Lasem, Lokasi Pendaratan Pertama Orang Tionghoa di Pulau Jawa
A
A
A
LASEM menyimpan sejarah dan kaya akan budaya. Deretan bangunan kuno hingga kini masih berdiri kokoh di sepanjang jalan dan gang masuk ke perkampungan.
Lasem merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah itu dikenal sebagai “Tiongkok Kecil” ini juga menjadi rumah keberagaman. Di antaranya yakni masyarakatnya memiliki kesadaran toleransi yang tinggi, hidup berdampingan di atas perbedaan ras, suku dan agama.
Lasem dalam sejarahnya, tempat awal pendaratan orang Tionghoa di Pulau Jawa. Sehingga banyak perkampungan Tionghoa dengan bangunan rumah kuno yang unik, salah satunya di Jalan Karangturi. Sebagian lagi berada di Desa Soditan.
Sebanyak tiga kelenteng berdiri megah di kecamatan ini. Ketiganya yaitu Kelenteng Cu An Kiong di Jalan Dasun, Kelenteng Gie Yong Bio di Jalan Babagan dan Kelenteng Karangturi Po An Bio.
Menariknya, masyarakat Tionghoa dapat hidup beriringan dengan keturunan Jawa, bahkan kalangan santri. Terbukti, di Lasem juga terdapat puluhan pondok pesantren yang tua. Beberapa di antaranya bahkan bangunannya berarsitektur China. Seperti Ponpes Al Hidayat Asy Syakiriyyah di Soditan dan Ponpes Kauman di Jalan Karangturi.
“Kalau toleransi di Lasem itu jempol,” ujar salah seorang keturunan Tionghoa, Oenardi alias Oen Liang saat ditemui di rumahnya Jalan Karangturi, Kecamatan Lasem. Sejak lahir, kata pria berusia 60 tahun ini, tidak ada konflik antar suku, agama dan ras di Lasem. Mereka hidup berdampingan dan saling menghargai.
“Kalau ada orang Tionghoa meninggal, ya orang muslim ikut takziyah. Begitu sebaliknya. Di sini aman, nyaman. Di sini ada kelenteng, berdekatan dengan pesantren. Semua membaur saling menghormati,” tuturnya.
Dalam perayaan Imlek, Oenardi menambahkan, kelenteng terbuka bagi siapapun untuk saling bertemu dan menikmati makanan yang disajikan.“Wah, kalau pas Imlek banyak warga datang dari berbagai kalangan. Islam, Kristen dipersilakan mnikmati hidangan seperti kue keranjang. Asalkan sopan karena kelenteng tempat ibadah,” bebernya.
Pengasuh Ponpes Al Hidayat Asy Syakiriyyah, Gus Farih Fuadi menyampaikan bahwa sikap toleransi di Lasem sudah terjalin sejak lama. Ponpes yang diasuhnya itupun mulanya adalah bangunan tempat penginapan masyarakat Tionghoa. Bahkan pintu ruang tamu di pesantrennya pun masih terdapat tulisan China.
“Pesantren ini didirikan Abah saya sekitar tahun 1985 lalu. Dulunya ini bangunan untuk penginapan masyarakat Tionghoa. Dibeli Abah dan dijadikan pesantren. Dan pintu itu memang asli masih ada tulisan huruf China,” ungkapnya.
Selama ini, santrinya membaur dengan masyarakat keturunan Tionghoa. Banyak juga wisatawan datang ke pesantren ini untuk belajar bagaimana menjaga toleransi. “Alhamdulillah tidak pernah ada apa-apa. Semuanya saling melengkapi. Banyak yang datang ke sini menanyakan sejarah toleransi,” terang Gus Farih.
Kenyamanan dan ketenangan hidup di tengah keberagaman juga dirasakan kaum Nasrani. Di antara bangunan kuno Tionghoa di Desa Soditan berdiri dua Gereja, yakni Gereja Bethel Indonesia dan Gereja Yesus Sejati. Pendeta Gereja Bethel Indonesia, Yonatan Kukuh mengaku dapat hidup aman dan nyaman di lingkungan beragam di Lasem.
“Toleransi di sini terbangun sudah sejak lama. Masyarakat dari berbagai suku, agama ini hidup berdampingan dan saling menghormati,” kata Yonatan.
Kehidupan toleransi di Lasem, menurutnya perlu dilestarikan. “Toleransi di Lasem bukan hanya sekadar wacana. Jadi, ini perlu dilestarikan,” katanya.
Lasem merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah itu dikenal sebagai “Tiongkok Kecil” ini juga menjadi rumah keberagaman. Di antaranya yakni masyarakatnya memiliki kesadaran toleransi yang tinggi, hidup berdampingan di atas perbedaan ras, suku dan agama.
Lasem dalam sejarahnya, tempat awal pendaratan orang Tionghoa di Pulau Jawa. Sehingga banyak perkampungan Tionghoa dengan bangunan rumah kuno yang unik, salah satunya di Jalan Karangturi. Sebagian lagi berada di Desa Soditan.
Sebanyak tiga kelenteng berdiri megah di kecamatan ini. Ketiganya yaitu Kelenteng Cu An Kiong di Jalan Dasun, Kelenteng Gie Yong Bio di Jalan Babagan dan Kelenteng Karangturi Po An Bio.
Menariknya, masyarakat Tionghoa dapat hidup beriringan dengan keturunan Jawa, bahkan kalangan santri. Terbukti, di Lasem juga terdapat puluhan pondok pesantren yang tua. Beberapa di antaranya bahkan bangunannya berarsitektur China. Seperti Ponpes Al Hidayat Asy Syakiriyyah di Soditan dan Ponpes Kauman di Jalan Karangturi.
“Kalau toleransi di Lasem itu jempol,” ujar salah seorang keturunan Tionghoa, Oenardi alias Oen Liang saat ditemui di rumahnya Jalan Karangturi, Kecamatan Lasem. Sejak lahir, kata pria berusia 60 tahun ini, tidak ada konflik antar suku, agama dan ras di Lasem. Mereka hidup berdampingan dan saling menghargai.
“Kalau ada orang Tionghoa meninggal, ya orang muslim ikut takziyah. Begitu sebaliknya. Di sini aman, nyaman. Di sini ada kelenteng, berdekatan dengan pesantren. Semua membaur saling menghormati,” tuturnya.
Dalam perayaan Imlek, Oenardi menambahkan, kelenteng terbuka bagi siapapun untuk saling bertemu dan menikmati makanan yang disajikan.“Wah, kalau pas Imlek banyak warga datang dari berbagai kalangan. Islam, Kristen dipersilakan mnikmati hidangan seperti kue keranjang. Asalkan sopan karena kelenteng tempat ibadah,” bebernya.
Pengasuh Ponpes Al Hidayat Asy Syakiriyyah, Gus Farih Fuadi menyampaikan bahwa sikap toleransi di Lasem sudah terjalin sejak lama. Ponpes yang diasuhnya itupun mulanya adalah bangunan tempat penginapan masyarakat Tionghoa. Bahkan pintu ruang tamu di pesantrennya pun masih terdapat tulisan China.
“Pesantren ini didirikan Abah saya sekitar tahun 1985 lalu. Dulunya ini bangunan untuk penginapan masyarakat Tionghoa. Dibeli Abah dan dijadikan pesantren. Dan pintu itu memang asli masih ada tulisan huruf China,” ungkapnya.
Selama ini, santrinya membaur dengan masyarakat keturunan Tionghoa. Banyak juga wisatawan datang ke pesantren ini untuk belajar bagaimana menjaga toleransi. “Alhamdulillah tidak pernah ada apa-apa. Semuanya saling melengkapi. Banyak yang datang ke sini menanyakan sejarah toleransi,” terang Gus Farih.
Kenyamanan dan ketenangan hidup di tengah keberagaman juga dirasakan kaum Nasrani. Di antara bangunan kuno Tionghoa di Desa Soditan berdiri dua Gereja, yakni Gereja Bethel Indonesia dan Gereja Yesus Sejati. Pendeta Gereja Bethel Indonesia, Yonatan Kukuh mengaku dapat hidup aman dan nyaman di lingkungan beragam di Lasem.
“Toleransi di sini terbangun sudah sejak lama. Masyarakat dari berbagai suku, agama ini hidup berdampingan dan saling menghormati,” kata Yonatan.
Kehidupan toleransi di Lasem, menurutnya perlu dilestarikan. “Toleransi di Lasem bukan hanya sekadar wacana. Jadi, ini perlu dilestarikan,” katanya.
(shf)