Layanan Kesehatan Kapan Berbenah?
A
A
A
Solihin, 66, berjalan terengah-engah ke area parkir instalasi rawat jalan RSU dr Soetomo. Tubuhnya yang mulai renta membuatnya sedikit sempoyongan.
Karena itu, map cokelat berisi hasil foto rontgen dan berkas rujukan dari puskesmas jatuh dan tercecer. Rupanya, Solihin hilang keseimbangan sehingga tas digenggamannya lepas. “Atos-atos mbah(Hati-hati Kek),” teriak ibu muda sambil membantu mengambilkan berkas Solihin yang tercecer. Pagi itu, jarum jam masih menunjuk angka 06.00 WIB.
Namun, pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) ini terlihat tergesa-gesa untuk bisa sampai di parkiran itu. Di sana rupanya ada perempuan penjual minuman ringan yang sudah menunggu. Solihin datang bukan untuk membeli minuman, tetapi meminta bantuan penjual minuman ringan itu untuk mengambil nomor antrean.
Solihin menyodorkan uang jasa antre Rp20.000 dan si perempuan itu menerobosmasuk ke barisan antrean calon pasien. “Sudah tua, enggak kuat kalau harus berdiri lama seperti mereka. Apalagi harus berdesak-desakan seperti itu,” ujarnya.
Begitulah sejak pagi buta antrean calon pasien rawat jalan di RSU dr Soetomo sudah mengular, kendati layanan belum buka. Ini terjadi karena jumlah calon pasien yang membludak setiap hari. Solihin misalnya, meski sudah datang sepagi itu, urutan nomor antrean yang tersisa sudah pada angka ratusan. “Saya pernah datang pukul 06.30 WIB. Ternyata dapat nomor urut 900,” katanya.
Mendapat nomor antrean itu tidak lantas membuat Solihin langsung bisa dilayani. Dia harus duduk dan menunggu proses registrasi di loket layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga berjam-jam lamanya. Ini terjadi karena ribuan calon pasien itu hanya mengantre di satu loket. Kendati ada tujuh loket tersedia, tapi hanya satu loket yang buka.
Sementara keenam loket lainnya buka bertahap sampai pukul 08.00 WIB. Loket JKN ini wajib dilalui oleh seluruh pasien. Sebab di loket ini, petugas JKN mengecek kelengkapan persyaratan, mulai dari rujukan dari puskesmas hingga kartu kesehatan yang dibawa pasien. Apakah mereka pemegang kartu BPJS maupun Askes. “Kalau sudah registrasi seperti ini tinggal jalan saja ke ruang perawatan, walaupun harus menunggu lama,” katanya.
Meskipun jam praktik dokter adalah pukul 07.00 WIB, namun faktanyamereka sering kali datang di atas pukul 09.00 WIB. Hal ini yang mengakibatkan layanan molor. Tak jarang pasien kelelahan dan bertambah sakit karena harus menunggu. Solihin mengaku pernah memprotes lambannya pelayanan itu.
Namun, petugas berdalih bahwa dokter masih mengecek pasien di tempat lain. “Akhirnya, ya pasrah saja mas. Mungkin sudah nasibnya begini menjadi pasien JKN seperti kami. Kalau saja punya uang, kami memilih berobat ke RS swasta,” ucapnya. Apa yang dialami Solihin di instalasi rawat jalan ini hanya satu di antara sekian kelemahan layanan publik rumah sakit di Jawa Timur.
Di tempat lain, buruknya layanan juga masih banyak ditemukan. Tidak hanya pada layanan kesehatan, tetapi juga layanan publik lainnya, seperti perizinan, layanan kependudukan, maupun lainnya. B erdasarkan hasil pendataan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jatim dalam satu tahun terakhir misalnya, ada 608 pengaduan tahun 2014.
Dari jumlah tersebut, mayoritas didominasi layanan kesehatan atau penyelenggaraan BPJS. “Problemnya beragam. Selain layanan yang lamban. Di pusat-pusat layanan juga masih banyak calo. Belum lagi layanan yang belum terintegrasi secara online,” kata Komisioner KPP Jatim Nuning Rodliyah.
Khusus untuk layanan kesehatan (JKN), Nung menilai, masih banyak pasien, petugas, perawat, dan dokter belum mengetahui tentang JKN. Misalnya, bagaimana prosedur pendaftaran, mekanisme mendapatkan layanan, juga masih banyak yang belum tahu. Ini terjadi karena sosialisasi tentang regulasi BPJS tidak maksimal.
Imbas dari problem itu, masyarakat tidak terlayani dengan baik. Bahkan, tak jarang juga ditemukan masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan. Kondisi ini terjadi karena sistem pendaftaran belum terintegrasi secara onlinedengan seluruh fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS. Belum lagi, akses online juga terkadang terhambat. “Yang memprihatinkan, layanan kesehatan yang diberikan juga belum sesuai dengan auran,” katanya.
Direktur RSU dr Soetomo, Dodo Anondo mengakui, banyaknya antrean pasien di rumah sakit yang dia pimpin. Hanya dia berdalih bahwa hal itu terjadi karena jumlah pasien terlalu banyak. Dalam satu hari misalnya, rata-rata pasien yang datang mencapai 4000 orang. “Ini terjadi karena semua menyerbu RSU dr Soetomo. Pasien yang mestinya cukup dilayani di puskesmas, ternyata meminta rujukan ke sini (RSU dr Soetomo),” katanya.
Ketua KPP Jatim Nuning Rodliyah mengakui hal itu. Namun, baginya kesalahan-kesalahan tersebut sering juga muncul karena kesalahan rumah sakit sendiri. Sebagai bukti banyak pasien meminta rujukan sesuai keinginan pasien, bukan berdasarkan diagnosa dokter.
Tak hanya itu, rumah sakit juga tidak membekali pasien dengan surat mekanisme rujukan parsial. Bahkan kadang rumah sakit belum memberikan surat rujuk balik atau surat perawatan lanjutan ketika pasien menggunakan layanan fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL).
“Itu sebabnya, banyak pasien bingung,” ujarnya. Menurut Nuning, perlu disosialisasikan secara masif kepada seluruh stakeholdersehingga tidak ada lagi pasien bingung, salah memilih rumah sakit, atau munculnya antrean panjang berimbas pada buruknya layanan.
Perlu Inovasi Layanan Publik
Layanan publik pada rumah sakit maupun layanan publik lainnya, sekiranya perlu mencontoh layanan di kantor bersama Samsat di Manyar. Lewat inovasi teknologi informasi (TI), seluruh layanan pembayaran pajak di kantor ini bisa dilakukan dengan cepat dan mudah.
Diketahui beberapa waktu lalu, Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Provinsi Jatim telah meluncurkan program ATM Samsat, yakni mesin pelayanan menggunakan media Smart Card yang digunakan wajib pajak untuk bertransaksi pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), dan pengesahan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) tahunan.
Dengan begitu, wajib pajak tidak lagi mengantre atau menunggu lama hanya untuk sekadar membayar. Tak hanya itu, para wajib pajak juga tidak perlu bertatap muka dengan petugas yang berpotensi memunculkan kecurangan. Lebih jauh, layanan model ini juga tidak terbatas waktu dan jarak.
Sebab wajib pajak bisa bertransaksi kapan pun dan di mana pun. Ini karena layanan telah bekerja sama dengan perbankan secara onlinedan terintegrasi. Direktur RSU dr Soetomo, Dodo Anondo mengakui, model layanan berbasis TI memang sangat membantu. Namun, untuk layanan kesehatan masih belum bisa sekalipun untuk sekadar pendaftaran online. Alasannya, sejumlah peranti dan regulasi belum mendukung. “Mimpi kita seperti itu. Tetapi ini perlu waktu,” katanya.
Kendati demikian, pihaknya sudah mulai membenahi pelayanan. Pada 2015 nanti misalnya, loket pendaftaran akan diperbanyak. Dari sebelumnya tujuh loket ditambah menjadi 15 loket. “Jam buka juga harus serempak pada pukul 07.00 WIB, sehingga antrean panjang bisa dikurangi,” katanya.
Sementara itu, agar pasien tidak bergerombol dan berdesakan, loket pendaftaran akan ditempatkan di luar (depan) dan tidak di dalam ruangan seperti yang terjadi saat ini. “Instalasi rawat jalan akan kami revitalisasi untuk memudahkan layanan,” katanya.
Lebih jauh pihaknya juga akan menyiapkan loket layanan khusus bagi pasien usia lanjut. Tujuannya agar mereka tidak lagi bercampur dan berdesakan dengan pasien umum lainnya. “Ini peningkatan layanan yang tengah kami rumuskan,” ujarnya.
Dodo menjelaskan, RSU dr Soetomo adalah rumah sakit terakreditasi A secara nasional. Bahkan, dalam waktu dekat standarnya juga akan dinaikkan menjadi internasional sehingga tidak mungkin bila layanan di sana dibuat buruk.
“Yang tak kalah penting bagi kami adalah memperbaiki sistem rujukan, sehingga tidak semua pasien harus datang ke RSU dr Soetomo. Tetapi cukup ke puskesmas atau rumah sakit daerah. Disesuaikan dengan tingkat (kondisi) sakit pasien,” ungkapnya.
Terkait hal itu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyampaikan komitmennya melakukan pembenahan. Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) misalnya, seluruh unit pelayanan diharapkan mampu membuat inovasi berbasis TI.
Menurut Soekarwo, pada era MEA, seluruh negara berlomba- lomba memberikan “kepuasan” kepada masyarakat melalui pelayanan publik yang mudah, murah, cepat, dan transparan. Hal tersebut hanya bisa dicapai melalui TI.
Selain pembangunan berbasis TI, yang paling krusial adalah pembangunan etika dan moralitas. Sebab keduanya adalah roh leadership. Sementara leadershipberpengaruh 50% terhadap kesuksesan manajemen. Artinya, moralitas itu yang menentukan dalam manajemen.
Persoalan seperti leadership, IT, dan pelayanan kesehatan, ini yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah pada saat berlakunya MEA 2015. Sebuah pekerjaan yang hanya bisa dilakukan apabila ada niat dan kesungguhan melayani rakyat sebaik- baiknya.
Ihya’ Ulumuddin
Karena itu, map cokelat berisi hasil foto rontgen dan berkas rujukan dari puskesmas jatuh dan tercecer. Rupanya, Solihin hilang keseimbangan sehingga tas digenggamannya lepas. “Atos-atos mbah(Hati-hati Kek),” teriak ibu muda sambil membantu mengambilkan berkas Solihin yang tercecer. Pagi itu, jarum jam masih menunjuk angka 06.00 WIB.
Namun, pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) ini terlihat tergesa-gesa untuk bisa sampai di parkiran itu. Di sana rupanya ada perempuan penjual minuman ringan yang sudah menunggu. Solihin datang bukan untuk membeli minuman, tetapi meminta bantuan penjual minuman ringan itu untuk mengambil nomor antrean.
Solihin menyodorkan uang jasa antre Rp20.000 dan si perempuan itu menerobosmasuk ke barisan antrean calon pasien. “Sudah tua, enggak kuat kalau harus berdiri lama seperti mereka. Apalagi harus berdesak-desakan seperti itu,” ujarnya.
Begitulah sejak pagi buta antrean calon pasien rawat jalan di RSU dr Soetomo sudah mengular, kendati layanan belum buka. Ini terjadi karena jumlah calon pasien yang membludak setiap hari. Solihin misalnya, meski sudah datang sepagi itu, urutan nomor antrean yang tersisa sudah pada angka ratusan. “Saya pernah datang pukul 06.30 WIB. Ternyata dapat nomor urut 900,” katanya.
Mendapat nomor antrean itu tidak lantas membuat Solihin langsung bisa dilayani. Dia harus duduk dan menunggu proses registrasi di loket layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga berjam-jam lamanya. Ini terjadi karena ribuan calon pasien itu hanya mengantre di satu loket. Kendati ada tujuh loket tersedia, tapi hanya satu loket yang buka.
Sementara keenam loket lainnya buka bertahap sampai pukul 08.00 WIB. Loket JKN ini wajib dilalui oleh seluruh pasien. Sebab di loket ini, petugas JKN mengecek kelengkapan persyaratan, mulai dari rujukan dari puskesmas hingga kartu kesehatan yang dibawa pasien. Apakah mereka pemegang kartu BPJS maupun Askes. “Kalau sudah registrasi seperti ini tinggal jalan saja ke ruang perawatan, walaupun harus menunggu lama,” katanya.
Meskipun jam praktik dokter adalah pukul 07.00 WIB, namun faktanyamereka sering kali datang di atas pukul 09.00 WIB. Hal ini yang mengakibatkan layanan molor. Tak jarang pasien kelelahan dan bertambah sakit karena harus menunggu. Solihin mengaku pernah memprotes lambannya pelayanan itu.
Namun, petugas berdalih bahwa dokter masih mengecek pasien di tempat lain. “Akhirnya, ya pasrah saja mas. Mungkin sudah nasibnya begini menjadi pasien JKN seperti kami. Kalau saja punya uang, kami memilih berobat ke RS swasta,” ucapnya. Apa yang dialami Solihin di instalasi rawat jalan ini hanya satu di antara sekian kelemahan layanan publik rumah sakit di Jawa Timur.
Di tempat lain, buruknya layanan juga masih banyak ditemukan. Tidak hanya pada layanan kesehatan, tetapi juga layanan publik lainnya, seperti perizinan, layanan kependudukan, maupun lainnya. B erdasarkan hasil pendataan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jatim dalam satu tahun terakhir misalnya, ada 608 pengaduan tahun 2014.
Dari jumlah tersebut, mayoritas didominasi layanan kesehatan atau penyelenggaraan BPJS. “Problemnya beragam. Selain layanan yang lamban. Di pusat-pusat layanan juga masih banyak calo. Belum lagi layanan yang belum terintegrasi secara online,” kata Komisioner KPP Jatim Nuning Rodliyah.
Khusus untuk layanan kesehatan (JKN), Nung menilai, masih banyak pasien, petugas, perawat, dan dokter belum mengetahui tentang JKN. Misalnya, bagaimana prosedur pendaftaran, mekanisme mendapatkan layanan, juga masih banyak yang belum tahu. Ini terjadi karena sosialisasi tentang regulasi BPJS tidak maksimal.
Imbas dari problem itu, masyarakat tidak terlayani dengan baik. Bahkan, tak jarang juga ditemukan masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan. Kondisi ini terjadi karena sistem pendaftaran belum terintegrasi secara onlinedengan seluruh fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS. Belum lagi, akses online juga terkadang terhambat. “Yang memprihatinkan, layanan kesehatan yang diberikan juga belum sesuai dengan auran,” katanya.
Direktur RSU dr Soetomo, Dodo Anondo mengakui, banyaknya antrean pasien di rumah sakit yang dia pimpin. Hanya dia berdalih bahwa hal itu terjadi karena jumlah pasien terlalu banyak. Dalam satu hari misalnya, rata-rata pasien yang datang mencapai 4000 orang. “Ini terjadi karena semua menyerbu RSU dr Soetomo. Pasien yang mestinya cukup dilayani di puskesmas, ternyata meminta rujukan ke sini (RSU dr Soetomo),” katanya.
Ketua KPP Jatim Nuning Rodliyah mengakui hal itu. Namun, baginya kesalahan-kesalahan tersebut sering juga muncul karena kesalahan rumah sakit sendiri. Sebagai bukti banyak pasien meminta rujukan sesuai keinginan pasien, bukan berdasarkan diagnosa dokter.
Tak hanya itu, rumah sakit juga tidak membekali pasien dengan surat mekanisme rujukan parsial. Bahkan kadang rumah sakit belum memberikan surat rujuk balik atau surat perawatan lanjutan ketika pasien menggunakan layanan fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL).
“Itu sebabnya, banyak pasien bingung,” ujarnya. Menurut Nuning, perlu disosialisasikan secara masif kepada seluruh stakeholdersehingga tidak ada lagi pasien bingung, salah memilih rumah sakit, atau munculnya antrean panjang berimbas pada buruknya layanan.
Perlu Inovasi Layanan Publik
Layanan publik pada rumah sakit maupun layanan publik lainnya, sekiranya perlu mencontoh layanan di kantor bersama Samsat di Manyar. Lewat inovasi teknologi informasi (TI), seluruh layanan pembayaran pajak di kantor ini bisa dilakukan dengan cepat dan mudah.
Diketahui beberapa waktu lalu, Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Provinsi Jatim telah meluncurkan program ATM Samsat, yakni mesin pelayanan menggunakan media Smart Card yang digunakan wajib pajak untuk bertransaksi pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), dan pengesahan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) tahunan.
Dengan begitu, wajib pajak tidak lagi mengantre atau menunggu lama hanya untuk sekadar membayar. Tak hanya itu, para wajib pajak juga tidak perlu bertatap muka dengan petugas yang berpotensi memunculkan kecurangan. Lebih jauh, layanan model ini juga tidak terbatas waktu dan jarak.
Sebab wajib pajak bisa bertransaksi kapan pun dan di mana pun. Ini karena layanan telah bekerja sama dengan perbankan secara onlinedan terintegrasi. Direktur RSU dr Soetomo, Dodo Anondo mengakui, model layanan berbasis TI memang sangat membantu. Namun, untuk layanan kesehatan masih belum bisa sekalipun untuk sekadar pendaftaran online. Alasannya, sejumlah peranti dan regulasi belum mendukung. “Mimpi kita seperti itu. Tetapi ini perlu waktu,” katanya.
Kendati demikian, pihaknya sudah mulai membenahi pelayanan. Pada 2015 nanti misalnya, loket pendaftaran akan diperbanyak. Dari sebelumnya tujuh loket ditambah menjadi 15 loket. “Jam buka juga harus serempak pada pukul 07.00 WIB, sehingga antrean panjang bisa dikurangi,” katanya.
Sementara itu, agar pasien tidak bergerombol dan berdesakan, loket pendaftaran akan ditempatkan di luar (depan) dan tidak di dalam ruangan seperti yang terjadi saat ini. “Instalasi rawat jalan akan kami revitalisasi untuk memudahkan layanan,” katanya.
Lebih jauh pihaknya juga akan menyiapkan loket layanan khusus bagi pasien usia lanjut. Tujuannya agar mereka tidak lagi bercampur dan berdesakan dengan pasien umum lainnya. “Ini peningkatan layanan yang tengah kami rumuskan,” ujarnya.
Dodo menjelaskan, RSU dr Soetomo adalah rumah sakit terakreditasi A secara nasional. Bahkan, dalam waktu dekat standarnya juga akan dinaikkan menjadi internasional sehingga tidak mungkin bila layanan di sana dibuat buruk.
“Yang tak kalah penting bagi kami adalah memperbaiki sistem rujukan, sehingga tidak semua pasien harus datang ke RSU dr Soetomo. Tetapi cukup ke puskesmas atau rumah sakit daerah. Disesuaikan dengan tingkat (kondisi) sakit pasien,” ungkapnya.
Terkait hal itu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyampaikan komitmennya melakukan pembenahan. Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) misalnya, seluruh unit pelayanan diharapkan mampu membuat inovasi berbasis TI.
Menurut Soekarwo, pada era MEA, seluruh negara berlomba- lomba memberikan “kepuasan” kepada masyarakat melalui pelayanan publik yang mudah, murah, cepat, dan transparan. Hal tersebut hanya bisa dicapai melalui TI.
Selain pembangunan berbasis TI, yang paling krusial adalah pembangunan etika dan moralitas. Sebab keduanya adalah roh leadership. Sementara leadershipberpengaruh 50% terhadap kesuksesan manajemen. Artinya, moralitas itu yang menentukan dalam manajemen.
Persoalan seperti leadership, IT, dan pelayanan kesehatan, ini yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah pada saat berlakunya MEA 2015. Sebuah pekerjaan yang hanya bisa dilakukan apabila ada niat dan kesungguhan melayani rakyat sebaik- baiknya.
Ihya’ Ulumuddin
(ftr)