Peninggalan Para Raja di Wilayah Sulsel Berumur Ratusan Tahun
A
A
A
Sulawesi Selatan (Sulsel) ternyata bukan hanya dihuni oleh beragam suku, tetapi juga mempunyai aneka ragam peninggalan sejarah yang bernilai tinggi.
Misalnya saja istana kerajaan yang masih utuh hingga kini. Rumah bersejarah peninggalan kerajaan masih dijumpai di hampir semua kabupaten/kota. Sebagian besar dibangun dengan konstruksi rumah panggung dari bahan kayu. Umumnya memiliki koleksi benda pusaka peninggalan kerajaan.
Ada yang usiannya sudah lebih dari 1 abad seperti Bola Soba di Jalan Latenritatta, Kelurahan Masumpu, Kabupaten Bone. Rumah ini dibangun tahun 1895-1905 oleh Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaengsigeri. Saat itu Lapawawoi masih menjabat panglima perang kerajaan pada masa Raja Bone ke-30 We Fatimah Banrigau. (Baca juga: Aceh, Satu-satunya Daerah yang Tak Bisa Dikuasai Belanda)
“Bola Soba dibangun oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri sebagai panglima perang dibawa kepemimpinan raja Bone ke-30 We Fatimah Banrigau sekitar tahun 1890,” kata Budayawan Bone, Andi Yushan di Watampone, belum lama ini.
Bola Soba atau Saoraja Petta Punggawae masih berdiri kokoh dikelola Dinas Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Bone. Bangunan ini berdiri di atas lahan sekitar setengah hektare dengan panjang 39,45 meter. Bola Soba terdiri atas empat bagian utama, yakni lego-lego atau teras sepanjang 5,60 meter, rumah induk (21 meter), selasar penghubung rumah induk dengan bagian belakang (8,55 meter), serta bagian belakang yang diperuntukkan sebagai ruang dapur (4,30 meter).
Rumah ini memiliki 90 tiang. Dindingnya dilengkapi dengan ukiran motif daun dengan kembang sebagai ciri khas kesenian Islam dan banji (model swastika) yang diperkenalkan oleh masyarakat Tionghoa.
Menurut Andi Yushan, Bola Soba dalam bahasa Indonesia artinya rumah sahabat. Saat penjajah menguasai Indonesia termasuk Bone, rumah itu dijadikan sebagai markas tentara dan penginapan untuk menjamu tamu Belanda.
“Awalnya diperuntukkan untuk kediaman panglima perang pada saat itu, namun dulu Belanda ingin menguasai Nusantara dan merebut rumah itu dijadikan markas mereka. Na dari sinilah penamaan Bola Soba yang berarti rumah persahabatan,” jelas Yushan.
Dia melanjutkan, Bola Soba sudah tiga kali mengalami dipindahkan. Semuanya di Watampone. Lokasi pertama terletak di Jalan Petta Ponggawae yang saat ini menjadi lokasi rumah jabatan bupati. Selanjutnya di Jalan Veteran dan terakhir Jalan Latenritatta sejak tahun 1978. (Baca juga: Becak Siantar, Motor Tempur Peninggalan Tentara Sekutu)
Setelah di Jalan Lantenritatta, kemudian diresmikan pada 14 April 1982 oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Prof Dr Daoed Joesoef. “Waktu dipindahkan itu tidak dibongkar tapi diangkat dengan gotong royong." Jelasnya
Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Bone, Andi Promal Pawi mengatakan, Bola Soba saat ini menjadi rumah bersejarah. “Saat ini Bola Soba banyak yang dikunjungi wisatawan baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Selain itu, Bola Soba sekarang menjadi pusat kesenian daerah,” ucapnya.
Sedangkan di Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, juga masih berdiri kokoh Balla Lompoa. Di sampingnya ada bangunan replika dengan ukuran lebih besar yakni Istana Tamalate. Dua bangunan itu masuk dalam kompleks Balla Lompoa.
Balla Lompoa dibangun tahun 1936 oleh Raja Gowa ke-351 Manggi-Manggi Dg Matutu Karaeng Bontonompo dengan gelar Sultan Mahmud Tahir Mahibuddin. Usunya saat ini sudah menginjak 83 tahun.
Balla Lompoa memiliki sekitar 140 benda bersejarah peninggalan Kerjaan Gowa. Beberapa di antaranya, seperti Salokoa (mahkota) dari emas murni seberat 1786 gram dan bertahta 250 berlian, empat ponto janga-jangaya dengan berat 985,5 gram, empat kolara (kalung kebesaran) seberat 2.182 gram, empat kancing gaukang (kancing emas) berat 277 gram, tobo kaluku (rante Manila) berat 270 gram hadiah dari kerajaan Sulu Philipina pada abad XVI, dua buah kitab Al-Quran yang ditulis tahun 1848. (Baca juga: Maria Walanda Maramis, Sang Pendobrak dari Minahasa)
Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan mengajak keluarga Kerajaan Gowa duduk bersama agar museum tersebut dapat dikelola, dilestarikan, dan dijadikan sebagai destinasi pariwisata terbaik di Indonesia. “Kita berharap Pemkab Gowa dan pihak keluarga kerajaan Gowa bisa bergandengan tangan menjaga warisan adat istiadat dan budaya Gowa,” ucapnya.
Sementara di Sengkang, Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, jejak peninggalan sejarah kerajaan pun masih berdiri megah. Saoraja Malangga yang dibangun 22 Desember 1933 oleh Datu Makkaraka yang bergerlar Arung Bettempola kini jadi situs adat kebanggaan masyarakat Wajo.
Struktur utama bangunan Saoraja Malangga terbuat dari bahan kayu lokal memadukan konsep rumah tradisional Wajo (sulapappa) dan arsitektur kolonial. Meski juga mengandalkan bahan kayu, bangunan Saoraja Malangga relatif berbeda dengan rumah peninggalan kerajaan lain di Sulsel yakni terdiri atas dua tingkat.
Sejarawan asal Wajo, Sudirman Sabbang mengatakan, Saoraja Malangga menjadi saksi kehidupan keturunan keluarga Kerajaan Wajo.Selain dua tingkat lanjut dia, Saoraja Malangga juga memiliki tiang lebih pendek dari kebanyakan rumah panggung di Sulsel.
“Lantai dua rumah dahulu diperuntukan sebagai tempat tinggal anak dan cucu perempuan keturunan Datu Makkaraka. Setelah itu, sempat digunakan sebagai tempat mengaji anak-anak di sekitar saoraja. Sekarang lantai ini dijadikan tempat penyimpanan senjata pusaka kerajaan khususnya di sebuah bilik. Setiap empat bulan sekali senjata dibersihkan dengan terlebih dulu diberi sesaji,” ujar dia.
Dalam soorang ada tiga benda pusaka yang disimpan pada sebuah bilik dari salah satu sisi rumah, yakni lateakasi (senjata keris), laulabalu (tombak), copoe (badik kecil). Ketiga benda pusaka tersebut merupakan warisan secara turun temurun dari wetadampali yang di bawa dari luwu, warisan ini sangat dipercaya jika benda pusaka tersebut tidak akan memiskinkan rumpung keluarga.
Merujuk dari catatan, pada 2002, pemerintah daerah melakukan ritual pensucian pusaka secara besar besaran. Setelah itu pensucian benda pusaka hanya dilakukan secara keluarga kerajaan saja.
Adapun di Kota Palopo juga masih berdiri megah Istana Kedatuan Luwu. Dalam kompleks terdapat dua bangunan yakni Langkanae atau istana serta Salassae yakni tempat pertemuan atau perjamuan para tamu-tamu istana.
Pemerhati sejarah Kedatuan Luwu, Andi Syaifuddin Kaddiraja mengatakan Istana Kedatuan Luwu dibangun tahun 1905 oleh Datu Luwu ke-16, namun kembali dibongkar tahun 1920 oleh pemerintah kolonial Belanda dengan istana yang ada sekarang.
Pada tahun 1990 lanjut dia, dibangun replika Langkanae di samping bangunan lama oleh Pemkab Luwu pada saat itu. Fungsinya sebagai rumah jabatan Datu Luwu sekaligus tempat pelayanan masyarakat. (Baca juga: Asal Usul Pemberian Gelar Haji di Indonesia)
Sedangkan Kepala Dinas Pariwisata Palopo, Andi Enceng yang juga masih keturunan Datu Luwu mengatakan, Istana Kedatuan Luwu salah satu landmark Kota Palopo. Saat ini, tempat itu banyak dijadikan sebagai lokasi kegiatan adat. “Seperti tahun 2018 dilaksanakan kegiatan pembersihan barang pusaka,” ujar dia
Misalnya saja istana kerajaan yang masih utuh hingga kini. Rumah bersejarah peninggalan kerajaan masih dijumpai di hampir semua kabupaten/kota. Sebagian besar dibangun dengan konstruksi rumah panggung dari bahan kayu. Umumnya memiliki koleksi benda pusaka peninggalan kerajaan.
Ada yang usiannya sudah lebih dari 1 abad seperti Bola Soba di Jalan Latenritatta, Kelurahan Masumpu, Kabupaten Bone. Rumah ini dibangun tahun 1895-1905 oleh Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaengsigeri. Saat itu Lapawawoi masih menjabat panglima perang kerajaan pada masa Raja Bone ke-30 We Fatimah Banrigau. (Baca juga: Aceh, Satu-satunya Daerah yang Tak Bisa Dikuasai Belanda)
“Bola Soba dibangun oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri sebagai panglima perang dibawa kepemimpinan raja Bone ke-30 We Fatimah Banrigau sekitar tahun 1890,” kata Budayawan Bone, Andi Yushan di Watampone, belum lama ini.
Bola Soba atau Saoraja Petta Punggawae masih berdiri kokoh dikelola Dinas Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Bone. Bangunan ini berdiri di atas lahan sekitar setengah hektare dengan panjang 39,45 meter. Bola Soba terdiri atas empat bagian utama, yakni lego-lego atau teras sepanjang 5,60 meter, rumah induk (21 meter), selasar penghubung rumah induk dengan bagian belakang (8,55 meter), serta bagian belakang yang diperuntukkan sebagai ruang dapur (4,30 meter).
Rumah ini memiliki 90 tiang. Dindingnya dilengkapi dengan ukiran motif daun dengan kembang sebagai ciri khas kesenian Islam dan banji (model swastika) yang diperkenalkan oleh masyarakat Tionghoa.
Menurut Andi Yushan, Bola Soba dalam bahasa Indonesia artinya rumah sahabat. Saat penjajah menguasai Indonesia termasuk Bone, rumah itu dijadikan sebagai markas tentara dan penginapan untuk menjamu tamu Belanda.
“Awalnya diperuntukkan untuk kediaman panglima perang pada saat itu, namun dulu Belanda ingin menguasai Nusantara dan merebut rumah itu dijadikan markas mereka. Na dari sinilah penamaan Bola Soba yang berarti rumah persahabatan,” jelas Yushan.
Dia melanjutkan, Bola Soba sudah tiga kali mengalami dipindahkan. Semuanya di Watampone. Lokasi pertama terletak di Jalan Petta Ponggawae yang saat ini menjadi lokasi rumah jabatan bupati. Selanjutnya di Jalan Veteran dan terakhir Jalan Latenritatta sejak tahun 1978. (Baca juga: Becak Siantar, Motor Tempur Peninggalan Tentara Sekutu)
Setelah di Jalan Lantenritatta, kemudian diresmikan pada 14 April 1982 oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Prof Dr Daoed Joesoef. “Waktu dipindahkan itu tidak dibongkar tapi diangkat dengan gotong royong." Jelasnya
Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Bone, Andi Promal Pawi mengatakan, Bola Soba saat ini menjadi rumah bersejarah. “Saat ini Bola Soba banyak yang dikunjungi wisatawan baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Selain itu, Bola Soba sekarang menjadi pusat kesenian daerah,” ucapnya.
Sedangkan di Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, juga masih berdiri kokoh Balla Lompoa. Di sampingnya ada bangunan replika dengan ukuran lebih besar yakni Istana Tamalate. Dua bangunan itu masuk dalam kompleks Balla Lompoa.
Balla Lompoa dibangun tahun 1936 oleh Raja Gowa ke-351 Manggi-Manggi Dg Matutu Karaeng Bontonompo dengan gelar Sultan Mahmud Tahir Mahibuddin. Usunya saat ini sudah menginjak 83 tahun.
Balla Lompoa memiliki sekitar 140 benda bersejarah peninggalan Kerjaan Gowa. Beberapa di antaranya, seperti Salokoa (mahkota) dari emas murni seberat 1786 gram dan bertahta 250 berlian, empat ponto janga-jangaya dengan berat 985,5 gram, empat kolara (kalung kebesaran) seberat 2.182 gram, empat kancing gaukang (kancing emas) berat 277 gram, tobo kaluku (rante Manila) berat 270 gram hadiah dari kerajaan Sulu Philipina pada abad XVI, dua buah kitab Al-Quran yang ditulis tahun 1848. (Baca juga: Maria Walanda Maramis, Sang Pendobrak dari Minahasa)
Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan mengajak keluarga Kerajaan Gowa duduk bersama agar museum tersebut dapat dikelola, dilestarikan, dan dijadikan sebagai destinasi pariwisata terbaik di Indonesia. “Kita berharap Pemkab Gowa dan pihak keluarga kerajaan Gowa bisa bergandengan tangan menjaga warisan adat istiadat dan budaya Gowa,” ucapnya.
Sementara di Sengkang, Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, jejak peninggalan sejarah kerajaan pun masih berdiri megah. Saoraja Malangga yang dibangun 22 Desember 1933 oleh Datu Makkaraka yang bergerlar Arung Bettempola kini jadi situs adat kebanggaan masyarakat Wajo.
Struktur utama bangunan Saoraja Malangga terbuat dari bahan kayu lokal memadukan konsep rumah tradisional Wajo (sulapappa) dan arsitektur kolonial. Meski juga mengandalkan bahan kayu, bangunan Saoraja Malangga relatif berbeda dengan rumah peninggalan kerajaan lain di Sulsel yakni terdiri atas dua tingkat.
Sejarawan asal Wajo, Sudirman Sabbang mengatakan, Saoraja Malangga menjadi saksi kehidupan keturunan keluarga Kerajaan Wajo.Selain dua tingkat lanjut dia, Saoraja Malangga juga memiliki tiang lebih pendek dari kebanyakan rumah panggung di Sulsel.
“Lantai dua rumah dahulu diperuntukan sebagai tempat tinggal anak dan cucu perempuan keturunan Datu Makkaraka. Setelah itu, sempat digunakan sebagai tempat mengaji anak-anak di sekitar saoraja. Sekarang lantai ini dijadikan tempat penyimpanan senjata pusaka kerajaan khususnya di sebuah bilik. Setiap empat bulan sekali senjata dibersihkan dengan terlebih dulu diberi sesaji,” ujar dia.
Dalam soorang ada tiga benda pusaka yang disimpan pada sebuah bilik dari salah satu sisi rumah, yakni lateakasi (senjata keris), laulabalu (tombak), copoe (badik kecil). Ketiga benda pusaka tersebut merupakan warisan secara turun temurun dari wetadampali yang di bawa dari luwu, warisan ini sangat dipercaya jika benda pusaka tersebut tidak akan memiskinkan rumpung keluarga.
Merujuk dari catatan, pada 2002, pemerintah daerah melakukan ritual pensucian pusaka secara besar besaran. Setelah itu pensucian benda pusaka hanya dilakukan secara keluarga kerajaan saja.
Adapun di Kota Palopo juga masih berdiri megah Istana Kedatuan Luwu. Dalam kompleks terdapat dua bangunan yakni Langkanae atau istana serta Salassae yakni tempat pertemuan atau perjamuan para tamu-tamu istana.
Pemerhati sejarah Kedatuan Luwu, Andi Syaifuddin Kaddiraja mengatakan Istana Kedatuan Luwu dibangun tahun 1905 oleh Datu Luwu ke-16, namun kembali dibongkar tahun 1920 oleh pemerintah kolonial Belanda dengan istana yang ada sekarang.
Pada tahun 1990 lanjut dia, dibangun replika Langkanae di samping bangunan lama oleh Pemkab Luwu pada saat itu. Fungsinya sebagai rumah jabatan Datu Luwu sekaligus tempat pelayanan masyarakat. (Baca juga: Asal Usul Pemberian Gelar Haji di Indonesia)
Sedangkan Kepala Dinas Pariwisata Palopo, Andi Enceng yang juga masih keturunan Datu Luwu mengatakan, Istana Kedatuan Luwu salah satu landmark Kota Palopo. Saat ini, tempat itu banyak dijadikan sebagai lokasi kegiatan adat. “Seperti tahun 2018 dilaksanakan kegiatan pembersihan barang pusaka,” ujar dia
(vhs)