Penutupan Lokalisasi Dolly Bikin Cemas Pemkab Blitar
A
A
A
BLITAR - Pemerintah Kabupaten Blitar mencemaskan dampak penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya. Sebab, dari data Dinas Sosial Surabaya, ada sebanyak 47 warga Kabupaten Blitar yang menjadi penghuni tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara tersebut.
Menurut keterangan Kepala Dinas Sosial Pemkab Blitar Romelan, dari jumlah tersebut, empat orang di antaranya sudah memutuskan pulang ke kampung halaman. "Artinya kepulangan ini yang perlu diantisipasi. Apakah mereka tetap beraktivitas seperti pekerjaan lamanya atau berubah," ujar Romelan kepada wartawan, Kamis (12/6/2014).
Sementara, bagi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, penutupan Dolly sudah final. Praktik esek-esek legal yang menjadi sumber mata pencaharian sebagian orang, termasuk upeti sejumlah golongan tersebut, harus bersih dari Kota Pahlawan.
Meski muncul resistensi atau perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan, kepala daerah besutan PDI Perjuangan tersebut tidak gentar. Risma tetap berkeras hati menerapkan kebijakannya. Mulai 18 Juni 2014, seluruh penghuni wisma yang bercokol di sepanjang jalan, gang ataupun lorong, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, harus angkat kaki.
Setiap eks Pekerja Seks Komersial (PSK) Dolly, kata Romelan, akan memperoleh santunan sebesar Rp5 juta. Nominal bantuan tersebut terperinci atas item modal Rp3 juta, subsidi hidup selama tiga bulan dengan setiap bulan Rp600 ribu, serta biaya transportasi sebesar Rp250 ribu per orang. "Bantuan tersebut diberikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur," terang Romelan.
Mengingat pemberantasan prostitusi tidak mudah, Romelan khawatir para eks penghuni Dolly tetap melakukan praktik yang sama di daerah masing masing, khususnya Blitar. Mereka bisa saja secara terselubung berkedok salon kecantikan. Kemudian juga beralih profesi sebagai pemandu lagu (purel) yang menawarkan jasa plus. "Karenanya, sebagai antisipasi kita akan melakukan pendataan, termasuk melakukan pembinaan lanjutan serta pengawasan," pungkasnya.
Menurut keterangan Kepala Dinas Sosial Pemkab Blitar Romelan, dari jumlah tersebut, empat orang di antaranya sudah memutuskan pulang ke kampung halaman. "Artinya kepulangan ini yang perlu diantisipasi. Apakah mereka tetap beraktivitas seperti pekerjaan lamanya atau berubah," ujar Romelan kepada wartawan, Kamis (12/6/2014).
Sementara, bagi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, penutupan Dolly sudah final. Praktik esek-esek legal yang menjadi sumber mata pencaharian sebagian orang, termasuk upeti sejumlah golongan tersebut, harus bersih dari Kota Pahlawan.
Meski muncul resistensi atau perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan, kepala daerah besutan PDI Perjuangan tersebut tidak gentar. Risma tetap berkeras hati menerapkan kebijakannya. Mulai 18 Juni 2014, seluruh penghuni wisma yang bercokol di sepanjang jalan, gang ataupun lorong, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, harus angkat kaki.
Setiap eks Pekerja Seks Komersial (PSK) Dolly, kata Romelan, akan memperoleh santunan sebesar Rp5 juta. Nominal bantuan tersebut terperinci atas item modal Rp3 juta, subsidi hidup selama tiga bulan dengan setiap bulan Rp600 ribu, serta biaya transportasi sebesar Rp250 ribu per orang. "Bantuan tersebut diberikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur," terang Romelan.
Mengingat pemberantasan prostitusi tidak mudah, Romelan khawatir para eks penghuni Dolly tetap melakukan praktik yang sama di daerah masing masing, khususnya Blitar. Mereka bisa saja secara terselubung berkedok salon kecantikan. Kemudian juga beralih profesi sebagai pemandu lagu (purel) yang menawarkan jasa plus. "Karenanya, sebagai antisipasi kita akan melakukan pendataan, termasuk melakukan pembinaan lanjutan serta pengawasan," pungkasnya.
(zik)