Pengakuan Penambang Emas Ilegal Lubang Jarum di Jambi

Sabtu, 08 September 2018 - 14:53 WIB
Pengakuan Penambang...
Pengakuan Penambang Emas Ilegal Lubang Jarum di Jambi
A A A
MERANGIN - Aktivitas Penambang Emas Tanpa Izin (PETI) model Lubang Jarum yang berada di Desa Simpang Parit, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, Jambi terus berlanjut meski beragam musibah terjadi. Belasan orang tewas tertimbun pada 2016. Dan teranyar tujuh orang tewas pada awal September lalu.

Sosialisasi mengenai bahaya penambangan emas model Lubang Jarum dan razia oleh aparat keamanan juga kerap dilakukan. Namun warga tak jera tetap saja melakukan aktivitasnya. Alasannya jelas, karena kebutuhan ekonomi. Mereka mengaku terpaksa melakukan kegiatan ilegal lantaran sektor perkebunan karet dan kelapa sawit yang selama ini menopang hidup mereka tak lagi menjanjikan. Harga karet dan kelapa sawit terjun bebas.

Itulah mengapa pinggiran sungai di Desa Simpang Parit, Kecamatan Renah Pembarap penuh tambang emas lubang jarum yang memiliki kedalaman ratusan meter. Lili Somantri, salah satu pekerja tambang emas ilegal, mengatakan percuma pemerintah melakukan razia jika ekonomi masyarakat tidak diangkat. (Baca Juga: 26 Penambang Terjebak di Lubang Galian, 7 Dipastikan Tewas
"Bukannya kami tidak tahu bahayanya, kami sangat tahu tapi karena memang tuntutan ekonomi membuat kami rela bertaruh nyawa. Saat ini semua kebutuhan ekonomi meningkat, belum lagi untuk anak sekolah. Sementara kita mengandalkan karet dan sawit harganya sedang terpuruk. Kalau tidak boleh cari emas mau kerja apa lagi," kata Lili, Sabtu (8/9/2018).

Hal senada diucapkan Yono, dia mengatakan saat ini hampir lima ribu warga bekerja di lubang jarum di sepanjang aliran Sungai Merangin. "Kalau kita pernah ke lokasi pasti kita bisa melihat langsung di kanan kiri pinggiran sungai ada pondok-pondok. Dalam satu lubang jarum itu antara 15 sampai 25 orang untuk sekali masuk. Mereka bekerja per tim," tutur Yono.

Jika pemerintah menghendaki warga tidak bekerja seperti ini, kata Yono, maka harus ada solusi yang diberikan. "Ya harus bisa kasih solusi, dulu kami tidak seperti ini saat sawit dan karet harganya meroket. Sekarang dua komoditi itu tak bisa lagi kami andalkan hingga kami bertaruh nyawa untuk kebutuhan perut," katanya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1137 seconds (0.1#10.140)