Perda RTRW Picu Perang Dingin
A
A
A
JEMBER - Penetapan Raperda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) berbuntut panjang.
Meski kemarin, DPRD Jember berhasil menetapkan dan mengesahkan Perda RTRW, tapi saat sidang paripurna tidak tampak batang hidung Bupati Jember MZA Djalal bersama pejabat pemkab lainnya. Pihak eksekutif seolah “perang dingin” dengan cara memboikot sidang paripurna di Gedung DPRD Jember itu.
Sesuai agenda sidang paripurna rencananya digelar pukul 13.00 WIB. Namun di Kantor Pemkab Jember, Bupati Djalal mendahului dengan menggelar pers rilis kepada wartawan. Dalam pernyataannya, Djalal sengaja dan sadar tidak mau menghadiri sidang paripurna penetapan RTRW menjadi perda.
Djalal beralasan jika raperda tersebut secara mekanisme, prosedur, dan substansi, tidak sesuai dengan berbagai peraturan perundangan yang ada di atasnya. Dia ingin perda itu ditetapkan dengan baik dan benar. “Saya Bupati Jember sengaja dan sadar tidak hadir dalam rapat itu,” ujar Djalal.
Dirinya pun sudah mengirimkan penundaan terkait sidang ini ke Pimpinan DPRD Jember pada 19 Januari 2015. Dirinya mengatakan penundaan itu karena menunggu balasan surat dari gubernur terkait surat yang sudah dikirimkan bupati sebelumnya. Surat balasan pun baru diterima.
Apalagi sebenarnya sudah ada gentlemen agreement dengan empat pimpinan DPRD Jember agar semua pihak cooling down hingga menunggu surat balasan dari Gubernur Jawa Timur. Dirinya pun mengaku kaget saat mendapatkan surat undangan itu.
“Seharusnya surat perjanjian antarpejabat negara itu dihormati,” kata Djalal. Tetapi yang terjadi, ternyata DPRD Jember sudah menetapkan sidang paripurna meski belum mendapatkan balasan surat dari gubernur. Djalal menerangkan mulai awal tidak ada niat atau itikad akan tidak hadir apalagi mengulur-ulur waktu penetapan Perda RTRW. “Tidak ada dalam benak kami untuk tidak segera menetapkan raperda RTRW menjadi perda,” kata Djalal, kemarin.
Perang dingin ini terkait dengan pasal tambang mineral dan logam. Djalal mengatakan sudah memberikan peringatan kepada DPRD Jember terkait hal tersebut. Pasalnya, keputusan itu dianggap Djalal tidak mengikuti aturan dan perundang-undangan yang ada di atasnya. “Kami ini bukan di negara Jember, tidak bisa berdiri sendiri. Tapi sebagai bagian NKRI,” kata Djalal.
Djalal mengatakan, jika penyusunan dan penetapan Perda RTRW berbeda dengan perda lainnya. Karena ada perda yang otoritas daerah, yakni cukup persetujuan DPRD dan bupati, seperti Perda Pasar Modern. Ada juga perda inisiatif daerah yang harus berkonsultasi dengan pusat, seperti APBD. “Tapi untuk Perda RTRW ini istimewa,” kata Djalal.
Untuk mekanisme penyusunan Perda RTRW sudah diatur rinci dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28/- 2008 karena dalam aturan itu ada tahapan konsultasi dengan pemerintah pusat dan provinsi sebelum raperda RTRW disahkan menjadi Perda RTRW. Konsultasi itu perlu dilakukan sebelum ada persetujuan kemudian dikoreksi dan dievaluasi setelah itu ditetapkan.
Lebih jauh Djalal menjelaskan, dalam Permendagri No 28/2008 itu jelas menyebutkan konsekuensi jika Perda RTRW kabupaten yang tidak sesuai dengan arahan gubernur, maka gubernur selaku kepanjangan dari pemerintah pusat tidak lagi memberikan saran. Apalagi jika ada unsur kesengajaan tidak mengindahkan konsultasi.
“Di mana bisa saja muncul keputusan gubernur membatalkan Perda RTRW kabupaten. Jika dibatalkan tentu akan mulai dari nol lagi,” kata Djalal. Gedung DPRD Jember, sidang paripurna penetapan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tetap digelar meski tanpa kehadiran Bupati Jember MZA Djalal.
Akhirnya, sidang yang dipimpin Ketua DPRD Jember Ayub Junaidi memutuskan penetapan dilakukan dengan voting karena tidak ada kesepakatan antara anggota dewan. Dalam voting pertama ditemukan jika 29 anggota dewan menerima penetapan perda sesuai pansus, empat menolak, dan 20 abstain.
Namun, lagi-lagi voting harus diulang karena belum ada kesepahaman dari anggota dewan terkait Perda RTRW ini. Saat diulang voting hasilnya berbeda. Bahkan yang menerima menjadi 39 anggota, tiga konsisten menolak, dan hanya empat abstain alias tidak memilih.
Dengan penetapan ini, jalan panjang raperda RTRW menemui ujung. “Dengan keputusan ini, tugas kami secara politis selesai,” tutur Ayub Junaidi.
P Juliatmoko
Meski kemarin, DPRD Jember berhasil menetapkan dan mengesahkan Perda RTRW, tapi saat sidang paripurna tidak tampak batang hidung Bupati Jember MZA Djalal bersama pejabat pemkab lainnya. Pihak eksekutif seolah “perang dingin” dengan cara memboikot sidang paripurna di Gedung DPRD Jember itu.
Sesuai agenda sidang paripurna rencananya digelar pukul 13.00 WIB. Namun di Kantor Pemkab Jember, Bupati Djalal mendahului dengan menggelar pers rilis kepada wartawan. Dalam pernyataannya, Djalal sengaja dan sadar tidak mau menghadiri sidang paripurna penetapan RTRW menjadi perda.
Djalal beralasan jika raperda tersebut secara mekanisme, prosedur, dan substansi, tidak sesuai dengan berbagai peraturan perundangan yang ada di atasnya. Dia ingin perda itu ditetapkan dengan baik dan benar. “Saya Bupati Jember sengaja dan sadar tidak hadir dalam rapat itu,” ujar Djalal.
Dirinya pun sudah mengirimkan penundaan terkait sidang ini ke Pimpinan DPRD Jember pada 19 Januari 2015. Dirinya mengatakan penundaan itu karena menunggu balasan surat dari gubernur terkait surat yang sudah dikirimkan bupati sebelumnya. Surat balasan pun baru diterima.
Apalagi sebenarnya sudah ada gentlemen agreement dengan empat pimpinan DPRD Jember agar semua pihak cooling down hingga menunggu surat balasan dari Gubernur Jawa Timur. Dirinya pun mengaku kaget saat mendapatkan surat undangan itu.
“Seharusnya surat perjanjian antarpejabat negara itu dihormati,” kata Djalal. Tetapi yang terjadi, ternyata DPRD Jember sudah menetapkan sidang paripurna meski belum mendapatkan balasan surat dari gubernur. Djalal menerangkan mulai awal tidak ada niat atau itikad akan tidak hadir apalagi mengulur-ulur waktu penetapan Perda RTRW. “Tidak ada dalam benak kami untuk tidak segera menetapkan raperda RTRW menjadi perda,” kata Djalal, kemarin.
Perang dingin ini terkait dengan pasal tambang mineral dan logam. Djalal mengatakan sudah memberikan peringatan kepada DPRD Jember terkait hal tersebut. Pasalnya, keputusan itu dianggap Djalal tidak mengikuti aturan dan perundang-undangan yang ada di atasnya. “Kami ini bukan di negara Jember, tidak bisa berdiri sendiri. Tapi sebagai bagian NKRI,” kata Djalal.
Djalal mengatakan, jika penyusunan dan penetapan Perda RTRW berbeda dengan perda lainnya. Karena ada perda yang otoritas daerah, yakni cukup persetujuan DPRD dan bupati, seperti Perda Pasar Modern. Ada juga perda inisiatif daerah yang harus berkonsultasi dengan pusat, seperti APBD. “Tapi untuk Perda RTRW ini istimewa,” kata Djalal.
Untuk mekanisme penyusunan Perda RTRW sudah diatur rinci dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28/- 2008 karena dalam aturan itu ada tahapan konsultasi dengan pemerintah pusat dan provinsi sebelum raperda RTRW disahkan menjadi Perda RTRW. Konsultasi itu perlu dilakukan sebelum ada persetujuan kemudian dikoreksi dan dievaluasi setelah itu ditetapkan.
Lebih jauh Djalal menjelaskan, dalam Permendagri No 28/2008 itu jelas menyebutkan konsekuensi jika Perda RTRW kabupaten yang tidak sesuai dengan arahan gubernur, maka gubernur selaku kepanjangan dari pemerintah pusat tidak lagi memberikan saran. Apalagi jika ada unsur kesengajaan tidak mengindahkan konsultasi.
“Di mana bisa saja muncul keputusan gubernur membatalkan Perda RTRW kabupaten. Jika dibatalkan tentu akan mulai dari nol lagi,” kata Djalal. Gedung DPRD Jember, sidang paripurna penetapan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tetap digelar meski tanpa kehadiran Bupati Jember MZA Djalal.
Akhirnya, sidang yang dipimpin Ketua DPRD Jember Ayub Junaidi memutuskan penetapan dilakukan dengan voting karena tidak ada kesepakatan antara anggota dewan. Dalam voting pertama ditemukan jika 29 anggota dewan menerima penetapan perda sesuai pansus, empat menolak, dan 20 abstain.
Namun, lagi-lagi voting harus diulang karena belum ada kesepahaman dari anggota dewan terkait Perda RTRW ini. Saat diulang voting hasilnya berbeda. Bahkan yang menerima menjadi 39 anggota, tiga konsisten menolak, dan hanya empat abstain alias tidak memilih.
Dengan penetapan ini, jalan panjang raperda RTRW menemui ujung. “Dengan keputusan ini, tugas kami secara politis selesai,” tutur Ayub Junaidi.
P Juliatmoko
(ftr)