Sakralitas Pembuatan Sebuah Topeng
A
A
A
Ketika melihat sebuah topeng mungkin tidak pernah berpikir betapa sulitnya membuat topeng tersebut. Mungkin jika topeng itu suvenir atau sekadar hiasan saja, tidak terlalu rumit dalam proses pembuatannya. Mengingat hanya rumit pada desain topeng yang akan dibuat
Namun berbeda dengan proses pembuatan topeng malangan yang harus memperhatikan hari. Pasalnya, dalam penanggalan Jawa, setiap hari mempunyai hitungannya sendiri sehingga saat membuat topeng juga harus mematuhi rambu dari perhitungan penanggalan tersebut.
Misalnya, Kamis Pahing yang memiliki hitungan angka 17, maka dalam satu hari itu hanya boleh membuat topeng 17 saja, tidak lebih atau kurang. Meski tidak harus satu hari secara total dalam pembuatan, setidaknya dalam satu hari tersebut pembuat topeng hanya diizinkan untuk mbakali topeng 17 buah.
Dalam penanggalan Jawa terdapat lima pasaran Pon, Legi, Pahing, Wage, dan Kliwon, masing-masing memiliki jumlah hitungan dari 9 hingga paling banyak 18. Mbakali merupakan proses awal pembuatan topeng, karena kayu yang akan digunakan untuk membuat topeng dibelah menjadi dua lalu dibentuk pola kasarnya. Pola kasar ini dimulai dengan membuat hidung, memberi mata dan mulut, sehingga bentuk kasar dari pola wajah yang akan dibuat sudah sedikit terlihat.
Kemudian dilanjutkan dengan memperjelas batas antara area wajah dengan ukiran sebagai hiasannya. “Membuat topeng malangan memang tidak bisa sembarangan, meski tidak pakai tirakatan seperti puasa atau ritual lain, tetapi tetap harus memperhatikan penanggalan Jawa dan hanya berlaku khusus untuk pembuatan topeng yang akan digunakan untuk menari,” kata Tri Handoyo generasi ke-5 pembuat topeng malangan yang tinggal di daerah Pakisaji, Malang Selatan.
Saat ditemui beberapa waktu lalu di lokasi workshop - nya, Handoyo menjelaskan pembuatan topeng malangan yang digunakan untuk menari mendapat perlakuan berbeda berkaitan dengan tari topeng itu sendiri. Kebanyakan tarian yang menggunakan topeng berkaitan dengan roh-roh yang dipanggil akan merasuki tubuh sang penari, sedangkan untuk penari topeng malangan tidak. Justru di dalam topeng itu roh bersemayam sehingga penari tidak akan capek saat menari.
Sebab itu, untuk membuat topengnya tidak bisa sembarangan, harus sakral dan memperhatikan hari. Bahkan tidak sekadar memperhatikan hari, tetapi jenis kayu yang digunakan harus dari kayu pilihan yang diambil dari tempat suci. Pemanggilan roh ini dilakukan karena zaman dulu dalam sekali show seorang penari bisa menari hampir semalam suntuk, meski sekarang tidak menari sepanjang malam, tetapi pemanggilan roh tetap dilakukan.
“Kalau hanya membuat topeng untuk suvenir bisa memakai jenis kayu apa pun, tapi lain lagi kalau mau buat topeng yang akan dipakai menari harus menggunakan kayu yang diambil dari tempat suci, misalnya dari punden yang disakralkan atau tempat lainnya,” ujar Handoyo.
Topeng Di Mata Kolektor Barang Seni
Ketika melihat topeng mungkin orang berpikir bahwa topeng hanya sekadar hiasan, padahal sebenarnya tidak. Handoyo menjelaskan, topeng memiliki filosofi tersendiri tentang karakter manusia. Karena itu, bentuk dan tipe topeng yang ia buat juga berbeda- beda. Terbagi dalam 4 karakter misalnya, tokoh panji, tokoh jahat, tokoh baik, dan tokoh abdi. Untuk membedakan sebuah topeng memiliki tokoh baik atau jahat, maka bisa dilihat dari ukiran di bagian samping telinga.
Jika motif ukirannya berupa bunga, daun, dan sulur, maka melambangkan tokoh baik, sedangkan kalau tokoh jahat motifnya berupa binatang. Motif yang dihasilkan ini kadang terlihat unik dan tak sama, meski jenis topeng yang dihasilkan diberi nama sama. Hal ini yang kemudian menarik para kolektor seni untuk mengoleksi semua karakter tersebut. Sebut saja Reno Halasamer, pemilik Museum Dtopeng, yang mengaku tertarik dengan topeng karena seni artistik yang dimiliki oleh topeng.
Sejak 18 tahun, ia memilih menjadi kolektor barang seni dan salah satunya, yakni aneka topeng yang selama ini banyak dikoleksinya. “Saya mengoleksi topeng karena indah. Saya yang awalnya mengoleksi lukisan kemudian menambah dengan mulai mengoleksi topeng, apalagi topeng juga perpaduan seni lukis dan seni pahat. Untuk membuat topeng tidak hanya memperhatikan pahatan, tetapi usai dipahat itu harus diberi warna lewat lukisan supaya berkarakter,” kata Reno. Kini topeng yang dikoleksi Reno sudah berjumlah 3.000- an terdiri dari berbagai daerah.
Tidak hanya topeng malangan, tetapi juga topeng dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bahkan usia topeng yang dimilikinya bisa dibilang sangat tua. Ia memiliki salah satu topeng dari daerah Sulawesi yang usia lebih dari 600 tahun. “Semua koleksi topeng saya usianya bisa dibilang tua ya, antara 30-600- an tahun. Saya mengumpulkannya sudah lama dengan berburu ke berbagai kota. Topeng-topeng ini menjadi menarik bagi saya karena ada karakteristik yang melekat tiap topeng dan karakternya tiap daerah selalu berbeda,” ujar Reno.
Namun berbeda dengan proses pembuatan topeng malangan yang harus memperhatikan hari. Pasalnya, dalam penanggalan Jawa, setiap hari mempunyai hitungannya sendiri sehingga saat membuat topeng juga harus mematuhi rambu dari perhitungan penanggalan tersebut.
Misalnya, Kamis Pahing yang memiliki hitungan angka 17, maka dalam satu hari itu hanya boleh membuat topeng 17 saja, tidak lebih atau kurang. Meski tidak harus satu hari secara total dalam pembuatan, setidaknya dalam satu hari tersebut pembuat topeng hanya diizinkan untuk mbakali topeng 17 buah.
Dalam penanggalan Jawa terdapat lima pasaran Pon, Legi, Pahing, Wage, dan Kliwon, masing-masing memiliki jumlah hitungan dari 9 hingga paling banyak 18. Mbakali merupakan proses awal pembuatan topeng, karena kayu yang akan digunakan untuk membuat topeng dibelah menjadi dua lalu dibentuk pola kasarnya. Pola kasar ini dimulai dengan membuat hidung, memberi mata dan mulut, sehingga bentuk kasar dari pola wajah yang akan dibuat sudah sedikit terlihat.
Kemudian dilanjutkan dengan memperjelas batas antara area wajah dengan ukiran sebagai hiasannya. “Membuat topeng malangan memang tidak bisa sembarangan, meski tidak pakai tirakatan seperti puasa atau ritual lain, tetapi tetap harus memperhatikan penanggalan Jawa dan hanya berlaku khusus untuk pembuatan topeng yang akan digunakan untuk menari,” kata Tri Handoyo generasi ke-5 pembuat topeng malangan yang tinggal di daerah Pakisaji, Malang Selatan.
Saat ditemui beberapa waktu lalu di lokasi workshop - nya, Handoyo menjelaskan pembuatan topeng malangan yang digunakan untuk menari mendapat perlakuan berbeda berkaitan dengan tari topeng itu sendiri. Kebanyakan tarian yang menggunakan topeng berkaitan dengan roh-roh yang dipanggil akan merasuki tubuh sang penari, sedangkan untuk penari topeng malangan tidak. Justru di dalam topeng itu roh bersemayam sehingga penari tidak akan capek saat menari.
Sebab itu, untuk membuat topengnya tidak bisa sembarangan, harus sakral dan memperhatikan hari. Bahkan tidak sekadar memperhatikan hari, tetapi jenis kayu yang digunakan harus dari kayu pilihan yang diambil dari tempat suci. Pemanggilan roh ini dilakukan karena zaman dulu dalam sekali show seorang penari bisa menari hampir semalam suntuk, meski sekarang tidak menari sepanjang malam, tetapi pemanggilan roh tetap dilakukan.
“Kalau hanya membuat topeng untuk suvenir bisa memakai jenis kayu apa pun, tapi lain lagi kalau mau buat topeng yang akan dipakai menari harus menggunakan kayu yang diambil dari tempat suci, misalnya dari punden yang disakralkan atau tempat lainnya,” ujar Handoyo.
Topeng Di Mata Kolektor Barang Seni
Ketika melihat topeng mungkin orang berpikir bahwa topeng hanya sekadar hiasan, padahal sebenarnya tidak. Handoyo menjelaskan, topeng memiliki filosofi tersendiri tentang karakter manusia. Karena itu, bentuk dan tipe topeng yang ia buat juga berbeda- beda. Terbagi dalam 4 karakter misalnya, tokoh panji, tokoh jahat, tokoh baik, dan tokoh abdi. Untuk membedakan sebuah topeng memiliki tokoh baik atau jahat, maka bisa dilihat dari ukiran di bagian samping telinga.
Jika motif ukirannya berupa bunga, daun, dan sulur, maka melambangkan tokoh baik, sedangkan kalau tokoh jahat motifnya berupa binatang. Motif yang dihasilkan ini kadang terlihat unik dan tak sama, meski jenis topeng yang dihasilkan diberi nama sama. Hal ini yang kemudian menarik para kolektor seni untuk mengoleksi semua karakter tersebut. Sebut saja Reno Halasamer, pemilik Museum Dtopeng, yang mengaku tertarik dengan topeng karena seni artistik yang dimiliki oleh topeng.
Sejak 18 tahun, ia memilih menjadi kolektor barang seni dan salah satunya, yakni aneka topeng yang selama ini banyak dikoleksinya. “Saya mengoleksi topeng karena indah. Saya yang awalnya mengoleksi lukisan kemudian menambah dengan mulai mengoleksi topeng, apalagi topeng juga perpaduan seni lukis dan seni pahat. Untuk membuat topeng tidak hanya memperhatikan pahatan, tetapi usai dipahat itu harus diberi warna lewat lukisan supaya berkarakter,” kata Reno. Kini topeng yang dikoleksi Reno sudah berjumlah 3.000- an terdiri dari berbagai daerah.
Tidak hanya topeng malangan, tetapi juga topeng dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bahkan usia topeng yang dimilikinya bisa dibilang sangat tua. Ia memiliki salah satu topeng dari daerah Sulawesi yang usia lebih dari 600 tahun. “Semua koleksi topeng saya usianya bisa dibilang tua ya, antara 30-600- an tahun. Saya mengumpulkannya sudah lama dengan berburu ke berbagai kota. Topeng-topeng ini menjadi menarik bagi saya karena ada karakteristik yang melekat tiap topeng dan karakternya tiap daerah selalu berbeda,” ujar Reno.
(bhr)