Tokoh Adat Papua: 1 Desember Merupakan Skenario Licik Belanda
A
A
A
JAYAPURA - Tokoh adat Papua , Ondofolo Yanto Eluay menyatakan, sejarah 1 Desember yang oleh sebagian kelompok diperingati sebagai Hari Papua Merdeka sebenarnya merupakan skenario licik Belanda untuk menguasai Bumi Cendrawasih.
Ondofolo yang merupakan anak dari tokoh pejuang Papua Merdeka, Theys Hiyo Eluay memaparkan skenario Belanda menguasai Papua itu dilakukan dengan membentuk negara boneka. (Baca juga: Menko Polhukam Tegaskan Jalan untuk Papua Merdeka Sudah Tertutup)
"Saya sebagai anak Papua, sekaligus anak dari Ondofolo dan pejuang Papua Merdeka kala itu. Setelah mempelajari semua sejarah yang ada, saya temukan bahwa 1 Desember 1961 yang disebut-sebut sebagai hari Papua Merdeka itu tidaklah benar. Karena tidak ada Proklamasi kemerdekaan Papua di saat itu," kata Yanto, Selasa (26/11/2019).
Ketua Golkar Kabupaten Jayapura ini melanjutkan, saat itu yang ada justru dibentuknya New Quinea Rad atau semacam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua. (Baca juga 154 Anggota OPM Kembali ke Pangkuan Indonesia)
"Saya pahami pada 1 Besember 1961 itu Belanda mendirikan New Quinea Rad atau DPR Papua. Mereka baru mempersiapkan bendera, kemudian lagu kebangsaan dan lainnya. Namun untuk memproklamirkan kemerdekaan itu tidak ada. Ini harus dipahami oleh rakyat Papua, dan ini adalah skenario Belanda," ungkapnya.
Skenario atas 1 Desember itu menurut dia dilakukan karena posisi Belanda yang sudah tidak kuat lagi di Papua. Belanda sudah kalah diplomasi dengan Indonesia di kancah internasional, terutama di PBB. Indonesia membaca gelagat licik Belanda itu. (Baca juga: Tokoh Adat Jayapura: 1 Desember Bukan Hari Papua Merdeka)
"Belanda menggunakan pendekatan berbeda kepada Papua, yakni dengan pendekatan Glory (agama), meski tujuan utamanya adalah 3 G, yakni Gold, Gospel dan Glory. Namun Glory yang ditunjukan untuk mengambil hati rakyat Papua. Sehingga rakyat Papua seolah tidak merasa dijajah Belanda, padahal ada tujuan gold di balik itu," beber Yanto.
Pembentukan New Quinea Rad oleh Belanda juga dilakukan untuk menarik hati rakyat Papua, yang seolah-olah akan memperjuangkan kemerdekaan Papua. Padahal sesungguhnya Belanda sudah kalah di PBB, dan pembentukan New Quinea Rad dengan janji kemerdekaan setelah 10 tahun pasca 1961 itu.
Belanda setelah kalah diplomasi dengan Indonesia di PBB melakukan upaya untuk tetap eksis di Irian Jaya (Papua). Salah satu skenarionya adalah membentuk Dewan New Quinea Rad dengan tujuan Papua bisa berdiri sendiri. "Nantinya kepentingan Belanda bisa masuk di situ. Ini adalah akal-akalan Belanda,"ucapnya.
Selanjutnya pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya soal Trikora, dengan salah satu poinnya untuk membubarkan negara boneka Belanda. Dan setelah adanya pergantian Presiden oleh Soeharto, diplomasi Indonesia gencar dilakukan, termasuk adanya New York Egreeman. (Baca juga: Mahfud: Waspadai Propaganda Politik Jelang Ulang Tahun OPM)
"Jadi kalau janji Belanda, 10 tahun pasca 1 Desember 1961 itu Papua Merdeka, tibanya pada 1970, maka Indonesia dengan diplomasinya, menggelar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang di bawah pengawasan PBB," urainya.
Pepera diikuti sekitar 1.025 ribu tokoh Papua, yang merupakan perwakilan dari 7 Kabupaten di Papua kala itu. "Ini sah, karena mewakili rakyat Papua. Kalau dibilang kurang ini itu, maka kita harus pahami situasi saat itu, minimnya sarana komunikasi dan geografis yang sulit, maka seribuan itu sudah sangat mewakili suara rakyat Papua. Kalau harus 'one man one vot' itu tidak bisa dengan kondisi saat itu," ungkap dia.
Atas dasar itu, Yanto meminta semua rakyat Papua tahu atas sejarah kala itu. Tanggal 1 Desember yang disebut Hari Papua Merdeka tidak lah benar, dan hanya menimbulkan pertumpahan darah rakyat Papua. (Baca juga: Jelang 1 Desember, Pengamanan Titik Rawan di Wamena Papua Diperkuat)
"Kondisi ini yang kita alami, orang tua kami yang harus meregang nyawa atas perjuangan untuk rakyat Papua. Padahal kita termakan skenario Belanda. Kami sebetulnya berencana menggugat Belanda atas permainan licik mereka, hingga membuat seperti ini. Belanda harusnya meminta maaf kepada rakyat Papua atas tumpahan darah rakyat, yang terjadi atas skenario mereka," katanya.
Dia menegaskan agar masyarakat tidak terlena dengan Papua Merdeka. "Kembangkan diriuntuk Papua yang lebih baik. Kita harus berkarya maju, Papua harus sejahtera, kalau bukan kita siapa lagi, dan kalau tidak sekarang kapan lagi. Ayo bangkit untuk Papua yang lebih baik," tandasnya.
Ondofolo yang merupakan anak dari tokoh pejuang Papua Merdeka, Theys Hiyo Eluay memaparkan skenario Belanda menguasai Papua itu dilakukan dengan membentuk negara boneka. (Baca juga: Menko Polhukam Tegaskan Jalan untuk Papua Merdeka Sudah Tertutup)
"Saya sebagai anak Papua, sekaligus anak dari Ondofolo dan pejuang Papua Merdeka kala itu. Setelah mempelajari semua sejarah yang ada, saya temukan bahwa 1 Desember 1961 yang disebut-sebut sebagai hari Papua Merdeka itu tidaklah benar. Karena tidak ada Proklamasi kemerdekaan Papua di saat itu," kata Yanto, Selasa (26/11/2019).
Ketua Golkar Kabupaten Jayapura ini melanjutkan, saat itu yang ada justru dibentuknya New Quinea Rad atau semacam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua. (Baca juga 154 Anggota OPM Kembali ke Pangkuan Indonesia)
"Saya pahami pada 1 Besember 1961 itu Belanda mendirikan New Quinea Rad atau DPR Papua. Mereka baru mempersiapkan bendera, kemudian lagu kebangsaan dan lainnya. Namun untuk memproklamirkan kemerdekaan itu tidak ada. Ini harus dipahami oleh rakyat Papua, dan ini adalah skenario Belanda," ungkapnya.
Skenario atas 1 Desember itu menurut dia dilakukan karena posisi Belanda yang sudah tidak kuat lagi di Papua. Belanda sudah kalah diplomasi dengan Indonesia di kancah internasional, terutama di PBB. Indonesia membaca gelagat licik Belanda itu. (Baca juga: Tokoh Adat Jayapura: 1 Desember Bukan Hari Papua Merdeka)
"Belanda menggunakan pendekatan berbeda kepada Papua, yakni dengan pendekatan Glory (agama), meski tujuan utamanya adalah 3 G, yakni Gold, Gospel dan Glory. Namun Glory yang ditunjukan untuk mengambil hati rakyat Papua. Sehingga rakyat Papua seolah tidak merasa dijajah Belanda, padahal ada tujuan gold di balik itu," beber Yanto.
Pembentukan New Quinea Rad oleh Belanda juga dilakukan untuk menarik hati rakyat Papua, yang seolah-olah akan memperjuangkan kemerdekaan Papua. Padahal sesungguhnya Belanda sudah kalah di PBB, dan pembentukan New Quinea Rad dengan janji kemerdekaan setelah 10 tahun pasca 1961 itu.
Belanda setelah kalah diplomasi dengan Indonesia di PBB melakukan upaya untuk tetap eksis di Irian Jaya (Papua). Salah satu skenarionya adalah membentuk Dewan New Quinea Rad dengan tujuan Papua bisa berdiri sendiri. "Nantinya kepentingan Belanda bisa masuk di situ. Ini adalah akal-akalan Belanda,"ucapnya.
Selanjutnya pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya soal Trikora, dengan salah satu poinnya untuk membubarkan negara boneka Belanda. Dan setelah adanya pergantian Presiden oleh Soeharto, diplomasi Indonesia gencar dilakukan, termasuk adanya New York Egreeman. (Baca juga: Mahfud: Waspadai Propaganda Politik Jelang Ulang Tahun OPM)
"Jadi kalau janji Belanda, 10 tahun pasca 1 Desember 1961 itu Papua Merdeka, tibanya pada 1970, maka Indonesia dengan diplomasinya, menggelar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang di bawah pengawasan PBB," urainya.
Pepera diikuti sekitar 1.025 ribu tokoh Papua, yang merupakan perwakilan dari 7 Kabupaten di Papua kala itu. "Ini sah, karena mewakili rakyat Papua. Kalau dibilang kurang ini itu, maka kita harus pahami situasi saat itu, minimnya sarana komunikasi dan geografis yang sulit, maka seribuan itu sudah sangat mewakili suara rakyat Papua. Kalau harus 'one man one vot' itu tidak bisa dengan kondisi saat itu," ungkap dia.
Atas dasar itu, Yanto meminta semua rakyat Papua tahu atas sejarah kala itu. Tanggal 1 Desember yang disebut Hari Papua Merdeka tidak lah benar, dan hanya menimbulkan pertumpahan darah rakyat Papua. (Baca juga: Jelang 1 Desember, Pengamanan Titik Rawan di Wamena Papua Diperkuat)
"Kondisi ini yang kita alami, orang tua kami yang harus meregang nyawa atas perjuangan untuk rakyat Papua. Padahal kita termakan skenario Belanda. Kami sebetulnya berencana menggugat Belanda atas permainan licik mereka, hingga membuat seperti ini. Belanda harusnya meminta maaf kepada rakyat Papua atas tumpahan darah rakyat, yang terjadi atas skenario mereka," katanya.
Dia menegaskan agar masyarakat tidak terlena dengan Papua Merdeka. "Kembangkan diriuntuk Papua yang lebih baik. Kita harus berkarya maju, Papua harus sejahtera, kalau bukan kita siapa lagi, dan kalau tidak sekarang kapan lagi. Ayo bangkit untuk Papua yang lebih baik," tandasnya.
(shf)