Sungkono, Gerilyawan Pendiam Jadi Panutan Pejuang 10 Nopember

Sabtu, 28 Maret 2020 - 05:00 WIB
Sungkono, Gerilyawan Pendiam Jadi Panutan Pejuang 10 Nopember
Sungkono, Gerilyawan Pendiam Jadi Panutan Pejuang 10 Nopember
A A A
Darah arek-arek Surabaya sudah mendidih di sepanjang sore sampai malam, 9 November 1945. Mereka berkumpul, membunuh dinginnya malam sambil menunggu seruan untuk bergerak, dari seorang pria berusia 31 tahun yang menjadi panutan mereka, Kolonel Sungkono.

Di ujung pintu Markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jalan Pregolan 4, Surabaya, sosok dingin yang jarang tersenyum itu keluar. Menatap serangkaian pasang mata dari arek-arek Suroboyo yang sudah menunggunya dengan gelisah. Membuang rasa kantuk dan sebagian sudah memegang senjata.
Sungkono, Gerilyawan Pendiam Jadi Panutan Pejuang 10 Nopember

"Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota Surabaya. Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini. Kalau saudara-saudara mau meninggalkan kota, saya juga tidak menahan, tapi saya akan mempertahankan kota sendiri,” kata Sungkono pada arek-arek Suroboyo dengan kedalaman suaranya seperti dikutip dari Surabaya 1945: Sakral Tanahku.

Para pejuang muda Surabaya seperti membeku mendengar pidato Sungkono. Kata-kata itu menusuk pikiran mereka, menyulut bara perjuangan yang sudah terbakar. Membuat bulu bergidik. Mereka tak mau pergi, arek-arek Suroboyo memilih untuk berperang bersama Sungkono, Komandan BKR Kota Surabaya ketika peristiwa 10 November 1945.

Informasi berperang langsung menyebar. Arek-arek Suroboyo terus berkumpul, Sungkono yang begitu piawai di lapangan merangkul semua pejuang. Melontarkan beberapa kata penyemangat, bekal pertarungan di medan tempur. Meletakan siasat dalam mempertahankan kota untuk terus berjuang melawan Inggis dan Belanda.
Sungkono, Gerilyawan Pendiam Jadi Panutan Pejuang 10 Nopember

Pikiran Sungkono sejak sore terpecah. Dia berhadapan dengan musuh yang kuat, dan dirinya harus memastikan keamanan seisi kota. Memastikan keselamatan keluarga pejuang. Ultimatum sempat disampaikan Mayor Jenderal Mansergh yang berkoar membawa puluhan ribu pasukan Inggris yang siap meratakan Surabaya.

Segala taktik perang dan kepemimpinan Sungkono berhasil menguatkan kembali barisan perjuangan yang sempat kendur. Tak ada yang mati sia-sia di medan perang. Barisan perjuangan itu lah yang berhasil memukul mundur tentara sekutu yang sempat membombardir Surabaya dari berbagai lini.

Sungkono begitu dominan dalam perannya di depan arek-arek Suroboyo yang sedang mendidih dalam "battle of Surabaya". Sungkono berada dalam posisi Panglima Angkatan Pertahanan Surabaya. Dalam perang tersebut, Sungkono mengambil posisi sebagai komandan pertempuran. Medan perang menjadi dapur nasionalime baginya.

Bukan cuma pemberi komando atau perancang strategi yang ulung, Sungkono juga berhasil menempatkan diri sebagai inspirasi pertempuran. Di tengah pertempuran Surabaya, para pejuang bangsa sempat mengalami tekanan ketika tentara sekutu mengultimatum Indonesia, khususnya Surabaya.
Sungkono, Gerilyawan Pendiam Jadi Panutan Pejuang 10 Nopember

Sungkono memutuskan naik mimbar ketika melihat pasukannya mulai kendor. Dalam pidatonya, Sungkono berseru di hadapan para pejuang, ia akan melawan tentara sekutu meski sendirian. Pidato itu lah yang menginspirasi semangat ribuan arek Surabaya dan prajuritnya yang tergabung dalam Unit 66.

Baku tembak yang memerahkan telingga terjadi selama 21 hari itu tercatat sebagai salah satu pertempuran paling heroik bagi bangsa Indonesia. Sebuah hari yang jadi puncak pertempuran itu bahkan ditetapkan sebagai Hari Pahlawan, 10 November 1945.

Pertempuran 10 November 1945 adalah pertempuran besar. Selama ini nama Bung Tomo begitu lekat dalam peristiwa heoik di Surabaya itu. Bung Tomo adalah penyiar radio dan jurnalis pada masa itu. Namanya tersohor lewat pidato yang berhasil membakar semangat warga Surabaya di masa pertempuran. Pascaperang Surabaya, Bung Tomo ditarik ke Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat. Ia juga diberikan pangkat militer Jenderal Mayor.

Bung Tomo juga dilantik menjadi Staf Tinggi Markas Besar Umum dan diangkat menjadi Kepala Perlengkapan di Kementerian Pertahanan. Posisi strategis lainnya, Bung Tomo belakangan juga diangkat sebagai anggota staf gabungan Angkatan Perang Repbulik Indonesia.

Kedua tokoh pergerakan ini memainkan peran yang berbeda. Bung Tomo mampu mengerakan arek-arek Suroboyo lewat pidato epiknya di radio. Dan Sungkono adalah eksekutor lapangan yang meracik semua strategi perjuangan. Mempertahankan kota dan memukul mundur pasukan sekutu.

Tangan dingin Sungkono telah mencatatkan namanya sebagai salah satu tokoh penting dalam mempertahankan Surabaya. Mengembalikan semangat dan ciri khas arek-arek Suroboyo yang tak pernah menyerah.

Meskipun pendiam, Sungkono telah membuktikan ramainya pertempuran di Surabaya. Pasukan sekutu tak pernah lupa, ada seorang pemuda yang tak pernah lelah mempertahankan kotanya.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9187 seconds (0.1#10.140)