Asal Usul Pemberian Gelar Haji di Indonesia

Minggu, 02 September 2018 - 05:00 WIB
Asal Usul Pemberian...
Asal Usul Pemberian Gelar Haji di Indonesia
A A A
Sebagian jamaah haji Indonesia yang melaksanakan rukun Islam ke lima di Tanah Suci pada 1439 Hijriah telah kembali ke tanah air. Sebutan pak haji dan bu hajah pun melekat kepada mereka yang telah menunaikan ibadah tersebut. Bahkan ada sebagian orang yang dengan sengaja menambahkan gelar haji di depan namanya untuk penulisan dalam dokumen atau surat-surat penting dengan berbagai alasan, diantaranya ada yang mengatakan itu merupakan syiar, supaya orang tertarik untuk segera mengikuti menunaikan ibadah haji.

Ada pula yang beralasan bahwa ibadah haji adalah ibadah yang besar dan memerlukan biaya besar jadi orang tersebut merasa rugi kalau namanya tidak memakai gelar haji/hajah. Bahkan jaman dulu masih sedikit orang yang mampu (dalam hal materi) mengeluarkan biaya untuk menunaikan Ibadah haji, karena membutuhkan biaya yang besar karena moda transportasi yang digunakan menggunakan kapal layar maupun kapal laut.

Sehingga jarang sekali orang yang bisa melaksanakan haji, maka jika pada suatu desa atau kampung ada orang Islam yang menunaikan haji dan di kampungnya atau desanya hanya dia satu-satunya yang pernah menunaikan haji, maka jika di kampung/desa itu disebutkan pak haji (tanpa menyebut nama aslinya) maka sekampung/sedesa pasti tahu siapalah orang yang dimaksud pak haji itu.

Gelar atau sebutan haji bagi mereka yang telah menunaikan ibadah haji, baru muncul beberapa abad setelah wafatnya Rasulullah SAW.

Dikutif dari laman kerinci.kemenag.go.id pada Zaman Kerajaan Galuh, putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata penguasa Kerajaan Galuh yang memerintah 1357-1371 Bratalegawa sering melakukan pelayaran ke Sumatera, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Lalu Bratalegawa menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di Kerajaan Galuh, dia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).

Selain itu ada Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.

Atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekkah antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam. Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah, dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.

Sementara saat Kesultanan Banten, ada putra Sultan Ageng Tirtayasa yang bernama Abdul Kahar dikirim ke Mekkah untuk menemui Sultan Mekkah sambil melaksanakan ibadah haji. lalu dia melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekkah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.

Pemberian gelar haji secara masif baru dilakukan pada Zaman Kolonial Belanda. Pemberian gelar haji dimaksudkan agar Belanda dapat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah. Karena pada saat itu mayoritas orang yang pergi haji, ketika dia pulang ke tanah air maka dia akan melakukan perubahan dan perlawanan terhadap Belanda.

Karena itu Belanda menandai orang tersebut dengan huruf "H" di depan namanya, untuk memudahkan mencari orang tersebut apabila terjadi pemberontakan.

Contohnya adalah Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam.

Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.

Untuk keperluan pengawasan tersebut Pemerintahan Hindia-Belanda mendirikan tempat karantina jamaah haji di Kepulauan Seribu, di Pulau Onrust dan Pulau Khayangan. Pulau-pulau tersebut dijadikan sebagai gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia. Dengan alasan kamuflase "untuk menjaga kesehatan", kadang saat ditemukan adanya jamaah haji yang dinilai berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda, diberi suntik mati dengan alasan beragam.

Maka tak jarang banyak yang tidak kembali ke kampung halaman karena dikarantina di Pulau Onrust dan Cipir.

Memang dari sejarahnya, mereka yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan oleh Belanda adalah mereka yang memiliki gelar haji.

Sumber: kerinci.kemenag.go.id
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1192 seconds (0.1#10.140)