi nanti. Salah satu polwan, Bripda Yossie Hutabarat bertanya soal interogasi seorang tahanan yang diduga melakukan tindak kriminal tapi enggan mengakuinya. HAM membatasi polisi melakukan tindakan memaksa tersangka membuat pengakuan. Hal tersebut justru akan menyulitkan mereka mendapatkan keterangan.
Sementara itu, Bripda Malau mempertanyakan soal hukuman mati yang saat ini sedang hangat jadi perbincangan. Dia mengharapkan penjelasan dalam perspektif HAM apakah hal itu termasuk pelanggaran mengingat sesuai peraturan perundang-undangan, hukuman mati berlaku di Indonesia. Lalu, salah satu pertanyaan cukup menarik datang dari Bripda Annisa. Dia mempertanyakan soal tes keperawanan saat masuk Polri karena mereka semua telah menjalani pemeriksaan tersebut.
Persoalan hukuman mati menjadi poin pertama yang dijawab Majda. Menurutnya, Indonesia bukan negara yang menganut penghapusan hukuman mati sama seperti negara lain, yakni Malaysia, Iran, 31 negara bagian di Amerika Serikat, dan negara lainnya.
“Perdebatan soal hukuman mati tidak akan berakhir karena keduanya punya dasar yang kuat. Namun, bisa saja suatu saat Indonesia menghapus hukuman mati. Tergantung bagaimana kita mengonstruksikan apakah hukuman mati memang dapat memberikan efek jera,” papar Majda.
Mengenai persoalan upaya paksa, Majda meminta polwan yang sebentar lagi akan ditempatkan di beberapa wilayah di Sumut untuk memegang teguh tiga asas Polri, yaitu legalitas (hukum), nesesitas (kebutuhan), dan proporsionalitas (penindakan yang proporsional). Bukan tugas polisi dalam memaksa seseorang untuk mengakui perbuatan karena sampai kapan pun hal itu tidak akan bisa dilakukan.
Tugas polisi hanya mencatat apa yang menjadi keterangannya dan membuktikan kesalahannya dengan keterampilan dan kemampuan yang dimiliki tanpa harus melanggar HAM. Mengenai persoalan tes keperawanan, hal itu hanya kesalahan dalam redaksional bahasa. Yang dites bukan perawan atau tidaknya seseorang, tapi memeriksa organ vital perempuan apakah memiliki penyakit tertentu.
Pembekalan yang berlangsung selama tiga jam tersebut harus terhenti karena waktunya sudah berakhir. Majda mengakui dari segi waktu kegiatan itu masih kurang optimal, tapi setidaknya Polri sudah menunjukkan keseriusannya penegakan HAM di tubuh kepolisian.
M Rinaldi Khair
Medan
(ars)