Razia (Bukan) Preman

Senin, 26 Januari 2015 - 11:18 WIB
Razia (Bukan) Preman
Razia (Bukan) Preman
A A A
SEJAK 19 Januari hingga 21 Februari 2015, seluruh jajaran Polri menggelar razia preman. Kegiatan yang dilaksanakan serentak ini merupakan perintah Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti. Operasi yang diberi sandi Operasi Cempaka ini berdasarkan surat telegram Kapolri STR XIV/1/2015 tertanggal 8 Januari 2015 dengan sasaran preman.

Razia tersebut gencar dilakukan di Surabaya. Sayangnya, imbas dari operasi ini tidak hanya dirasakan preman sesungguhnya, tapi orang-orang yang mencari nafkah halal di jalanan menjadi tidak nyaman dan terganggu. Pada Jumat (25/1/2015) malam, Surabaya sedang hujan. Pengunjung warung kopi kawasan Kapas Krampung lumayan ramai.

KORAN SINDO JATIM yang kebetulan berteduh ikut menikmati kopi sambil menunggu hujan reda. Seorang pria duduk di sebelahnya. Ia memesan kopi dan mengambil satu batang rokok eceran. Rupanya, dia sudah menjadi langganan di warung itu. ”Ga kerjo,” tanya penjaga warung sambil menyodorkan kopi pesanannya.

Pria itu menjawab, tidak bekerja karena sedang banyak razia. Dari pembicaraan kedua orang tersebut terungkap pelanggan itu adalah seorang pengamen. Namun, dia menjadi tidak berani mencari nafkah karena KTPnya mati. ”Dari pada diciduk, mending prei disik ,” kata pria itu.

Jumat siang itu, kepolisian memang rutin menggelar razia. Saat itu, Unit Premanisme Subdit Jatanras Polda Jatim menggelar razia besar-besaran di Terminal Purabaya, Terminal Joyoboyo, sekitar Taman Bungkul, serta Stasiun Wonokromo. Hasilnya ada 105 orang diamankan.

Dari jumlah tersebut 82 orang laki-laki, 20 orang wanita, dan 3 anak berusia 15 ta-hun. Apakah semua yang diamankan itu adalah preman? Jawabannya adalah tidak tahu. Hanya sebatas diduga atau dicurigai sebagai preman.

Tidak ada yang terbukti sebagai pelaku tindak kejahatan. Mereka diamankan lalu didata kemudian dipulangkan. ”Setelah kami lakukan pendataan, mereka diperbolehkan kembali pulang,” kata Kanit Premanisme Subdit Jatanras Polda Jatim Kompol Faruk Alfero.

Dua hari sebelumnya, Rabu (21/1) malam, Satuan Sabhara Polrestabes Surabaya juga menggelar razia dipimpin Aiptu M Solikhan. Pada malam itu, tim Tipiring Satsabahara berhasil mengamankan tujuh orang kebanyakan adalah pengamen yang biasa memangkal di beberapa lokasi di Surabaya.

Ketujuh anak jalanan itu diamankan di dua tempat berbeda, yaitu di Jalan Pucang dan Jalan Ngagel Surabaya. Kepada ketujuh orang tersebut juga diberikan pembinaan dan pengarahan oleh Satsabhara Polrestabes Surabaya dan akan dikembalikan kepada pihak keluarganya mengingat ketujuh anak rata-rata masih remaja.

”Penertiban semacam ini akan terus digelar guna mengurangi aksi premanisme yang meresahkan warga. Dengan begitu diharapkan tidak ada lagi keluhan warga mengenai aksi premanisme yang terjadi di sekitar mereka,” kata Kasat Sabhara AKBP Gatot Repli.

Mengenal Preman

Menarik jika kita mencoba menanyakan yang sesungguhnya preman itu seperti apa? Apakah para pengamen, penjual koran, pedagang asongan, pencopet, penjambret, perampas dan lainnya? Masyarakat dengan sederhana mengartikan preman adalah pelaku kejahatan yang ada di jalanan dan bertampang seram.

”Masyarakat kita itu tahu preman adalah penjahat bertampang seram. Kebanyakan seperti itu, tapi tentu tidak semua masyarakat mengartikan preman sesederhana itu,” kata Sosiolog Andri Arianto MA.

Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel ini menerangkan, jika menurut Prof Koentjoro Ph.D, definisi premanisme adalah segala tindakan melawan aturan, vandalisme (perilaku atau perbuatan merusak, menghancurkan secara kasar dan biadab), tindakan brutal, dan merupakan perilaku tidak cerdas yang kebanyakan dengan menggunakan kekuatan (uang, pengaruh, massa, dll) untuk mendapatkan tujuan tertentu dengan mengabaikan konsensus bersama.

Sementara Ulung Koeshendratmoko berpendapat, ada beberapa kategori preman yang hidup dan berkembang di masyarakat, mulai dari preman tingkat bawah, menengah, atas dan kalangan elite. Untuk kelas pertama, penampilannya dekil, bertato, dan berambut gondrong.

Mereka spesialis tindak kriminal ringan. Untuk kelas menengah lebih rapi dan juga mempunyai pendidikan cukup. Mereka biasa bekerja dengan suatu organisasi secara formal atau legal. Mereka preman yang disewa oleh lembaga perbankan untuk menagih hutang nasabah, semisal agen debt collector .

Preman kelas atas adalah kelompok organisasi yang berlindung di balik parpol atau organisasi massa, bahkan berlindung di balik agama tertentu. Untuk tingkat elite ditempati oknum aparat yang menjadi tameng perilaku premanisme. Kepremanan mereka biasanya tidak tampak karena mereka adalah aktor intelektual premanisme.

”Jika merujuk pada pengertian- pengertian tersebut, barang kali Operasi Cempaka akan dinilai kurang efektif karena yang diamankan hanya para pengamen atau orangorang jalanan yang hanya tidak bisa menunjukkan kartu identitas. Pokoknya yang dianggap mencurikan diamankan, meski sering kali kecurigaan itu tidak kuat dasarnya,” ujar pria asli Surabaya ini.

Menyoal Efektivitas Razia

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Gitadi Tegas S mengaku, cukup mengapresiasi pelaksanaan razia preman. Namun, Gitadi mengaku pesimistis bisa berhasil menjaring preman sesungguhnya.

Ia menilai seharusnya kepolisian memantau ada komplotan preman di kota, seperti Surabaya yang sudah sangat terorganisasi. Misalnya, komplotan preman yang menguasai lahan parkir di beberapa titik di Surabaya. ”Seharusnya kan polisi sudah mengetahui ada komplotan ini,” ucapnya.

Razia semacam ini tidak akan bertahan lama karena tidak terkonsep baik dan tidak terintegrasi. ”Gerakan atau razia- razia preman yang sekarang dilakukan hanya parsial, sesaat saja. Padahal kalau mau efektif, harusnya didesain dengan benar dan terintegrasi dengan dinas-dinas lain,” kata Dosen Kebijakan Publik Unair ini.

Gitadi berharap kepolisian segera mengonsep gerakan ini dengan baik karena berkaitan terhadap masalah kepercayaan dan citra polisi di masyarakat. Ia juga menilai jika polisi mengamankan orang tidak membawa KTP ketika dirazia, Gitadi memandang hal tersebut kurang tepat.

KTP seharusnya menjadi kewenangan pemerintah kota. Kalaupun polisi melakukan razia KTP bisa dilakukan secara terintegrasi dengan dinas kependudukan. Bisa juga kepolisian hanya menginformasikan ada warga yang tidak ber- KTP ke dinas kependudukan.

Sementara HNF, salah satu dedengkot preman yang menguasai sebagian wilayah di Surabaya timur menyatakan, operasi semacam itu kebanyakan hanya mengamankan pengamen atau orang-orang jalanan.

”Kalau yang preman sebenarnya ya sudah tiarap dulu. Nanti keluar lagi setelah razia selesai digelar. Sing kenek yo paling preman anyaran , Cak,” katanya sambil meminta namanya dirahasiakan.

Zaki Zubaidi
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7479 seconds (0.1#10.140)