Ukiran kayu peninggalan zaman RA Kartini ditelantarkan
A
A
A
PERKEMBANGAN seni ukir Jepara, Jawa Tengah, tak bisa dilepaskan dari peran RA Kartini. Berkat gagasan dan upaya nyatanya, potensi Jepara bisa dikenal luas hingga Batavia, bahkan ke luar negeri.
Pemerintah Belanda pun mengapresiasi kerja keras RA Kartini ini dengan mendirikan Openbare Amabtschool pada tahun 1929. Sekolah pertukangan zaman Belanda ini menjadi saksi bisu atas perjalanan seni ukir Jepara hingga berkembang luas seperti sekarang ini.
Sayang, berbagai hasil karya pelajar Openbare Amabtschool yang dihasilkan selama puluhan tahun itu dibiarkan telantar. Kondisinya memprihatinkan. Hasil buah tangan itu diletakkan sembarangan, bersamaan dengan peralatan band sekolah maupun peralatan olah raga yang ada di Sasana Adhi Praceka SMPN 6 Jepara.
Pemandangan memperihatinkan itu, disaksikan sendiri oleh Wakil Bupati Jepara Subroto, saat memasuki Sasana Adhi Praceka yang terletak di sebelah kanan pintu masuk SMPN 6 Jepara.
Dia yang didampingi Ketua Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik, dan Tenun Jepara Hadi Priyanto terlihat langsung menggeleng-gelengkan kepala seolah tidak terima hasil karya bersejarah itu dicampakkan.
Ukiran-ukiran itu merupakan karya para pelajar Openbare Ambatchscool dalam kurun waktu 1929–1960 yang mempunyai peran penting dalam perjalanan seni ukir Jepara, dan diletakkan di ruang berukuran 8x8 meter secara tak beraturan.
“Mestinya tidak seperti ini. Jelas ini sangat memprihatinkan,” kata Subroto, kepada wartawan, saat melakukan peninjauan langsung ke lokasi, Sabtu (4/12/2013).
Openbare Amabtschool merupakan kawah candradimuka para seniman ukir Jepara. Sebab di sekolah inilah generasi penerus seni ukir dididik. Meski seiring waktu status dan nama Openbare Amabtschool ini terus berubah, namun pendidikan seni ukir Jepara terus diajarkan di sekolah ini.
Saat masa-masa usai kemerdekaan, Openbare Amabtschool menjadi Sekolah Teknik Pertukangan. Saat Presiden RI pertama Soekarno berkunjung ke sekolah tersebut tahun 1955, status sekolah tersebut ditingkatkan menjadi STM jurusan Dekorasi Ukir. Lalu berubah lagi menjadi Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK).
Dan beberapa waktu lalu, sekolah ini berubah nama lagi menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Jepara. Bahkan meski “turun derajat” menjadi SMPN 6, namun pendidikan seni ukir tetap diajarkan kepada para anak didik, meski hanya lewat muatan lokal (mulok).
Karena tingginya nilai sejarah yang dimiliki, pemerintah pun menetapkan Openbare Ambatschool sebagai benda cagar budaya yang harus dilindungi eksistensinya.
Subroto sendiri sempat menyatakan kekagumannya terhadap hasil karya pelajar Openbare Ambatschool yang meski dengan peralatan sederhana, namun mampu menghasilkan karya-karya luar biasa. Bahkan, karena berkualitasnya hasil karya tersebut, Presiden Soekarno pun tertarik dan mengundang seniman ukir Jepara untuk menata Istana Negara.
Namun sayangnya, kata Subroto, sejarah panjang berikut status benda cagar budaya tak menjamin layaknya perawatan berbagai karya para pelajar Openbare Amabtschool yang dihasilkan selama puluhan tahun. Berbagai karya tersebut dalam kondisi berdebu yang secara tidak langsung menunjukkan jika benda-benda itu jarang dijamah.
“Apalagi dirawat. Berbagai karya ini merupakan salah satu rekam jejak sejarah ukir setelah artefak Masjid Mantingan. Kalau dirawat, berbagai karya ini bisa dijadikan Museum Mini Seni Ukir Jepara,” terangnya.
Ketua Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik, dan Tenun Jepara, Hadi Priyanto menilai, Sasana Adhi Praceka yang dijadikan tempat menyimpan karya pelajar Openbare Ambatchscool lebih mirip gudang.
Menurutnya, jika diinventarisir dengan rapi, dikelola dengan maksimal, maka berbagai hasil karya pelajar Openbare Ambatchscool bisa menjadi salah satu daya tarik wisata baru di Kota Ukir.
“Ini tentu sekaligus juga akan menguatkan citra Jepara sebagai the world of carving centre. Ini sejarah kita mestinya harus dihargai dan dilestarikan demi anak cucu,” harapnya.
Sementara itu, Kepala Sekolah SMPN 6 Darsono mengakui tidak maksimalnya perawatan berbagai hasil karya pelajar Openbare Ambatchscool, salah satunya dipengaruhi karena faktor anggaran.
Dia berharap ke depan, ada anggaran khusus sehingga berbagai karya yang mempunyai peran penting dalam sejarah ukir Jepara itu bisa dirawat dan sekaligus dikenalkan kepada generasi muda maupun warga luar Jepara yang berkunjung ke Bumi Kartini.
“Jadi selain untuk wisata juga bisa menjadi sarana pembelajaran,” tandasnya.
Pemerintah Belanda pun mengapresiasi kerja keras RA Kartini ini dengan mendirikan Openbare Amabtschool pada tahun 1929. Sekolah pertukangan zaman Belanda ini menjadi saksi bisu atas perjalanan seni ukir Jepara hingga berkembang luas seperti sekarang ini.
Sayang, berbagai hasil karya pelajar Openbare Amabtschool yang dihasilkan selama puluhan tahun itu dibiarkan telantar. Kondisinya memprihatinkan. Hasil buah tangan itu diletakkan sembarangan, bersamaan dengan peralatan band sekolah maupun peralatan olah raga yang ada di Sasana Adhi Praceka SMPN 6 Jepara.
Pemandangan memperihatinkan itu, disaksikan sendiri oleh Wakil Bupati Jepara Subroto, saat memasuki Sasana Adhi Praceka yang terletak di sebelah kanan pintu masuk SMPN 6 Jepara.
Dia yang didampingi Ketua Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik, dan Tenun Jepara Hadi Priyanto terlihat langsung menggeleng-gelengkan kepala seolah tidak terima hasil karya bersejarah itu dicampakkan.
Ukiran-ukiran itu merupakan karya para pelajar Openbare Ambatchscool dalam kurun waktu 1929–1960 yang mempunyai peran penting dalam perjalanan seni ukir Jepara, dan diletakkan di ruang berukuran 8x8 meter secara tak beraturan.
“Mestinya tidak seperti ini. Jelas ini sangat memprihatinkan,” kata Subroto, kepada wartawan, saat melakukan peninjauan langsung ke lokasi, Sabtu (4/12/2013).
Openbare Amabtschool merupakan kawah candradimuka para seniman ukir Jepara. Sebab di sekolah inilah generasi penerus seni ukir dididik. Meski seiring waktu status dan nama Openbare Amabtschool ini terus berubah, namun pendidikan seni ukir Jepara terus diajarkan di sekolah ini.
Saat masa-masa usai kemerdekaan, Openbare Amabtschool menjadi Sekolah Teknik Pertukangan. Saat Presiden RI pertama Soekarno berkunjung ke sekolah tersebut tahun 1955, status sekolah tersebut ditingkatkan menjadi STM jurusan Dekorasi Ukir. Lalu berubah lagi menjadi Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK).
Dan beberapa waktu lalu, sekolah ini berubah nama lagi menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Jepara. Bahkan meski “turun derajat” menjadi SMPN 6, namun pendidikan seni ukir tetap diajarkan kepada para anak didik, meski hanya lewat muatan lokal (mulok).
Karena tingginya nilai sejarah yang dimiliki, pemerintah pun menetapkan Openbare Ambatschool sebagai benda cagar budaya yang harus dilindungi eksistensinya.
Subroto sendiri sempat menyatakan kekagumannya terhadap hasil karya pelajar Openbare Ambatschool yang meski dengan peralatan sederhana, namun mampu menghasilkan karya-karya luar biasa. Bahkan, karena berkualitasnya hasil karya tersebut, Presiden Soekarno pun tertarik dan mengundang seniman ukir Jepara untuk menata Istana Negara.
Namun sayangnya, kata Subroto, sejarah panjang berikut status benda cagar budaya tak menjamin layaknya perawatan berbagai karya para pelajar Openbare Amabtschool yang dihasilkan selama puluhan tahun. Berbagai karya tersebut dalam kondisi berdebu yang secara tidak langsung menunjukkan jika benda-benda itu jarang dijamah.
“Apalagi dirawat. Berbagai karya ini merupakan salah satu rekam jejak sejarah ukir setelah artefak Masjid Mantingan. Kalau dirawat, berbagai karya ini bisa dijadikan Museum Mini Seni Ukir Jepara,” terangnya.
Ketua Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik, dan Tenun Jepara, Hadi Priyanto menilai, Sasana Adhi Praceka yang dijadikan tempat menyimpan karya pelajar Openbare Ambatchscool lebih mirip gudang.
Menurutnya, jika diinventarisir dengan rapi, dikelola dengan maksimal, maka berbagai hasil karya pelajar Openbare Ambatchscool bisa menjadi salah satu daya tarik wisata baru di Kota Ukir.
“Ini tentu sekaligus juga akan menguatkan citra Jepara sebagai the world of carving centre. Ini sejarah kita mestinya harus dihargai dan dilestarikan demi anak cucu,” harapnya.
Sementara itu, Kepala Sekolah SMPN 6 Darsono mengakui tidak maksimalnya perawatan berbagai hasil karya pelajar Openbare Ambatchscool, salah satunya dipengaruhi karena faktor anggaran.
Dia berharap ke depan, ada anggaran khusus sehingga berbagai karya yang mempunyai peran penting dalam sejarah ukir Jepara itu bisa dirawat dan sekaligus dikenalkan kepada generasi muda maupun warga luar Jepara yang berkunjung ke Bumi Kartini.
“Jadi selain untuk wisata juga bisa menjadi sarana pembelajaran,” tandasnya.
(san)