Sejarah Perebutan Kotabaru Yogya dari Tentara Jepang
A
A
A
Pascaproklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI), 17 Agustus 1945, masyarakat Yogyakarta mengukir sejarah gerakan bersenjata rakyat pertama kali di Indonesia dengan menyerbu markas tentara Jepang yang masih bercokol di Kotabaru pada 7 Oktober 1945. Penyerbuan ini menjadi inisiasi peristiwa Serangan Oemoem dan Perebutan Yogya Kembali pada tahun 1949.
Sore itu, sekitar pukul 17.00 Wib pada 6 Oktober 1945, suasana di kawasan Kotabaru Yogyakarta cukup mencekam. Ratusan pemuda dari Patuk, Pakualaman, Jetis dan sejumlah wilayah di Kota Yogyakarta telah berkumpul menunggu hasil perundingan antara tokoh masyarakat dengan tentara Jepang. Dengan persenjataan alakadarnya, mereka siap sedia melakukan penyerbuan jika jalan damai gagal.
Sikap patriotisme pemuda itu muncul karena melihat masih ada pasukan tentara Jepang lengkap dengan persenjataan berada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), meski proklamasi kemerdekaan RI telah diumumkan. Rakyat menginginkan tentara Nipon melucuti senjatanya. Tokoh masyarakat mengambil jalan damai dengan melakukan perundingan dengan Jepang meminta segera menyerahkan persenjataanya.
Mereka yang berunding adalah Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Mohammad Sholeh didampingi Oemar Djoy, Soendjojo, Bardosono, dan Raden Pandji Soedarsono. Sedang dari pihak Jepang diwakili Mayor Otsoeko, Sazaki dan Kapten Ito (Kianbucho). Perundingan dilangsungkan di rumah Komandan pasukan Jepang Butaicho yang saat ini berada di kompleks monumen Serbuan Kotabaru Yogyakarta.
"Saat itu, perwakilan Jepang meminta penguluran penyerahan senjata waktu hingga besok harinya. Namun para pemuda tidak mau, karena tahu, itu hanya strategi untuk mengulur waktu sambil menunggu bala bantuan dari Magelang," kata salah satu pelaku sejarah Penyerbuan Kotabaru Yogyakarta, Olot Sadjiman (81) dalam sebuah wawancara dengan wartawan Seputar Indonesia (SI), sekitar Oktober 2009 silam.
Mengetahui perundingan gagal, para pemuda dan pejuang memutuskan untuk mengambil cara kekerasan dengan menyerbu kompleks markas tentara Jepang. Pada pukul 21.00 WIB hari yang sama, disebarkan imbauan agar seluruh warga dari berbagai kampung untuk ikut dalam penyerbuan. Rakyat pun merespons imbauan tersebut dengan berduyun-duyun ke Kotabaru, tepatnya di kawasan Stadion Kridosono dengan membawa bambu runcing, tombak dan keris. Para pejuang juga dibantu oleh polisi sewaan yang memiliki senjata api.
Melihat hal itu, pasukan Jepang memasang kawat berduri yang dialiri strum listrik. Rakyat pun tidak bisa mendekat dan sementara mereka berlindung di belakang tembok Stadion Kridosono yang saat itu belum begitu tinggi seperti sekarang. "Pegawai PLN ada yang orang Indonesia. Dia diminta untuk memutus aliran strum," cerita Olot yang juga pensiunan Detasemen Polisi Sleman.
Tepat pukul 04.30 WIB, 7 Oktober 1945 atau setelah salat subuh, aliran listrik di kawat berduri berhasil diputus. Dengan kode ledakan granat, seluruh rakyat yang telah menunggu semalaman akhir merangsek ke markas tentara Nipon. Selama 6 jam bertempur, akhirnya pada pukul 10.30 WIB, tentara Jepang berhasil dilumpuhkan.
Keberhasilan itu harus dibayar mahal dengan gugurnya 21 pejuang dan 32 orang luka-luka. Sedangkan di pihak Jepang, sebanyak 27 orang tewas dan sekitar 440 orang berhasil ditangkap dan dimasukan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wirogunan. "Sekarang, nama-nama pejuang yang gugur dalam penyerbuan itu dijadikan nama jalan di Kotabaru," tutur pelaku sejarah lainnya KRT Sukarno Merto Puspito (80).
Pejuang yang gugur dalam penyerbuan Kotabaru adalah Mohammad Saleh, Djasman, Trimo, Djoewandi, Faridan M Noto, Bagong Ngadikan. Sabirin, Amat Djazuli, Soeparmo, Sudjijono, I Dewan Nyoman oka, Soenardjo, Djohar Norhadi. Oemoem Kalipan, Atmosukarto, Soebarman, Mohammad Wardani, Soeroto, Abu Bakar Ali, dan Soepadi. Sebanyak 17 pejuang dimakamkan di Taman Makam Kusumanegara, 2 orang di belakang masjid Kauman, 1 orang di Makam Gajah Glagah dan 1 lagi di Sleman.
Sore itu, sekitar pukul 17.00 Wib pada 6 Oktober 1945, suasana di kawasan Kotabaru Yogyakarta cukup mencekam. Ratusan pemuda dari Patuk, Pakualaman, Jetis dan sejumlah wilayah di Kota Yogyakarta telah berkumpul menunggu hasil perundingan antara tokoh masyarakat dengan tentara Jepang. Dengan persenjataan alakadarnya, mereka siap sedia melakukan penyerbuan jika jalan damai gagal.
Sikap patriotisme pemuda itu muncul karena melihat masih ada pasukan tentara Jepang lengkap dengan persenjataan berada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), meski proklamasi kemerdekaan RI telah diumumkan. Rakyat menginginkan tentara Nipon melucuti senjatanya. Tokoh masyarakat mengambil jalan damai dengan melakukan perundingan dengan Jepang meminta segera menyerahkan persenjataanya.
Mereka yang berunding adalah Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Mohammad Sholeh didampingi Oemar Djoy, Soendjojo, Bardosono, dan Raden Pandji Soedarsono. Sedang dari pihak Jepang diwakili Mayor Otsoeko, Sazaki dan Kapten Ito (Kianbucho). Perundingan dilangsungkan di rumah Komandan pasukan Jepang Butaicho yang saat ini berada di kompleks monumen Serbuan Kotabaru Yogyakarta.
"Saat itu, perwakilan Jepang meminta penguluran penyerahan senjata waktu hingga besok harinya. Namun para pemuda tidak mau, karena tahu, itu hanya strategi untuk mengulur waktu sambil menunggu bala bantuan dari Magelang," kata salah satu pelaku sejarah Penyerbuan Kotabaru Yogyakarta, Olot Sadjiman (81) dalam sebuah wawancara dengan wartawan Seputar Indonesia (SI), sekitar Oktober 2009 silam.
Mengetahui perundingan gagal, para pemuda dan pejuang memutuskan untuk mengambil cara kekerasan dengan menyerbu kompleks markas tentara Jepang. Pada pukul 21.00 WIB hari yang sama, disebarkan imbauan agar seluruh warga dari berbagai kampung untuk ikut dalam penyerbuan. Rakyat pun merespons imbauan tersebut dengan berduyun-duyun ke Kotabaru, tepatnya di kawasan Stadion Kridosono dengan membawa bambu runcing, tombak dan keris. Para pejuang juga dibantu oleh polisi sewaan yang memiliki senjata api.
Melihat hal itu, pasukan Jepang memasang kawat berduri yang dialiri strum listrik. Rakyat pun tidak bisa mendekat dan sementara mereka berlindung di belakang tembok Stadion Kridosono yang saat itu belum begitu tinggi seperti sekarang. "Pegawai PLN ada yang orang Indonesia. Dia diminta untuk memutus aliran strum," cerita Olot yang juga pensiunan Detasemen Polisi Sleman.
Tepat pukul 04.30 WIB, 7 Oktober 1945 atau setelah salat subuh, aliran listrik di kawat berduri berhasil diputus. Dengan kode ledakan granat, seluruh rakyat yang telah menunggu semalaman akhir merangsek ke markas tentara Nipon. Selama 6 jam bertempur, akhirnya pada pukul 10.30 WIB, tentara Jepang berhasil dilumpuhkan.
Keberhasilan itu harus dibayar mahal dengan gugurnya 21 pejuang dan 32 orang luka-luka. Sedangkan di pihak Jepang, sebanyak 27 orang tewas dan sekitar 440 orang berhasil ditangkap dan dimasukan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wirogunan. "Sekarang, nama-nama pejuang yang gugur dalam penyerbuan itu dijadikan nama jalan di Kotabaru," tutur pelaku sejarah lainnya KRT Sukarno Merto Puspito (80).
Pejuang yang gugur dalam penyerbuan Kotabaru adalah Mohammad Saleh, Djasman, Trimo, Djoewandi, Faridan M Noto, Bagong Ngadikan. Sabirin, Amat Djazuli, Soeparmo, Sudjijono, I Dewan Nyoman oka, Soenardjo, Djohar Norhadi. Oemoem Kalipan, Atmosukarto, Soebarman, Mohammad Wardani, Soeroto, Abu Bakar Ali, dan Soepadi. Sebanyak 17 pejuang dimakamkan di Taman Makam Kusumanegara, 2 orang di belakang masjid Kauman, 1 orang di Makam Gajah Glagah dan 1 lagi di Sleman.
(amm)