Korupsi, mantan Setda Garut dibui
Kamis, 20 September 2012 - 02:08 WIB

Korupsi, mantan Setda Garut dibui
A
A
A
Sindonews.com – Terpidana kasus korupsi dana makan dan minum (Mamin) Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Garut Tahun Anggaran 2007, Anton Heryanto, menyerahkan diri ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut sekira pukul 11.00 WIB, Rabu 19 September 2012.
Oleh Kejari Garut, mantan Kasi Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Garut ini langsung diserahkan ke Lapas Kelas IIB Garut untuk menjalani hukuman 5 tahun penjara.
Kasi Intelejen Kejari Garut Koswara mengatakan, pelaksanaan eksekusi terpidana didasarkan atas Putusan Mahkamah Agung nomor 307K/Pid.Sus/2011 tertanggal 25 Mei 2011 lalu. Dalam putusan tersebut, tambah Koswara, terpidana terbukti bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
“MA menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Anton. Dia terbukti bersalah dan harus dieksekusi,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu 19 September 2012.
Diungkapkan Koswara, sebelumnya pihak Kejari Garut sudah berencana untuk mengeksekusi terdakwa pada Agustus lalu dengan surat perintah Kepala Kejari Garut bernomor 11/0.2.16/Fu.1/08/2012 tanggal 2 Agustus 2012. Namun karena terpidana Anton tidak ada di rumah, proses eksekusi tersebut belum dapat dilakukan.
“Sekarang, dia beserta dua orang kuasa hukumnya sudah legowo datang kepada kita dan menyerahkan diri. Ya langsung kita laksanakan putusan dari MA dengan menyerahkan dia ke Lapas,” ujarnya.
Selain menolak permohonan kasasi dan menetapkan bersalah, tambah Koswara, putusan MA juga mengharuskan terpidana Anton membayar denda sebesar Rp200 juta subsider 3 bulan dan uang pengganti sebesar Rp135 juta. Apabila tidak dapat membayar uang pengganti, terpidana Anton mesti menggantinya dengan hukuman 1 tahun penjara.
“Tugas kita dalam masalah Anton sudah selesai. Kewenangan saat ini ada di Lapas karena yang bersangkutan sudah kita serahkan untuk dibina selama 5 tahun penjara dipotong masa tahanan,” ucapnya.
Kuasa hukum terpidana Anton, Yusef Mulyana, mengatakan, untuk sementara kliennya akan melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh MA. Namun karena merasa tidak puas, kliennya tersebut berencana akan mengajukan peninjauan kembali (PK) atas sejumlah putusan yang telah dilalui, yakni putusan tingkat pengadilan, tingkat banding, dan kasasi.
“Klien kami tidak puas karena kerugian negara yang disebabkan olehnya tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut klien kami, kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya hanya sebesar Rp500 ribu. Bukan sampai ratusan juta atau miliaran seperti yang dituduhkan. Jadi hukuman 5 tahun penjara, dinilai sangat kurang tepat,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, kasus korupsi dana makan dan minum di Setda Kabupaten Garut sendiri dinilai telah merugikan negara sebesar Rp4,8 miliar.
Perbuatan yang dilakukan terpidana Anton diantaranya adalah pada Januari 2007 lalu, menyuruh Erlan Rivan (mantan Kasi Perbendaharaan BPKD) dan Yaya Zakaria (mantan Kasi Perbelanjaan BPKD) untuk memenuhi kebutuhan Bupati Garut Agus Supriadi dengan mengambil uang dari dana makan minum.
Perintah Anton tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Erlan dengan menyuruh bawahannya, Yaya, untuk membuat surat perintah mencairkan (SPM) fiktif yang tanpa dilengkapi dengan dokumen pendukung. Selama satu semester pertama tahun 2007, tercatat sebanyak 105 SPM fiktif telah dikeluarkan dengan nilai kerugian negara sebesar Rp4,8 miliar.
Oleh Kejari Garut, mantan Kasi Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Garut ini langsung diserahkan ke Lapas Kelas IIB Garut untuk menjalani hukuman 5 tahun penjara.
Kasi Intelejen Kejari Garut Koswara mengatakan, pelaksanaan eksekusi terpidana didasarkan atas Putusan Mahkamah Agung nomor 307K/Pid.Sus/2011 tertanggal 25 Mei 2011 lalu. Dalam putusan tersebut, tambah Koswara, terpidana terbukti bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
“MA menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Anton. Dia terbukti bersalah dan harus dieksekusi,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu 19 September 2012.
Diungkapkan Koswara, sebelumnya pihak Kejari Garut sudah berencana untuk mengeksekusi terdakwa pada Agustus lalu dengan surat perintah Kepala Kejari Garut bernomor 11/0.2.16/Fu.1/08/2012 tanggal 2 Agustus 2012. Namun karena terpidana Anton tidak ada di rumah, proses eksekusi tersebut belum dapat dilakukan.
“Sekarang, dia beserta dua orang kuasa hukumnya sudah legowo datang kepada kita dan menyerahkan diri. Ya langsung kita laksanakan putusan dari MA dengan menyerahkan dia ke Lapas,” ujarnya.
Selain menolak permohonan kasasi dan menetapkan bersalah, tambah Koswara, putusan MA juga mengharuskan terpidana Anton membayar denda sebesar Rp200 juta subsider 3 bulan dan uang pengganti sebesar Rp135 juta. Apabila tidak dapat membayar uang pengganti, terpidana Anton mesti menggantinya dengan hukuman 1 tahun penjara.
“Tugas kita dalam masalah Anton sudah selesai. Kewenangan saat ini ada di Lapas karena yang bersangkutan sudah kita serahkan untuk dibina selama 5 tahun penjara dipotong masa tahanan,” ucapnya.
Kuasa hukum terpidana Anton, Yusef Mulyana, mengatakan, untuk sementara kliennya akan melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh MA. Namun karena merasa tidak puas, kliennya tersebut berencana akan mengajukan peninjauan kembali (PK) atas sejumlah putusan yang telah dilalui, yakni putusan tingkat pengadilan, tingkat banding, dan kasasi.
“Klien kami tidak puas karena kerugian negara yang disebabkan olehnya tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut klien kami, kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya hanya sebesar Rp500 ribu. Bukan sampai ratusan juta atau miliaran seperti yang dituduhkan. Jadi hukuman 5 tahun penjara, dinilai sangat kurang tepat,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, kasus korupsi dana makan dan minum di Setda Kabupaten Garut sendiri dinilai telah merugikan negara sebesar Rp4,8 miliar.
Perbuatan yang dilakukan terpidana Anton diantaranya adalah pada Januari 2007 lalu, menyuruh Erlan Rivan (mantan Kasi Perbendaharaan BPKD) dan Yaya Zakaria (mantan Kasi Perbelanjaan BPKD) untuk memenuhi kebutuhan Bupati Garut Agus Supriadi dengan mengambil uang dari dana makan minum.
Perintah Anton tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Erlan dengan menyuruh bawahannya, Yaya, untuk membuat surat perintah mencairkan (SPM) fiktif yang tanpa dilengkapi dengan dokumen pendukung. Selama satu semester pertama tahun 2007, tercatat sebanyak 105 SPM fiktif telah dikeluarkan dengan nilai kerugian negara sebesar Rp4,8 miliar.
(ysw)