Lokalisasi Dolly Akan Disulap jadi Sentra PKL 6 Lantai
A
A
A
SURABAYA - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini rupanya tak main-main dalam menyulap lokalisasi Dolly menjadi kawasan bisnis dengan sejumlah fasilitas umum. Tak hanya membeli wisma New Barbara 22 senilai Rp9 miliar, orang nomor satu di Surabaya itu hendak membangun lapangan fustal dibelakang wisma paling terkenal di Gang Dolly itu.
Risma, panggilan Tri Rismaharini mengatakan, bangunan enam lantai akan difungsikan sebagai sentra pedagang kaki lima (PKL). Lantai dua untuk usaha makanan kering, lantai tiga dan empat khusus untuk perpustakaan dan komputer. Lantai lima akan digunakan untuk taman bermain anak-anak.
Sedangkan untuk lantai enam akan difungsikan sebagai balai RW. Dalam pembelian wisma yang sudah dilengkapi lift ini, Risma setidaknya merogoh kocek anggaran negara sebesar Rp9 miliar.
“Setidaknya di Dolly ini kami sudah memiliki sebanyak 10 titik lokasi. Tapi luasannya kecil-kecil. Nanti juga akan dibangun kantor Polsek (Kepolisian Sektor) Sawahan di Dolly ini,” katanya usai sidang paripurna di gedung DPRD Kota Surabaya Jumat (20/6).
Mantan kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya ini mengklaim saat ini sudah ada beberapa warga yang mengajukan untuk mendapat pelatihan montir. Sehingga, tidak menutup kemungkinan, wisma-wisma yang sudah dibeli Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya akan diubah menjadi bengkel.
Baik bengkel mobil ataupun motor. Ini cukup menjanjikan lantaran jumlah pengguna kendaraan bermotor tiap tahun bertambah banyak. Sehingga, ini menjadi potensi pasar juga.
“Tadi (kemarin) saya dapat laporan bahwa, ada tiga PSK (pekerja seks komersial lagi) yang minta didata untuk dapat kompensasi. Tapi saya usahakan dapat juga, karena dananya dari Kemensos (Kementrian Sosial). Sekarang yang sudah terdapat sebanyak 1.449 PSK,” paparnya.
Salah satu pemilik wisma di Dolly, Johan menegaskan, para PSK dan mucikari tetap akan buka hingga H-2 bulan ramadan. Tahun ini ada perpanjangan buka. Tahun lalu, aktivitas Dolly mulai tutup adalah H-3 bulan ramadan. Perpanjangan hari buka ini sebagai petunjuk bahwa, warga Dolly melawan atas penutupan lokalisasi terbesar se- Asia Tenggara tersebut.
“Kalau bulan ramadan tutup, itu memang sudah sejak lama. Tahun-tahun lalu juga seperti itu. Tapi setelah Lebaran, kami akan buka lagi seperti biasa. Kalau ada razia dari aparat, tentu akan kami lawan,” terang pria yang hobi mengenakan celana pendek ini.
Disisi lain, langkah Risma menutup lokalisasi yang ada di Jalan Jarak Kelurahan Putat Jaya Kecamatan Sawahan dengan landasan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan/Tempat untuk Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila dinilai blunder. Pasalnya, tiap perda, membutuhkan Surat Keputusan (SK) sebagai acuan pelaksaan perda.
Sekretaris Umum DPD Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jatim, Purwanto mengatakan, keberadaan lokalisasi yang ada di Jalan Jarak Kelurahan Putat Jaya sudah lama dan sudah menjadi bagian dari masyarakat setempat. Bahkan, lokalisasi ini sudah ada jauh sebelum perda yang dikeluarkan Pemkot dan DPRD Kota Surabaya diterbitkan.
Sehingga, keberadaan lokalisasi ini tidak bisa serta merta langsung ditutup hanya dengan mengacu pada perda. "Jadi, walaupun ada perda, tetap harus payung hukum lagi berupa SK. Kalau mengacu pada perda, kenapa tidak dari dulu ditegakkan dan justru malah dibiarkan hingga sekarang," ujarnya.
Purwanto menambahkan, deklarasi juga tidak bisa menjadi acuan dalam menutup Dolly. Bahkan, deklarasi juga tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sangsi bagi yang melanggar.
Sebab, deklarasi hanya bersifat kesepakatan. Aparat keamanan, baik itu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya maupun kepolisian juga tidak bisa menggunakan acuan deklarasi untuk melakukan penertiban.
Kecuali ketika ada SK yang tegas menyatakan lokalisasi itu ilegal dan harus ditutup. "Hukum itu juga harus melihat pada akar historinya. Jangan sampai karena ganti pimpinan, akhirnya Dolly ditutup," paparnya.
Risma, panggilan Tri Rismaharini mengatakan, bangunan enam lantai akan difungsikan sebagai sentra pedagang kaki lima (PKL). Lantai dua untuk usaha makanan kering, lantai tiga dan empat khusus untuk perpustakaan dan komputer. Lantai lima akan digunakan untuk taman bermain anak-anak.
Sedangkan untuk lantai enam akan difungsikan sebagai balai RW. Dalam pembelian wisma yang sudah dilengkapi lift ini, Risma setidaknya merogoh kocek anggaran negara sebesar Rp9 miliar.
“Setidaknya di Dolly ini kami sudah memiliki sebanyak 10 titik lokasi. Tapi luasannya kecil-kecil. Nanti juga akan dibangun kantor Polsek (Kepolisian Sektor) Sawahan di Dolly ini,” katanya usai sidang paripurna di gedung DPRD Kota Surabaya Jumat (20/6).
Mantan kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya ini mengklaim saat ini sudah ada beberapa warga yang mengajukan untuk mendapat pelatihan montir. Sehingga, tidak menutup kemungkinan, wisma-wisma yang sudah dibeli Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya akan diubah menjadi bengkel.
Baik bengkel mobil ataupun motor. Ini cukup menjanjikan lantaran jumlah pengguna kendaraan bermotor tiap tahun bertambah banyak. Sehingga, ini menjadi potensi pasar juga.
“Tadi (kemarin) saya dapat laporan bahwa, ada tiga PSK (pekerja seks komersial lagi) yang minta didata untuk dapat kompensasi. Tapi saya usahakan dapat juga, karena dananya dari Kemensos (Kementrian Sosial). Sekarang yang sudah terdapat sebanyak 1.449 PSK,” paparnya.
Salah satu pemilik wisma di Dolly, Johan menegaskan, para PSK dan mucikari tetap akan buka hingga H-2 bulan ramadan. Tahun ini ada perpanjangan buka. Tahun lalu, aktivitas Dolly mulai tutup adalah H-3 bulan ramadan. Perpanjangan hari buka ini sebagai petunjuk bahwa, warga Dolly melawan atas penutupan lokalisasi terbesar se- Asia Tenggara tersebut.
“Kalau bulan ramadan tutup, itu memang sudah sejak lama. Tahun-tahun lalu juga seperti itu. Tapi setelah Lebaran, kami akan buka lagi seperti biasa. Kalau ada razia dari aparat, tentu akan kami lawan,” terang pria yang hobi mengenakan celana pendek ini.
Disisi lain, langkah Risma menutup lokalisasi yang ada di Jalan Jarak Kelurahan Putat Jaya Kecamatan Sawahan dengan landasan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan/Tempat untuk Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila dinilai blunder. Pasalnya, tiap perda, membutuhkan Surat Keputusan (SK) sebagai acuan pelaksaan perda.
Sekretaris Umum DPD Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jatim, Purwanto mengatakan, keberadaan lokalisasi yang ada di Jalan Jarak Kelurahan Putat Jaya sudah lama dan sudah menjadi bagian dari masyarakat setempat. Bahkan, lokalisasi ini sudah ada jauh sebelum perda yang dikeluarkan Pemkot dan DPRD Kota Surabaya diterbitkan.
Sehingga, keberadaan lokalisasi ini tidak bisa serta merta langsung ditutup hanya dengan mengacu pada perda. "Jadi, walaupun ada perda, tetap harus payung hukum lagi berupa SK. Kalau mengacu pada perda, kenapa tidak dari dulu ditegakkan dan justru malah dibiarkan hingga sekarang," ujarnya.
Purwanto menambahkan, deklarasi juga tidak bisa menjadi acuan dalam menutup Dolly. Bahkan, deklarasi juga tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sangsi bagi yang melanggar.
Sebab, deklarasi hanya bersifat kesepakatan. Aparat keamanan, baik itu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya maupun kepolisian juga tidak bisa menggunakan acuan deklarasi untuk melakukan penertiban.
Kecuali ketika ada SK yang tegas menyatakan lokalisasi itu ilegal dan harus ditutup. "Hukum itu juga harus melihat pada akar historinya. Jangan sampai karena ganti pimpinan, akhirnya Dolly ditutup," paparnya.
(ilo)