Kontras Kecam Pernyataan Gubernur Soal Dolly
A
A
A
SURABAYA - Pernyataan Gubernur Jawa Timur (Jatim) Soekarwo yang menyebut bahwa, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) ketika tidak menutup Lokalisasi Dolly menuai kecaman dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya.
Pasalnya, Soekarwo menilai orang yang hidup di lokalisasi merupakan orang yang tidak bermartabat. Ketika membiarkan orang hidup tidak bermartabat, maka pemerintah dinilai melanggar HAM.
Koordinator Divisi Monitoring dan Dokumentasi Kontras Surabaya, Fatkhul Khoir mengatakan, kata-kata atas alasan penutupan lokalisasi Dolly tidak pantas diucapkan seorang gubernur.
Selain kasar, alasan bahwa arti dan makna dari hidup bermartabat itu bermacam-macam. Tidak lantas bahwa, orang yang hidup dari menjual diri itu dikatakan tidak bermartabat.
“Tidak etis jika menyebut orang hidup di lokalisasi itu tidak bermartabat. Seharusnya, Soekarwo memiliki alasan lain yang tepat selain dari kalimat tersebut,” ujarnya, Jum’at (13/6/2014).
Khoir menilai, pemerintah perlu melakukan studi dan kajian mendalam atas dampak penutupan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara ini. Sebab, sejauh ini belum ada upaya konkrit dari pemerintah dalam mengatasi dampak jika Dolly ditutup.
Uang ganti rugi Rp3 juta untuk PSK dan Rp5 juta untuk mucikari juga sangat tidak sesuai. Tidak mungkin orang bisa membangun usaha dengan modal hanya sejumlah itu.
“Jika nanti setelah penutupan warga setempat justru hidupnya makin sengsara, maka pemerintah telah melanggar hak ekonomi warga,” paparnya.
Pasalnya, Soekarwo menilai orang yang hidup di lokalisasi merupakan orang yang tidak bermartabat. Ketika membiarkan orang hidup tidak bermartabat, maka pemerintah dinilai melanggar HAM.
Koordinator Divisi Monitoring dan Dokumentasi Kontras Surabaya, Fatkhul Khoir mengatakan, kata-kata atas alasan penutupan lokalisasi Dolly tidak pantas diucapkan seorang gubernur.
Selain kasar, alasan bahwa arti dan makna dari hidup bermartabat itu bermacam-macam. Tidak lantas bahwa, orang yang hidup dari menjual diri itu dikatakan tidak bermartabat.
“Tidak etis jika menyebut orang hidup di lokalisasi itu tidak bermartabat. Seharusnya, Soekarwo memiliki alasan lain yang tepat selain dari kalimat tersebut,” ujarnya, Jum’at (13/6/2014).
Khoir menilai, pemerintah perlu melakukan studi dan kajian mendalam atas dampak penutupan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara ini. Sebab, sejauh ini belum ada upaya konkrit dari pemerintah dalam mengatasi dampak jika Dolly ditutup.
Uang ganti rugi Rp3 juta untuk PSK dan Rp5 juta untuk mucikari juga sangat tidak sesuai. Tidak mungkin orang bisa membangun usaha dengan modal hanya sejumlah itu.
“Jika nanti setelah penutupan warga setempat justru hidupnya makin sengsara, maka pemerintah telah melanggar hak ekonomi warga,” paparnya.
(sms)