Buang Sial Diri, Sekaligus Berdoa untuk Keselamatan Negara
A
A
A
Gending-gending Jawa mengalun pelan di halaman Pendopo Agung Trowulan. Musik tradisional itu seakan membawa suasana ratusan tahun silam. Beberapa kelompok orang terlihat mengenakan baju khas Jawa, lengkap dengan blangkon.
Sementara ribuan orang kumpul mengelilingi area pendopo. Aktivitas di situs peninggalan Kerajaan Majapahit siang kemarin itu begitu padat. Tampak puluhan orang mengenakan penutup badan dengan kain putih didominasi kaum perempuan. Mereka mengantre mengikuti ruwatan Surokerto yang memang rutin digelar di Pendopo Agung. Kendati harus menunggu lama prosesi ruwatan dimulai, mereka tampak sabar. Baju yang tak biasa dipakai itu juga terlihat nyaman dikenakan.
Satu tujuan mereka adalah ingin diruwat membuang sial dan membersihkan diri. Satu per satu mereka yang mengenakan kain putih itu menuju lokasi ruwatan. Pertama-tama, mereka diguyur dengan air kembang di kelilingi beberapa pusaka kuno berupa keris dan ruparupa benda kerajaan. Seusai diguyur air kembang, satu persatu dari mereka menghadap salah satu sesepuh mendapatkan doa. Doa-doa kejawen terdengar dari mulut sesepuh bernama Ki Suwoto itu.
Ada sekitar 60 orang mengikuti ruwatan massal ini. Jumlah ini menyusut dibanding ruwatan tahun lalu yang diikuti 106 orang. Bagi sebagian kalangan, ruwatan masih dipercaya mampu mengubah nasib seseorang, baik dari sisi rezeki, jodoh, atau bahkan bisa menghapus dosa-dosa mereka. Ruwatan seperti ini selalu menjadi perhatian warga, baik yang hanya sekadar melihat atau ikut diruwat. “Kalau saya untuk membuang sial dan cepat dapat jodoh,” ujar Heni Andini, salah satu peserta ruwatan dari Solo. Peserta ruwatan tak terbatas hanya untuk warga Mojokerto.
Justru ruwatan ini lebih banyak dimintai warga luar kota, seperti Surabaya serta beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa barat. Karena tradisi Jawa, ruwatan ini tak hanya berbatas pada pemeluk agama tertentu. Tak hanya Hindu, pemeluk Islam dan agama lain juga ikut. “Menurut saya, tak ada salahnya didoakan,” ujar Heni. Ruwatan Surokerto kali ini berbeda dengan ruwatan tahun lalu. Tak hanya ngruwat orang per orang, panitia juga ikut ngruwat bangsa Indonesia. Ruwat Nusantoro berarti ngruwat negara yang saat ini dalam situasi yang sedang muncul perpecahan.
“Agar bangsa ini damai, dijauhkan dari kala (jahat) agar bumi ini senantiasa menjadi tepat berpijak yang gemah ripah loh jinawi,” kata Ki Suwoto, pemimpin ruwatan. Tradisi ruwatan Surokerto seperti ini, ujar dia, rutin digelar setiap bulan Sura. Disebut ruwatan Surokerto karena dilaksanakan pada bulan Suro. “Sukerto itu artinya sengkolo atau sengketa atau cobaan. Kami membuang halhal yang buruk,” tutur Ki Suwoto yang berharap pula tak ada kejadian buruk di negara ini.
Tradisi Jawa ini, kata dia, tak mengesampingkan kepercayaan dan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa. Ditegaskannya, tradisi seperti ini turun-temurun dan diyakini bisa mengubah kehidupan mereka yang diruwat. “Tujuannya agar terhindar dari segala cobaan dan keburukan. Itu dibersihkan dari tubuh mereka yang diruwat,” ujarnya.
Kepala Dinas Pemuda Olah Raga Budaya dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Mojokerto, Didik Khusnul Yaqin menyebutkan, sejumlah tradisi Jawa dan Majapahitan menjadi aset budaya Kabupaten Mojokerto, salah satunya ruwatan Surokerto. Karena itu, agenda ini rutin dilakukan setiap tahun. “Ini juga menunjang wisata budaya dan sejarah Majapahit,” kata Didik. ?
TRITUS JULAN
Mojokerto
Sementara ribuan orang kumpul mengelilingi area pendopo. Aktivitas di situs peninggalan Kerajaan Majapahit siang kemarin itu begitu padat. Tampak puluhan orang mengenakan penutup badan dengan kain putih didominasi kaum perempuan. Mereka mengantre mengikuti ruwatan Surokerto yang memang rutin digelar di Pendopo Agung. Kendati harus menunggu lama prosesi ruwatan dimulai, mereka tampak sabar. Baju yang tak biasa dipakai itu juga terlihat nyaman dikenakan.
Satu tujuan mereka adalah ingin diruwat membuang sial dan membersihkan diri. Satu per satu mereka yang mengenakan kain putih itu menuju lokasi ruwatan. Pertama-tama, mereka diguyur dengan air kembang di kelilingi beberapa pusaka kuno berupa keris dan ruparupa benda kerajaan. Seusai diguyur air kembang, satu persatu dari mereka menghadap salah satu sesepuh mendapatkan doa. Doa-doa kejawen terdengar dari mulut sesepuh bernama Ki Suwoto itu.
Ada sekitar 60 orang mengikuti ruwatan massal ini. Jumlah ini menyusut dibanding ruwatan tahun lalu yang diikuti 106 orang. Bagi sebagian kalangan, ruwatan masih dipercaya mampu mengubah nasib seseorang, baik dari sisi rezeki, jodoh, atau bahkan bisa menghapus dosa-dosa mereka. Ruwatan seperti ini selalu menjadi perhatian warga, baik yang hanya sekadar melihat atau ikut diruwat. “Kalau saya untuk membuang sial dan cepat dapat jodoh,” ujar Heni Andini, salah satu peserta ruwatan dari Solo. Peserta ruwatan tak terbatas hanya untuk warga Mojokerto.
Justru ruwatan ini lebih banyak dimintai warga luar kota, seperti Surabaya serta beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa barat. Karena tradisi Jawa, ruwatan ini tak hanya berbatas pada pemeluk agama tertentu. Tak hanya Hindu, pemeluk Islam dan agama lain juga ikut. “Menurut saya, tak ada salahnya didoakan,” ujar Heni. Ruwatan Surokerto kali ini berbeda dengan ruwatan tahun lalu. Tak hanya ngruwat orang per orang, panitia juga ikut ngruwat bangsa Indonesia. Ruwat Nusantoro berarti ngruwat negara yang saat ini dalam situasi yang sedang muncul perpecahan.
“Agar bangsa ini damai, dijauhkan dari kala (jahat) agar bumi ini senantiasa menjadi tepat berpijak yang gemah ripah loh jinawi,” kata Ki Suwoto, pemimpin ruwatan. Tradisi ruwatan Surokerto seperti ini, ujar dia, rutin digelar setiap bulan Sura. Disebut ruwatan Surokerto karena dilaksanakan pada bulan Suro. “Sukerto itu artinya sengkolo atau sengketa atau cobaan. Kami membuang halhal yang buruk,” tutur Ki Suwoto yang berharap pula tak ada kejadian buruk di negara ini.
Tradisi Jawa ini, kata dia, tak mengesampingkan kepercayaan dan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa. Ditegaskannya, tradisi seperti ini turun-temurun dan diyakini bisa mengubah kehidupan mereka yang diruwat. “Tujuannya agar terhindar dari segala cobaan dan keburukan. Itu dibersihkan dari tubuh mereka yang diruwat,” ujarnya.
Kepala Dinas Pemuda Olah Raga Budaya dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Mojokerto, Didik Khusnul Yaqin menyebutkan, sejumlah tradisi Jawa dan Majapahitan menjadi aset budaya Kabupaten Mojokerto, salah satunya ruwatan Surokerto. Karena itu, agenda ini rutin dilakukan setiap tahun. “Ini juga menunjang wisata budaya dan sejarah Majapahit,” kata Didik. ?
TRITUS JULAN
Mojokerto
(ars)