Bengawan Solo Riwayatmu Kini
A
A
A
BENGAWAN Solo, riwayatmu ini, sedari dulu jadi, perhatian insani. Musim kemarau, tak s’brapa airmu, di musim hujan air meluap sampai jauh.Seperti lirik lalu ciptaan Gesang, jika tidak dikelola dengan baik, Sungai Bengawan Solo bisa menciptakan banjir di sepanjang alirannya.
Sungai Bengawan Solo yang mengalir dari hulu di Jawa Tengah (Jateng) dan hilir di Jawa Timur (Jatim) menyimpan kekayaan yang seolah tidak habis diambil. Pasir di dasar sungai itu dikeduk untuk material, endapan lumpurnya diambil untuk membuat batu bata merah, dan airnya diolah untuk kebutuhan air minum dan keperluan industri.
Beraneka macam ikan yang hidup di sungai itu juga dijaring para nelayan dan dijual di pasar tradisional dan warung makan. Namun, Sungai Bengawan Solo juga menebar ancaman. Setiap kali musim hujan, warga yang tinggal di sepanjang bantaran sungai di wilayah Bojonegoro dan Tuban sering merasa waswas.
Sebab, air sungai sering meluap menggenangi permukiman warga, gedung sekolah, jalan, dan areal persawahan. Warga juga terpaksa mengungsi beberapa hari di tanggultanggul dan tempat-tempat pengungsian. Setiap kali musim hujan, hampir bisa dipastikan banjir luapan Bengawan Solo dan anak sungainya melanda wilayah Bojonegoro dan Tuban. Bukan hanya kerugian material yang ditimbulkan, sering kali banjir luapan Bengawan Solo juga merenggut korban jiwa.
Banjir luapan Bengawan Solo seolah tidak bisa dihindari. Kerusakan hutan dan berkurangnya daerah resapan air di daerah hulu dan hilir sungai menjadi salah satu penyebab timbulnya banjir. Lalu, upaya apa yang telah dilakukan daerah di hilir sungai untuk menghadapi banjir luapan Bengawan Solo tahun ini?
Menurut Kepala Seksi Operasi UPT Pengelolaan Sumber Daya Air, Balai Besar Bengawan Solo, Dinas Pengairan Provinsi Jawa Timur, di Bojonegoro Mucharom, wilayah hilir Sungai Bengawan Solo yang sering dilanda banjir yaitu Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik. Untuk mengantisipasi banjir, kata dia, dilakukan pemantauan tinggi muka air di daerah hulu sungai, yakni di Dungus (Ngawi) dan Karangnongko (wilayah barat Bojonegoro).
Selain itu, pemantauan tinggi muka air juga dilakukan di daerah hilir, yakni di papan duga dekat Pasar Besar Bojonegoro. “Pemantauan tinggi muka air kini dilakukan setiap tiga jam sekali,” ujarnya. Menurut Mucharom, jika air di hulu sungai cukup tinggi dan dinyatakan siaga, akan disampaikan kepada pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di daerah hilir sungai agar segera bersiap menghadapi banjir.
Perjalanan air dari daerah hulu sungai di Karangnongko hingga di Kota Bojonegoro sekitar 14–15 jam. Menurutnya, banjir luapan Bengawan Solo biasanya terjadi karena kondisi tertentu. Di antaranya, terjadinya curah hujan cukup tinggi di daerah hulu sehingga menimbulkan banjir kiriman ke daerah hilir. Sementara pada saat bersamaan, kondisi air laut sedang pasang.
Akibatnya, air bah dari Bengawan Solo tidak dapat mengalir lancar masuk ke laut, tetapi menggenang lama di daerah Bojonegoro, Lamongan dan Gresik. “Lama genangan banjir di daerah hilir sungai itu bisa berharihari, tergantung kondisi pasang surut air laut,” ucapnya.
Menurut Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bojonegoro Andik Sudjarwo, berbagai persiapan telah dilakukan untuk menghadapi datangnya banjir luapan Bengawan Solo di wilayah Bojonegoro, di antaranya kesiapan personel tanggap darurat bencana, peralatan, dan logistik. “Logistik, seperti beras, selimut, terpal, kasur, sudah didistribusikan di titik-titik pengungsian. Dengan begitu, sewaktu-waktu terjadi banjir tidak lagi kerepotan pendistribusian logistik,” ujarnya.
Dia mengatakan, berdasarkan perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jawa Timur, curah hujan di wilayah Bojonegoro cukup tinggi terjadi pada Desember 2014 hingga Januari 2015. Hampir sama nasibnya dengan Bojonegoro, salah satu daerah yang juga dilalui Bengawan Solo adalah Kabupaten Ngawi. Ngawi bahkan memiliki catatan bencana banjir yang hampir selalu terulang setiap musim hujan tiba.
Tiga sungai yang bertemu membuat volume air menumpuk di Ngawi. Ketiga sungai itu adalah Bengawan Madiun, Sungai Ketonggo, dan tentu saja Bengawan Solo. “Jadi ketiga sungai besar ini bertemu di tengah kota. Otomatis volume air saat hujan tiba akan mengalami peningkatan yang luar biasa. Potensi terjadinya banjir menjadi sangat besar. Inilah yang bertahun-tahun kita hadapi,” ungkap Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ngawi Eko Heru Cahyono.
Untuk itu, sejak beberapa tahun lalu telah dibangun beberapa buah tanggul penahan di Ngawi bagian barat, masuk Desa Munengan. “Tapi baru dibuat sebagian saja, harapannya juga dibangun di bagian lain agar tidak terjadi penggerusan bagian sungai,” ucapnya. Dari sisi pembangunan infrastruktur, Eko Heru Cahyono menyatakan, pihak Pemkab Ngawi jarang dilibatkan BBWS Bengawan Solo.
Namun, dalam setiap rapat koordinasi, pihaknya telah sering memberikan usulan untuk mengantisipasi semakin tingginya banjir. “Paling utama, kami selalu mengusulkan dibuatnya tanggul di titik-titik yang penting si sepanjang sungai di Ngawi. Karena itu kewenangan BBWS Bengawan Solo, maka kami sampaikan ke mereka hingga beberapa kali pertemuan,” ujarnya.
Eko menyatakan, selain tanggul, infrastruktur yang perlu dipikirkan adalah pembuatan pintu-pintu air di anak-anak sungai yang ada. Menurutnya, air yang ada seharusnya bisa ditahan lebih dulu di pintu air dan dialirkan ke anak-anak sungai sehingga tidak langsung menumpuk di sungai utama.
“Ngawi butuh puluhan pintu air untuk menahan agar air tidak langsung meluncur ke jalur air utama, tapi bisa berbelok. Sekarang ini air langsung bertemu di tengah sehingga hujan sedikit saja di hulu, air langsung meluap,” ujarnya.
Sedangkan, untuk mitigasi bencana banjir, Pemkab Ngawi telah memasang tujuh perangkat deteksi banjir atau flood early warning system (F-EWS) di tujuh titik yang rawan bencana banjir. Alat ini akan memberikan pertanda berupa alarm untuk warga sehingga bisa melakukan langkah antisipasi dan penanggulangan dengan baik.
Muhammad Roqib/Dili Eyato
Sungai Bengawan Solo yang mengalir dari hulu di Jawa Tengah (Jateng) dan hilir di Jawa Timur (Jatim) menyimpan kekayaan yang seolah tidak habis diambil. Pasir di dasar sungai itu dikeduk untuk material, endapan lumpurnya diambil untuk membuat batu bata merah, dan airnya diolah untuk kebutuhan air minum dan keperluan industri.
Beraneka macam ikan yang hidup di sungai itu juga dijaring para nelayan dan dijual di pasar tradisional dan warung makan. Namun, Sungai Bengawan Solo juga menebar ancaman. Setiap kali musim hujan, warga yang tinggal di sepanjang bantaran sungai di wilayah Bojonegoro dan Tuban sering merasa waswas.
Sebab, air sungai sering meluap menggenangi permukiman warga, gedung sekolah, jalan, dan areal persawahan. Warga juga terpaksa mengungsi beberapa hari di tanggultanggul dan tempat-tempat pengungsian. Setiap kali musim hujan, hampir bisa dipastikan banjir luapan Bengawan Solo dan anak sungainya melanda wilayah Bojonegoro dan Tuban. Bukan hanya kerugian material yang ditimbulkan, sering kali banjir luapan Bengawan Solo juga merenggut korban jiwa.
Banjir luapan Bengawan Solo seolah tidak bisa dihindari. Kerusakan hutan dan berkurangnya daerah resapan air di daerah hulu dan hilir sungai menjadi salah satu penyebab timbulnya banjir. Lalu, upaya apa yang telah dilakukan daerah di hilir sungai untuk menghadapi banjir luapan Bengawan Solo tahun ini?
Menurut Kepala Seksi Operasi UPT Pengelolaan Sumber Daya Air, Balai Besar Bengawan Solo, Dinas Pengairan Provinsi Jawa Timur, di Bojonegoro Mucharom, wilayah hilir Sungai Bengawan Solo yang sering dilanda banjir yaitu Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik. Untuk mengantisipasi banjir, kata dia, dilakukan pemantauan tinggi muka air di daerah hulu sungai, yakni di Dungus (Ngawi) dan Karangnongko (wilayah barat Bojonegoro).
Selain itu, pemantauan tinggi muka air juga dilakukan di daerah hilir, yakni di papan duga dekat Pasar Besar Bojonegoro. “Pemantauan tinggi muka air kini dilakukan setiap tiga jam sekali,” ujarnya. Menurut Mucharom, jika air di hulu sungai cukup tinggi dan dinyatakan siaga, akan disampaikan kepada pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di daerah hilir sungai agar segera bersiap menghadapi banjir.
Perjalanan air dari daerah hulu sungai di Karangnongko hingga di Kota Bojonegoro sekitar 14–15 jam. Menurutnya, banjir luapan Bengawan Solo biasanya terjadi karena kondisi tertentu. Di antaranya, terjadinya curah hujan cukup tinggi di daerah hulu sehingga menimbulkan banjir kiriman ke daerah hilir. Sementara pada saat bersamaan, kondisi air laut sedang pasang.
Akibatnya, air bah dari Bengawan Solo tidak dapat mengalir lancar masuk ke laut, tetapi menggenang lama di daerah Bojonegoro, Lamongan dan Gresik. “Lama genangan banjir di daerah hilir sungai itu bisa berharihari, tergantung kondisi pasang surut air laut,” ucapnya.
Menurut Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bojonegoro Andik Sudjarwo, berbagai persiapan telah dilakukan untuk menghadapi datangnya banjir luapan Bengawan Solo di wilayah Bojonegoro, di antaranya kesiapan personel tanggap darurat bencana, peralatan, dan logistik. “Logistik, seperti beras, selimut, terpal, kasur, sudah didistribusikan di titik-titik pengungsian. Dengan begitu, sewaktu-waktu terjadi banjir tidak lagi kerepotan pendistribusian logistik,” ujarnya.
Dia mengatakan, berdasarkan perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jawa Timur, curah hujan di wilayah Bojonegoro cukup tinggi terjadi pada Desember 2014 hingga Januari 2015. Hampir sama nasibnya dengan Bojonegoro, salah satu daerah yang juga dilalui Bengawan Solo adalah Kabupaten Ngawi. Ngawi bahkan memiliki catatan bencana banjir yang hampir selalu terulang setiap musim hujan tiba.
Tiga sungai yang bertemu membuat volume air menumpuk di Ngawi. Ketiga sungai itu adalah Bengawan Madiun, Sungai Ketonggo, dan tentu saja Bengawan Solo. “Jadi ketiga sungai besar ini bertemu di tengah kota. Otomatis volume air saat hujan tiba akan mengalami peningkatan yang luar biasa. Potensi terjadinya banjir menjadi sangat besar. Inilah yang bertahun-tahun kita hadapi,” ungkap Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ngawi Eko Heru Cahyono.
Untuk itu, sejak beberapa tahun lalu telah dibangun beberapa buah tanggul penahan di Ngawi bagian barat, masuk Desa Munengan. “Tapi baru dibuat sebagian saja, harapannya juga dibangun di bagian lain agar tidak terjadi penggerusan bagian sungai,” ucapnya. Dari sisi pembangunan infrastruktur, Eko Heru Cahyono menyatakan, pihak Pemkab Ngawi jarang dilibatkan BBWS Bengawan Solo.
Namun, dalam setiap rapat koordinasi, pihaknya telah sering memberikan usulan untuk mengantisipasi semakin tingginya banjir. “Paling utama, kami selalu mengusulkan dibuatnya tanggul di titik-titik yang penting si sepanjang sungai di Ngawi. Karena itu kewenangan BBWS Bengawan Solo, maka kami sampaikan ke mereka hingga beberapa kali pertemuan,” ujarnya.
Eko menyatakan, selain tanggul, infrastruktur yang perlu dipikirkan adalah pembuatan pintu-pintu air di anak-anak sungai yang ada. Menurutnya, air yang ada seharusnya bisa ditahan lebih dulu di pintu air dan dialirkan ke anak-anak sungai sehingga tidak langsung menumpuk di sungai utama.
“Ngawi butuh puluhan pintu air untuk menahan agar air tidak langsung meluncur ke jalur air utama, tapi bisa berbelok. Sekarang ini air langsung bertemu di tengah sehingga hujan sedikit saja di hulu, air langsung meluap,” ujarnya.
Sedangkan, untuk mitigasi bencana banjir, Pemkab Ngawi telah memasang tujuh perangkat deteksi banjir atau flood early warning system (F-EWS) di tujuh titik yang rawan bencana banjir. Alat ini akan memberikan pertanda berupa alarm untuk warga sehingga bisa melakukan langkah antisipasi dan penanggulangan dengan baik.
Muhammad Roqib/Dili Eyato
(ftr)