Nestapa Anak-anak Lokalisasi
A
A
A
SURABAYA - Suara sirene menderu dari lorong gang Jalan Putat Jaya II. Lengkingan tak berirama itu beradu dengan alunan dangdut koplo yang menghentak dari dalam wisma lokalisasi sedari siang. Pukul 17.20 WIB, saatnya bagi para penghuni dan tamu rehat sejenak. Sesuai peraturan, mereka wajib memberi penghormatan saat umat muslim menunaikan ibadah Salat Magrib. Mereka baru akan memulai kembali aktivitas seusai Salat Isya.
Begitulah, sekalipun disebut lokalisasi, tempat prostitusi di Putat Jaya ini tidak benar-benar terlokalisir. Tempat itu hadir di tengah-tengah permukiman padat penduduk. Berimpitan dengan hunian warga serta sejumlah tempat ibadah dan sekolahan. Masjid dan panti asuhan Muhammadiyah Al-Ukhwah di Jalan Putat Jaya II adalah salah satunya. Bangunan tiga lantai ini diapit beberapa wisma, depan, di kanan dan kiri. Lalu-lalang perempuan berbusana minim di sekitar masjid pun menjadi hal yang biasa terjadi.
Masyarakat yang menunaikan ibadah tetap mencoba khusyuk di tengah godaan syahwat. Sementara para Pekerja Seks Komersial (PSK) tetap asyik bersama dengan para tamu yang menemaninya. Dua hal kontras ini seolah tidak membuat kedua belah pihak terganggu. Mereka tetap damai dalam perbedaan. Menjalankan aktivitas sesuai dengan masing-masing pilihan.
Namun, tidak demikian dengan anak-anak panti. Tak sedikit dari mereka yang nekat menerobos pagar pembatas dan melompat ke pusat ingar-bingar lokalisasi ternama itu. Dentum irama musik di sekeliling panti membuat mereka penasaran. Belum lagi para penjaja nikmat yang tampil dengan busana seksi.
Pengasuh panti sebenarnya telah membuat peraturan ketat untuk mereka. Selain untuk keperluan sekolah dan mengaji, mereka tidak diperkenankan keluar. Kecuali bila siang hari. Itu sebabnya, tepat pukul 18.00 WIB pagar akan dikunci.
"Kata Pak Warno (pengasuh) mainnya di dalam saja. Tidak boleh keluar karena ada Mbak-mbak (PSK) di sana. Biar nggak bosan, saya dan teman-teman biasanya nonton TV sesudah mengaji dan belajar. Takut dimarahi kalau keluar," tutur Hanan (13), salah seorang anak panti.
Hanan tak memungkiri, kadang sesekali teman sesama panti nekat melompat keluar saat malam, untuk sekadar bermain dan mengintip aktivitas para PSK di dalam wisma. "Iseng saja, Mas. Abis itu balik lagi ke dalam," katanya polos.
Kasyan, penjaga masjid Muhammadiyah Putat Jaya II mengatakan, keberadaan panti asuhan dan masjid di kompleks lokalisasi memang lumayan menjadi benteng anak-anak dari lingkungan mereka yang buruk. Sebab, di sana anak-anak diajari mengaji dan kegiatan positif lainnya. Namun, aktivitas lokalisasi yang begitu dominan tetap saja membuat benteng itu rapuh. "Saya sering memergoki anak-anak melompat pagar dan keluar. Saya memaklumi, lha wong lingkungannya seperti ini," tutur penduduk asli Putat Jaya ini.
Gangguan ini pula yang terus meracuni perilaku anak-anak di perkampungan sekitar kompleks. Minuman keras, tampilan seronok, hingga aktivitas mesum para PSK dan pria hidung belang menjadi santapan sehari-hari mereka. "Para orangtua hanya bisa pasrah, karena telanjur tinggal dalam lingkungan seperti itu (lokalisasi). Mereka yang peduli biasanya serius menyekolahkan dan belajar mengaji. Kalau tidak ya dibiarkan saja," imbuhnya.
Pengakuan Kasyan ini memang tidak mengada-ada. Tak jarang anak-anak usia SD dan SMP berkeliaran di sekitar wisma. Sebagian bermain biasa layaknya anak seusianya. Sementara sebagian lagi memanfaatkan peluang dari banyaknya tamu wisma, menjadi pengamen, tukang semir sepatu atau juga peminta-minta.
Segar dalam ingatan Kasyan, betapa mudahnya ST (16) terjerumus ke lembah hitam prostitusi. Menjadi PSK seperti perempuan-perempuan yang dulu memberinya uang. Ya, ST kecil saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Sepulang sekolah, dia biasa mampir ke beberapa wisma, menengadahkan tangan kepada para PSK dan tamu. Aktivitas itu dilakukan karena ST ingin mendapat tambahan uang jajan. Penghasilan orangtua yang pas-pasan, memaksa ST melakukannya.
Mulanya, tidak ada masalah dengan aktivitas mengemis ST. Begitu larut malam, dia pulang membagi hasil mengemis dengan orangtuanya. Begitu seterusnya, sampai sosok ST dikenal baik oleh para PSK maupun pelanggan yang datang. Tetapi siapa sangka, keakraban ini justru menjadi awal hancurnya masa depan ST. Gadis bertubuh bongsor ini mulai sering digoda oleh pengunjung wisma. Mulai dari dicolek-colek sampai diajak menemani menyanyi sebagaimana pemandu lagu (purel).
Karena diberi imbalan uang, ST mau saja. Sampai pada akhirnya dia berteman dengan minuman beralkohol. Lambat laun, ST semakin berani dan menuruti pelanggan yang mengajaknya tidur, dan resmi menjadi PSK. Kini, usia ST sudah 16 tahun. Di usia belia itu, ST sudah dikaruniai seorang anak dari laki-laki yang tidak jelas identitasnya.
Begitulah, kompleks lokalisasi memberi dampak buruk bagi perilaku anak-anak di sana. Bukan hanya bagi anak-anak perempuan, tetapi juga anak laki-laki. Minuman beralkohol, pertengkaran, kata-kata kotor, gaya busana seronok, hingga perilaku mesum para PSK menjadi santapan sehari-hari.
Terlambat Masuk Sekolah
Segala hal yang ada di kompleks lokalisasi membuat anak-anak menjadi lebih dewasa sebelum waktunya. Semua tergambar dari komunikasi antarteman sehari-hari. Gaya bicara mereka kasar cenderung jorok, bahkan tak sedikit pula yang berani coba-coba merokok atau menenggak minuman keras. SD Putat Jaya IV dan V sudah merasakan repotnya membina anak-anak itu.
Kepala Sekolah SDN Putat Jaya V Siti Furqonuayah mengatakan, hampir sebagian besar anak-anak yang tinggal di kompleks lokalisasi sulit diatur. Mereka bahkan sering sekali terlambat masuk sekolah atau bahkan bolos. "Saya hafal betul. Kalau anak-anak yang tinggal di sana, pasti masuknya terlambat atau juga bolos sekolah. Problemnya sama, karena bangun kesiangan."
Karena kebiasaan itu, sekolah terpaksa memberi toleransi. Mereka tidak berani bertindak keras sebagai bentuk kedisiplinan. "Kami takut mereka berontak dan tidak mau sekolah. Kami tidak ingin mereka kehilangan masa depan," imbuh guru yang sudah mengabdi enam tahun di SD samping lokalisasi itu.
Menurut dia, anak-anak kompleks sering terlambat karena terbiasa tidur larut. Selain karena gangguan suara musik yang kencang, mereka juga terbiasa begadang karena menunggu orangtuanya bekerja, baik yang sekadar menjadi juru parkir atau mereka yang punya wisma. "Anak-anak seperti ini jarang sekali diperhatikan. Orangtua sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga, untuk menemani belajar saja tidak bisa," tegasnya.
Menjadi kebiasaan anak-anak di kompleks lokalisasi, mereka akan langsung bermain begitu pulang dari sekolah. Pusat game Play Station (PS) menjadi tempat favorit anak-anak belia itu. Aktivitas semacam ini bisa mereka lakukan sampai malam hari. Sehingga mereka lupa kewajiban untuk belajar. Efeknya, anak-anak yang tinggal di sekitar lokalisasi lambat dalam belajar. Hampir setiap tahun nilai rapor mereka buruk. Ini pula yang menjadikan SDN Putat Jaya V tidak pernah berada di rangking teratas untuk urusan prestasi siswa. "Tertinggi se-Kecamatan Sawahan saja tidak pernah," keluh perempuan berkerudung ini.
Furqonuayah menyebutkan, dari total 229 siswa, 90 persen di antaranya tinggal di sekitar lokalisasi (Putat Jaya, Jarak, dan Dolly). Latar belakang mereka beragam. Ada yang anak dari keluarga biasa, hingga pemilik wisma (mucikari). "Yang orangtuanya tidak jelas juga banyak," tuturnya.
Meski begitu, Furqonuayah mencoba untuk telaten mengurus anak-anak yang tinggal di kompleks lokalisasi itu. Untuk mengejar ketertinggalan belajar misalnya, sekolah menyiapkan jam tambahan untuk mereka, berupa les mata pelajaran. Sementara, untuk mengubah perilaku liar, sekolah menerapkan pendidikan karakter untuk mereka. Materi ini diintegrasikan dengan seluruh mata pelajaran yang ada. "Sekalipun guru Matematika, kami wajibkan untuk menanamkan karakter pada anak. Tujuannya, biar mereka tidak terlalu liar," urainya.
Furqonuayah menambahkan, fasilitas belajar untuk anak-anak kompleks sejatinya cukup banyak. Sebab, banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan mahasiswa yang menjadi relawan untuk mereka. Di antaranya dengan mendirikan taman baca, Taman Pendidikan Alquran (TPA), hingga bimbingan belajar. Sayang, hanya sedikit anak-anak yang mau terlibat. Ingar-bingar lokalisasi menjadi penghalang bagi mereka. "Ini yang terus kami khawatirkan. Karena itu, mungkin penutupan lokalisasi bisa menjadi solusi," katanya.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim Supriono mengatakan, ada ratusan anak yang terancam masa depannya karena pengaruh buruk lokalisasi. Anak-anak tidak bisa menikmati masa kecilnya dengan baik dan terenggut masa depannya oleh ingar-bingar lokalisasi.
"Ada berapa banyak kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak di sana. Semua itu akibat pengaruh lingkungan. Bila mereka dibesarkan di lingkungan yang baik, tentu tidak sampai terjadi demikian. Menjadi tanggung jawab orangtua dan kita semua untuk menyelamatkan mereka," ungkap Supriono.
Hampir sepanjang hari, anak-anak itu disuguhi tontonan yang tidak manusiawi. Mereka benar-benar terjebak dalam kubangan lumpur. Sehingga sulit sekali untuk bangkit dan membersihkan diri. Anak-anak itu tentu tidak memilih untuk lahir dan besar di tempat seperti itu, berjuang di tengah lumpur kehidupan. Mari selamatkan mereka!
Begitulah, sekalipun disebut lokalisasi, tempat prostitusi di Putat Jaya ini tidak benar-benar terlokalisir. Tempat itu hadir di tengah-tengah permukiman padat penduduk. Berimpitan dengan hunian warga serta sejumlah tempat ibadah dan sekolahan. Masjid dan panti asuhan Muhammadiyah Al-Ukhwah di Jalan Putat Jaya II adalah salah satunya. Bangunan tiga lantai ini diapit beberapa wisma, depan, di kanan dan kiri. Lalu-lalang perempuan berbusana minim di sekitar masjid pun menjadi hal yang biasa terjadi.
Masyarakat yang menunaikan ibadah tetap mencoba khusyuk di tengah godaan syahwat. Sementara para Pekerja Seks Komersial (PSK) tetap asyik bersama dengan para tamu yang menemaninya. Dua hal kontras ini seolah tidak membuat kedua belah pihak terganggu. Mereka tetap damai dalam perbedaan. Menjalankan aktivitas sesuai dengan masing-masing pilihan.
Namun, tidak demikian dengan anak-anak panti. Tak sedikit dari mereka yang nekat menerobos pagar pembatas dan melompat ke pusat ingar-bingar lokalisasi ternama itu. Dentum irama musik di sekeliling panti membuat mereka penasaran. Belum lagi para penjaja nikmat yang tampil dengan busana seksi.
Pengasuh panti sebenarnya telah membuat peraturan ketat untuk mereka. Selain untuk keperluan sekolah dan mengaji, mereka tidak diperkenankan keluar. Kecuali bila siang hari. Itu sebabnya, tepat pukul 18.00 WIB pagar akan dikunci.
"Kata Pak Warno (pengasuh) mainnya di dalam saja. Tidak boleh keluar karena ada Mbak-mbak (PSK) di sana. Biar nggak bosan, saya dan teman-teman biasanya nonton TV sesudah mengaji dan belajar. Takut dimarahi kalau keluar," tutur Hanan (13), salah seorang anak panti.
Hanan tak memungkiri, kadang sesekali teman sesama panti nekat melompat keluar saat malam, untuk sekadar bermain dan mengintip aktivitas para PSK di dalam wisma. "Iseng saja, Mas. Abis itu balik lagi ke dalam," katanya polos.
Kasyan, penjaga masjid Muhammadiyah Putat Jaya II mengatakan, keberadaan panti asuhan dan masjid di kompleks lokalisasi memang lumayan menjadi benteng anak-anak dari lingkungan mereka yang buruk. Sebab, di sana anak-anak diajari mengaji dan kegiatan positif lainnya. Namun, aktivitas lokalisasi yang begitu dominan tetap saja membuat benteng itu rapuh. "Saya sering memergoki anak-anak melompat pagar dan keluar. Saya memaklumi, lha wong lingkungannya seperti ini," tutur penduduk asli Putat Jaya ini.
Gangguan ini pula yang terus meracuni perilaku anak-anak di perkampungan sekitar kompleks. Minuman keras, tampilan seronok, hingga aktivitas mesum para PSK dan pria hidung belang menjadi santapan sehari-hari mereka. "Para orangtua hanya bisa pasrah, karena telanjur tinggal dalam lingkungan seperti itu (lokalisasi). Mereka yang peduli biasanya serius menyekolahkan dan belajar mengaji. Kalau tidak ya dibiarkan saja," imbuhnya.
Pengakuan Kasyan ini memang tidak mengada-ada. Tak jarang anak-anak usia SD dan SMP berkeliaran di sekitar wisma. Sebagian bermain biasa layaknya anak seusianya. Sementara sebagian lagi memanfaatkan peluang dari banyaknya tamu wisma, menjadi pengamen, tukang semir sepatu atau juga peminta-minta.
Segar dalam ingatan Kasyan, betapa mudahnya ST (16) terjerumus ke lembah hitam prostitusi. Menjadi PSK seperti perempuan-perempuan yang dulu memberinya uang. Ya, ST kecil saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Sepulang sekolah, dia biasa mampir ke beberapa wisma, menengadahkan tangan kepada para PSK dan tamu. Aktivitas itu dilakukan karena ST ingin mendapat tambahan uang jajan. Penghasilan orangtua yang pas-pasan, memaksa ST melakukannya.
Mulanya, tidak ada masalah dengan aktivitas mengemis ST. Begitu larut malam, dia pulang membagi hasil mengemis dengan orangtuanya. Begitu seterusnya, sampai sosok ST dikenal baik oleh para PSK maupun pelanggan yang datang. Tetapi siapa sangka, keakraban ini justru menjadi awal hancurnya masa depan ST. Gadis bertubuh bongsor ini mulai sering digoda oleh pengunjung wisma. Mulai dari dicolek-colek sampai diajak menemani menyanyi sebagaimana pemandu lagu (purel).
Karena diberi imbalan uang, ST mau saja. Sampai pada akhirnya dia berteman dengan minuman beralkohol. Lambat laun, ST semakin berani dan menuruti pelanggan yang mengajaknya tidur, dan resmi menjadi PSK. Kini, usia ST sudah 16 tahun. Di usia belia itu, ST sudah dikaruniai seorang anak dari laki-laki yang tidak jelas identitasnya.
Begitulah, kompleks lokalisasi memberi dampak buruk bagi perilaku anak-anak di sana. Bukan hanya bagi anak-anak perempuan, tetapi juga anak laki-laki. Minuman beralkohol, pertengkaran, kata-kata kotor, gaya busana seronok, hingga perilaku mesum para PSK menjadi santapan sehari-hari.
Terlambat Masuk Sekolah
Segala hal yang ada di kompleks lokalisasi membuat anak-anak menjadi lebih dewasa sebelum waktunya. Semua tergambar dari komunikasi antarteman sehari-hari. Gaya bicara mereka kasar cenderung jorok, bahkan tak sedikit pula yang berani coba-coba merokok atau menenggak minuman keras. SD Putat Jaya IV dan V sudah merasakan repotnya membina anak-anak itu.
Kepala Sekolah SDN Putat Jaya V Siti Furqonuayah mengatakan, hampir sebagian besar anak-anak yang tinggal di kompleks lokalisasi sulit diatur. Mereka bahkan sering sekali terlambat masuk sekolah atau bahkan bolos. "Saya hafal betul. Kalau anak-anak yang tinggal di sana, pasti masuknya terlambat atau juga bolos sekolah. Problemnya sama, karena bangun kesiangan."
Karena kebiasaan itu, sekolah terpaksa memberi toleransi. Mereka tidak berani bertindak keras sebagai bentuk kedisiplinan. "Kami takut mereka berontak dan tidak mau sekolah. Kami tidak ingin mereka kehilangan masa depan," imbuh guru yang sudah mengabdi enam tahun di SD samping lokalisasi itu.
Menurut dia, anak-anak kompleks sering terlambat karena terbiasa tidur larut. Selain karena gangguan suara musik yang kencang, mereka juga terbiasa begadang karena menunggu orangtuanya bekerja, baik yang sekadar menjadi juru parkir atau mereka yang punya wisma. "Anak-anak seperti ini jarang sekali diperhatikan. Orangtua sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga, untuk menemani belajar saja tidak bisa," tegasnya.
Menjadi kebiasaan anak-anak di kompleks lokalisasi, mereka akan langsung bermain begitu pulang dari sekolah. Pusat game Play Station (PS) menjadi tempat favorit anak-anak belia itu. Aktivitas semacam ini bisa mereka lakukan sampai malam hari. Sehingga mereka lupa kewajiban untuk belajar. Efeknya, anak-anak yang tinggal di sekitar lokalisasi lambat dalam belajar. Hampir setiap tahun nilai rapor mereka buruk. Ini pula yang menjadikan SDN Putat Jaya V tidak pernah berada di rangking teratas untuk urusan prestasi siswa. "Tertinggi se-Kecamatan Sawahan saja tidak pernah," keluh perempuan berkerudung ini.
Furqonuayah menyebutkan, dari total 229 siswa, 90 persen di antaranya tinggal di sekitar lokalisasi (Putat Jaya, Jarak, dan Dolly). Latar belakang mereka beragam. Ada yang anak dari keluarga biasa, hingga pemilik wisma (mucikari). "Yang orangtuanya tidak jelas juga banyak," tuturnya.
Meski begitu, Furqonuayah mencoba untuk telaten mengurus anak-anak yang tinggal di kompleks lokalisasi itu. Untuk mengejar ketertinggalan belajar misalnya, sekolah menyiapkan jam tambahan untuk mereka, berupa les mata pelajaran. Sementara, untuk mengubah perilaku liar, sekolah menerapkan pendidikan karakter untuk mereka. Materi ini diintegrasikan dengan seluruh mata pelajaran yang ada. "Sekalipun guru Matematika, kami wajibkan untuk menanamkan karakter pada anak. Tujuannya, biar mereka tidak terlalu liar," urainya.
Furqonuayah menambahkan, fasilitas belajar untuk anak-anak kompleks sejatinya cukup banyak. Sebab, banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan mahasiswa yang menjadi relawan untuk mereka. Di antaranya dengan mendirikan taman baca, Taman Pendidikan Alquran (TPA), hingga bimbingan belajar. Sayang, hanya sedikit anak-anak yang mau terlibat. Ingar-bingar lokalisasi menjadi penghalang bagi mereka. "Ini yang terus kami khawatirkan. Karena itu, mungkin penutupan lokalisasi bisa menjadi solusi," katanya.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim Supriono mengatakan, ada ratusan anak yang terancam masa depannya karena pengaruh buruk lokalisasi. Anak-anak tidak bisa menikmati masa kecilnya dengan baik dan terenggut masa depannya oleh ingar-bingar lokalisasi.
"Ada berapa banyak kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak di sana. Semua itu akibat pengaruh lingkungan. Bila mereka dibesarkan di lingkungan yang baik, tentu tidak sampai terjadi demikian. Menjadi tanggung jawab orangtua dan kita semua untuk menyelamatkan mereka," ungkap Supriono.
Hampir sepanjang hari, anak-anak itu disuguhi tontonan yang tidak manusiawi. Mereka benar-benar terjebak dalam kubangan lumpur. Sehingga sulit sekali untuk bangkit dan membersihkan diri. Anak-anak itu tentu tidak memilih untuk lahir dan besar di tempat seperti itu, berjuang di tengah lumpur kehidupan. Mari selamatkan mereka!
(zik)