Paguyuban Reog Perempuan, Jadi Potensi Baru Wisata Budaya
A
A
A
SURABAYA - Kekayaan kesenian di Jawa Timur terus membuka potensi baru destinasi wisata budaya dan ekonomi masyarakat yang terus berkembang.Selama ini, kesenian reog selalu identik dengan pakem laki-laki, tetapi dengan niatan memberdayakan perempuan, di Desa Sawoo, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo berdiri kelompok kesenian reog perempuan bernama Sardulo Nareswari.
Fenomena itu menarik perhatian Tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Sosial Humaniora (PKMP-SH) Universitas Airlangga (Unair).
Tim yang digawangi Fajri Kurniararasanty, Gita Ayu Cahyaningrum dan Isnaini Nur Amalina ingin menguak lebih dalam tentang kesenian reog Ponorogo dari sisi yang lain, yaitu potensi perempuan.
Ketua Tim PKMP-SH Fajri Kurniararasanty menuturkan, kalau berbicara kesenian reog yang muncul di benak masyarakat langsung tertuju pada Kabupaten Ponorogo.
Sebab, Ponorogo merupakan kota yang menyajikan suatu keunikan khas dalam seni pertunjukan. Apalagi reog menjadi salah satu warisan budaya yang telah diakui internasional.
”Mengisahkan Reog Ponorogo rupanya tak pernah sepi dari pamrih oleh berbagai pihak demi kepentingan di luar kesenian itu sendiri. Makanya reog berada dalam kompleksitas pertentangan di kalangan masyarakat Ponorogo,” ujar Fajri, Selasa (5/6/2018).
Pertunjukan reog selama ini disajikan dalam bentuk sendratari, suatu tarian dramatik yang tidak berdialog. Dari gerakan-gerakannya diharapkan tarian ini sudah cukup mewakili isi dan tema tarian tersebut.
Hanya, selama ini sajian reog diperankan oleh penari laki-laki kecuali tari jathilan yang dimainkan oleh perempuan.
Dalam sejarahnya, tari jathilan ini semula diperankan laki-laki yang busana perempuan.Ini merupakan penggambaran dari gemblak, laki-laki belasan tahun yang diasuh sang Warok sebagai kelangenan (kesukaannya), sebagai upaya menjaga kesaktiannya.
Namun, karena sosok gemblak itu tidak sesuai dengan norma agama, Pemkab Ponorogo tahun 1985 membuat kebijakan dan mengubah tari jathilan oleh penari perempuan.
Pergeseran penari jathil oleh perempuan itu bertahan hingga sekarang. Adanya fenomena itu, Fajri dan timnya tertantang untuk menguak lebih jauh dari sisi kaum hawa. Selain itu tantangan budaya di masyarakat juga masih memposisikan perempuan berada dalam strata di bawah laki-laki.
”Kami ingin mengkaji kehidupan perempuan dalam dunia kesenian. Sebab seni dan perempuan adalah sebuah ambivalensi yang menimbulkan dua pandangan berbeda di masyarakat. Satu sisi perempuan dianggap sebagai korban eksploitasi, di sisi lain perempuan dalam seni tradisi dianggap sebagai pendobrak dominasi laki-laki,” ungkapnya.
Dia pun menyusun penelitian dalam paparan berjudul ”Paguyuban Sardulo Nareswari: Perempuan dalam Kesenian Reog Ponorogo Menari Diantara Dominasi dan Keberagaman.” Naskah ini berhasil lolos pendanaan dalam Program PKM Kemenristekdikti tahun ini.
Sementara itu, pendiri paguyuban reog perempuan Heni Astuti mengatakan, pihaknya ingin membuat gebrakan baru dalam khasanah seni Reog Ponorogo.
Makanya nama Sardulo Sareswari itu memiliki arti filosofis tersendiri. Sardulo berarti macan, sedang Nareswari berarti perempuan atau bidadari.
Kalau selama ini pakem reog adalah laki-laki, dalam inovasi baru ini ingin ditunjukkan sisi yang berbeda dari pakem dominasinya, namun tetap dapat menunjukkan sisi keperempuannya.
Terbentuknya paguyuban Sardulo Nareswari ini memberi dampak bagi perempuan Desa Sawoo dan masyarakat sekitarnya.
Paguyuban ini telah beberapa kali melakukan pementasan di berbagai daerah, tidak hanya di Ponorogo, tetapi juga berbagai kota yang ada di Indonesia.
Pementasan di luar wilayah domisilinya membuat para perempuan ini berani tampil di depan umum. Kontruksi masyarakat yang menyatakan perempuan hanya konco wingking (teman belakang) mampu dikikis dengan adanya kiprah reog perempuan ini.
”Destinasi wisata budaya baru ini mampu menarik perhatian masyarakat karena memiliki sisi unik yang dikemas dalam sebuah seni pertunjukan,” ucap Fajri.
Fenomena itu menarik perhatian Tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Sosial Humaniora (PKMP-SH) Universitas Airlangga (Unair).
Tim yang digawangi Fajri Kurniararasanty, Gita Ayu Cahyaningrum dan Isnaini Nur Amalina ingin menguak lebih dalam tentang kesenian reog Ponorogo dari sisi yang lain, yaitu potensi perempuan.
Ketua Tim PKMP-SH Fajri Kurniararasanty menuturkan, kalau berbicara kesenian reog yang muncul di benak masyarakat langsung tertuju pada Kabupaten Ponorogo.
Sebab, Ponorogo merupakan kota yang menyajikan suatu keunikan khas dalam seni pertunjukan. Apalagi reog menjadi salah satu warisan budaya yang telah diakui internasional.
”Mengisahkan Reog Ponorogo rupanya tak pernah sepi dari pamrih oleh berbagai pihak demi kepentingan di luar kesenian itu sendiri. Makanya reog berada dalam kompleksitas pertentangan di kalangan masyarakat Ponorogo,” ujar Fajri, Selasa (5/6/2018).
Pertunjukan reog selama ini disajikan dalam bentuk sendratari, suatu tarian dramatik yang tidak berdialog. Dari gerakan-gerakannya diharapkan tarian ini sudah cukup mewakili isi dan tema tarian tersebut.
Hanya, selama ini sajian reog diperankan oleh penari laki-laki kecuali tari jathilan yang dimainkan oleh perempuan.
Dalam sejarahnya, tari jathilan ini semula diperankan laki-laki yang busana perempuan.Ini merupakan penggambaran dari gemblak, laki-laki belasan tahun yang diasuh sang Warok sebagai kelangenan (kesukaannya), sebagai upaya menjaga kesaktiannya.
Namun, karena sosok gemblak itu tidak sesuai dengan norma agama, Pemkab Ponorogo tahun 1985 membuat kebijakan dan mengubah tari jathilan oleh penari perempuan.
Pergeseran penari jathil oleh perempuan itu bertahan hingga sekarang. Adanya fenomena itu, Fajri dan timnya tertantang untuk menguak lebih jauh dari sisi kaum hawa. Selain itu tantangan budaya di masyarakat juga masih memposisikan perempuan berada dalam strata di bawah laki-laki.
”Kami ingin mengkaji kehidupan perempuan dalam dunia kesenian. Sebab seni dan perempuan adalah sebuah ambivalensi yang menimbulkan dua pandangan berbeda di masyarakat. Satu sisi perempuan dianggap sebagai korban eksploitasi, di sisi lain perempuan dalam seni tradisi dianggap sebagai pendobrak dominasi laki-laki,” ungkapnya.
Dia pun menyusun penelitian dalam paparan berjudul ”Paguyuban Sardulo Nareswari: Perempuan dalam Kesenian Reog Ponorogo Menari Diantara Dominasi dan Keberagaman.” Naskah ini berhasil lolos pendanaan dalam Program PKM Kemenristekdikti tahun ini.
Sementara itu, pendiri paguyuban reog perempuan Heni Astuti mengatakan, pihaknya ingin membuat gebrakan baru dalam khasanah seni Reog Ponorogo.
Makanya nama Sardulo Sareswari itu memiliki arti filosofis tersendiri. Sardulo berarti macan, sedang Nareswari berarti perempuan atau bidadari.
Kalau selama ini pakem reog adalah laki-laki, dalam inovasi baru ini ingin ditunjukkan sisi yang berbeda dari pakem dominasinya, namun tetap dapat menunjukkan sisi keperempuannya.
Terbentuknya paguyuban Sardulo Nareswari ini memberi dampak bagi perempuan Desa Sawoo dan masyarakat sekitarnya.
Paguyuban ini telah beberapa kali melakukan pementasan di berbagai daerah, tidak hanya di Ponorogo, tetapi juga berbagai kota yang ada di Indonesia.
Pementasan di luar wilayah domisilinya membuat para perempuan ini berani tampil di depan umum. Kontruksi masyarakat yang menyatakan perempuan hanya konco wingking (teman belakang) mampu dikikis dengan adanya kiprah reog perempuan ini.
”Destinasi wisata budaya baru ini mampu menarik perhatian masyarakat karena memiliki sisi unik yang dikemas dalam sebuah seni pertunjukan,” ucap Fajri.
(vhs)